Adiwarman A Karim | Daan Yahya | Republika

Analisis

Bahaya Hidden Risk Unit Usaha Syariah

Spin off UUS menjadi pilihan cerdas untuk menghadapi turbulensi.

Oleh ADIWARMAN A KARIM

ADIWARMAN A KARIM

Perang Rusia dan Ukraina menyebabkan terbatasnya suplai energi. Harga energi naik, pertumbuhan ekonomi tertahan. Selama pandemi Covid-19, Amerika Serikat (AS) mengguyur pasar dengan berbagai program sosial untuk mendukung daya beli masyarakat.

Dolar yang beredar naik. Setelah Covid mereda, mobilitas orang dan barang berangsur normal. Permintaan barang dan jasa naik, harga-harga naik.

Kenaikan harga karena terbatasnya suplai, dan kenaikan harga karena kembali normalnya demand, diperparah dengan ditahannya demand Cina terhadap produk impor dan keputusan negara-negara OPEC Plus menahan produksi minyak. Stagnasi yang berbarengan dengan inflasi.

Untuk mengendalikan inflasi, Bank Sentral AS menaikkan tingkat suku bunga untuk menyerap kembali dolar yang beredar. Karena dolar adalah mata uang internasional, dolar yang di luar negeri pun ikut terserap terbang kembali ke AS.

 

 
Untuk mengendalikan inflasi, Bank Sentral AS menaikkan tingkat suku bunga untuk menyerap kembali dolar yang beredar.
 
 

 

Hal ini menyebabkan dolar AS di negara-negara lain berkurang sehingga nilai tukar mata uang negara lain terhadap dolar AS melemah. Rupiah juga merasakan pelemahan ini. Untuk mitigasinya, biasanya Bank Indonesia (BI) akan menaikkan tingkat suku bunga agar interest differential, yaitu perbedaan tingkat suku bunga antar mata uang kembali pada keseimbangan awal.

Naiknya bunga BI biasanya diikuti dengan naiknya bunga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan naiknya bunga deposito yang berarti juga naiknya biaya bunga perbankan. Naiknya bunga deposito biasanya diikuti dengan naiknya bunga kredit yang berarti naiknya risiko kredit dan jumlah kredit macet, yang berarti turunnya pendapatan bunga perbankan.

Semakin tipisnya selisih antara pendapatan bunga dan biaya bunga akan menekan positive spread bank bahkan menjadi negative spread. Pendapatan bunga dari kredit semakin turun, biaya bunga untuk deposito semakin naik karena bank butuh likuiditas. Negative spread akan menggerus modal bank, yang tidak kuat akan terpaksa menjual banknya, dan yang kuat akan membeli bank.

Bank syariah akan bertahan lebih lama karena tidak mengalami negative spread. Positive spread yang semakin menipis sehingga tidak dapat menutupi biaya operasional, juga akan menggerus modal bank syariah. Baik bank syariah maupun bank konvensional saat ini masuk radar para vulture fund dan investor yang bersiap mengambil bank-bank yang tidak kuat.

 

 
Bank syariah akan bertahan lebih lama karena tidak mengalami negative spread. 
 
 

Biasanya mereka melihat beberapa indikator awal untuk menentukan target bank yang akan dibeli. CAR di bawah 20 persen, ROA di bawah 2 persen, ROE di bawah 20 persen, NPL gross di atas 2 persen, NPL netto di atas 1 persen, cash coverage di bawah 200 persen.

Indikator lainnya adalah apakah ada hidden risk misalnya kredit macet besar yang direstrukturisasi sedemikian rupa, kejanggalan laporan keuangan, atau peristiwa yang menimbulkan sentimen ketidakpercayaan pasar.

Misalnya pada Januari 2022 tersiar berita gagal bayarnya rumah judi Genting Hong Kong yang dibiayai oleh tiga bank negeri jiran tanpa agunan senilai 600 juta dolar AS. Analis akan melihat apakah ketiga bank tersebut memiliki cadangan yang cukup. Pada Mei 2022, analis melihat adanya penerbitan obligasi dengan tenor 20 tahun sehingga para analis menilai bank-bank tersebut perlu likuiditas untuk memperkuat posisi keuangannya.

Obligasi ini akan mengalami first anniversary-nya pada Mei 2023, tepat pada saat diperkirakan perekonomian dilanda turbulensi. Insting vulture fund dan investor akan melihat aset mana yang diperkirakan akan dijual untuk mengatasi kesulitan itu bila turbulensi benar-benar terjadi dalam skala besar.

 

 
Mengkapitalisasi celah peraturan dapat berujung pada dikapitalisasi bisnis oleh vulture fund dan investor. Mau untung malah buntung.
 
