Aparat keamanan berusaha menghalau suporter yang masuk ke lapangan usai pertandingan BRI Liga 1 antara Arema melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu malam (1/10/2022). | ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

Tajuk

Nyawa Lebih Berharga dari Sepak Bola

Di sini terlihat ketidaksiapan penyelenggara dalam mengantisipasi berbagai situasi pertandingan.

"Nyawa manusia lebih berharga dari sepak bola". Kalimat ini kembali ramai menyebar di media sosial pada Ahad (2/10). Hal ini menyusul tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Sabtu (1/10) malam WIB pascapertandingan Liga 1 Indonesia antara Arema FC vs Persebaya.

Ratusan orang meninggal dunia di Stadion Kanjuruhan pada Sabtu malam. Ketika itu, tuan rumah kalah 2-3 dari Bajul Ijo. Karena kecewa, suporter Singo Edan masuk ke arena pertandingan kemudian terjadi kekacauan yang sulit diredam pihak keamanan.

Tragedi ini pun kembali menjadi catatan hitam bagi dunia sepak bola Tanah Air. Apalagi, banyaknya korban yang jatuh menjadikan peristiwa ini sebagai salah satu tragedi terdahsyat sepanjang sejarah si kulit bundar.

Ini bahkan melebihi tragedi Heysel pada 29 Mei 1985, yaitu ketika laga final Liga Champions (European Cup) antara Liverpool vs Juventus. Pada peristiwa tiga dekade lalu, 39 orang meninggal dunia dan menjadi salah satu momen kelam di dunia sepak bola.

 
Tragedi ini pun kembali menjadi catatan hitam bagi dunia sepak bola Tanah Air. Apalagi, banyaknya korban yang jatuh menjadikan peristiwa ini sebagai salah satu tragedi terdahsyat sepanjang sejarah si kulit bundar.
 
 

Kejadian ini juga lebih parah dari tragedi Hillsborough yang terjadi di stadion di daerah Sheffield, Inggris, pada 15 April 1989. Pada pertandingan semifinal Piala FA antara Liverpool vs Nottingham Forest itu, membeludaknya penonton turut menjadi penyebab 96 orang tewas.

Satu fakta yang harus dicatat dari peristiwa Kanjuruhan adalah ini bukan kerusuhan antarsuporter. Tidak ada suporter Persebaya di Kanjuruhan karena memang dilarang untuk datang.

Kejadian dipicu dengan kekalahan Arema, yang membuat sejumlah suporter kesal serta memasuki lapangan sambil mengejar pemain ataupun staf pelatih. Polisi kemudian mengejar dan memukuli suporter dengan tongkat kayu.

Suporter lain yang kesal lalu ikut turun ke lapangan dengan jumlah yang semakin banyak. Kalah jumlah, polisi panik kemudian menembakkan gas air mata ke tribun penonton. Dari sinilah bencana mengerikan itu terjadi.

Puluhan ribu suporter panik dengan situasi kacau dan gas air mata yang memenuhi stadion. Ratusan orang meninggal pun sebagian besar karena terinjak-injak dan sesak napas, saat mencoba melarikan diri dari kepungan gas air mata.

 
Di sini terlihat ketidaksiapan penyelenggara dalam mengantisipasi berbagai situasi yang dapat muncul dalam pertandingan.
 
 

Di sini terlihat ketidaksiapan penyelenggara dalam mengantisipasi berbagai situasi yang dapat muncul dalam pertandingan. Karena itu, ketika suporter kehilangan rasionalitas justru malah diperparah dengan penyelenggara dan pihak pengamanan yang tidak profesional. Dua faktor utama ini pun menjadi kombinasi yang membuat tragedi berdarah yang menelan ratusan nyawa manusia.

Kelalaian pihak penyelenggara diketahui, antara lain ketika mengabaikan usulan keselamatan dari aparat. Misalnya saja kapasitas stadion hanya 38 ribu orang. Akan tetapi, tiket yang dicetak malah mencapai 42 ribu.

Usulan terkait teknis pun tidak dijalankan. Pertandingan disarankan digelar pada sore hari. Akan tetapi, hal itu tidak dihiraukan dan alih-alih pertandingan tetap digelar pukul 20.00 WIB.

Sementara itu, kelalaian aparat terlihat dari penggunaan gas air mata yang memenuhi stadion. Padahal, FIFA, badan tertinggi sepak bola dunia, tegas menyatakan kalau tidak boleh menggunakan gas air mata dalam mengendalikan suporter yang 'rusuh'.

 
Usulan terkait teknis pun tidak dijalankan. Pertandingan disarankan digelar pada sore hari. Akan tetapi, hal itu tidak dihiraukan dan alih-alih pertandingan tetap digelar pukul 20.00 WIB.
 
 

Dalam aturan pengamanan