 

 

Ini adalah ilustrasi bagaimana vulture fund dan investor mengkapitalisasi hidden risk. Itu sebabnya pula hidden risk harus dihindari. Istilah "cook your book" harus dipahami dalam batasan peraturan dan moral.

Mengkapitalisasi celah peraturan dapat berujung pada dikapitalisasi bisnis oleh vulture fund dan investor. Mau untung malah buntung. Ini bahayanya bila unit usaha syariah (UUS) menyimpan hidden risk.

Bila ada kejanggalan-kejanggalan dalam pergerakan angka pembiayaan bermasalah (NPF) UUS, rasio biaya terhadap pendapatan, rasio pembiayaan terhadap dana masyarakat, dikawatirkan akan menarik perhatian vulture fund dan investor.

Mitigasi yang lazim dalam menghadapi turbulensi adalah menyiapkan perahu cadangan, memilah-milah bisnis agar lebih lincah, memangkas ranting yang tidak perlu karena pohon yang tinggi mendapat angin yang besar. Jangan letakkan seluruh telurmu dalam satu keranjang. Spin off UUS menjadi pilihan cerdas untuk menghadapi turbulensi.

Dunia selalu berubah, badai pasti berlalu. Data BI menunjukkan setiap kali menjelang Pilpres 2009, 2014, 2019, dan diperkirakan 2024, ada aliran dana asing masuk dalam jumlah besar ke Indonesia. Transaksi modal dan finansial naik lima kali lipat dari tahun 2008 ke 2009 dari defisit menjadi surplus 4,9 miliar dolar AS, lebih dari dua kali lipat pada 2013 ke 2014 dari belasan miliar menjadi surplus 44,9 miliar dolar AS.

 
Spin off UUS menjadi pilihan cerdas untuk menghadapi turbulensi.
 
 

Begitu pula tahun 2019, dari 25,2 miliar dolar pada 2018 naik menjadi 36,3 miliar. Cadangan devisa bahkan mencapai 126,6 miliar dolar AS pada November 2019.

Tidak adanya incumbent pada Pilpres 2024, diduga pola masuknya dana asing akan mirip dengan 2014 yang nilainya jauh lebih besar daripada 2019. Bila tingkat kepuasan masyarakat menurun, maka pola 2014 akan dikuatkan dengan pola 2009 yang menarik dana asing masuk dengan deras.

Diperkirakan dana ini akan mulai masuk pada semester II 2023, tepat setelah kewajiban spin off UUS bank dilaksanakan. Bank-bank hasil spin off akan ikut menikmati kembali longgarnya likuiditas pasar, yang karena skala usahanya akan lebih cepat pulih dari turbulensi.

Apalagi bila tergabung dalam satu Kelompok Usaha Bank (KUB) dengan investor strategis yang kuat. Sedangkan bank-bank induknya yang selama ini menanggung beban tersembunyi dari UUS mereka, akan memerlukan waktu lebih lama untuk pulih.

Masuknya investor baru dalam bank umum syariah (BUS) hasil spin off dapat diletakkan sebagai pemegang saham seri B, sehingga pemilik lama tetap memiliki BUS tersebut sebagai pemegang saham seri A yang memiliki preferensi tertentu untuk menjaga keberlanjutan kepemilikannya.

 
Konsolidasi bukan sekadar membesarkan UUS. Konsolidasi adalah memisahkan, menambah modal termasuk dari investor strategis, lalu regrouping dalam KUB.
 
 

Konsolidasi bukan sekadar membesarkan UUS. Konsolidasi adalah memisahkan, menambah modal termasuk dari investor strategis, lalu regrouping dalam KUB. Apalagi untuk bank yang berdampak sistemis, apa artinya UUS membesar kalau ketahanan dan stabilitas perekonomian Indonesia terganggu.

Menolak kewajiban spin off UUS dapat menghalangi proses konsolidasi perbankan. Tanpa konsolidasi, persiapan kita menghadapi turbulensi terhambat. Terlambat memahami perubahan geopolitik dunia dapat mengganggu ketahanan dan stabilitas perekonomian Indonesia.

Ini bukan soal tetek bengek biaya spin off atau jumlah Dewan Pengawas Syariah harus dikurangi menjadi dua orang. Ini soal yang sangat strategis bagi ketahanan dan stabilitas ekonomi Indonesia.

Nabi Musa AS menasihati kaumnya, "Kelak kamu akan ingat apa yang aku katakan. Aku menyerahkan urusanku kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya".

Wa u fawwidu amri ila Allah. 

Sederhana Bukan Berarti Miskin

Pejabat yang kerap menampilkan gaya hidup //hedon// disebabkan kurangnya pemahaman agama

SELENGKAPNYA

Bersyukur Meski ‘Dihantam’ Sakit

Hakikat syukur adalah menghayati hanya Allah yang memberikan nikmat di alam ini

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya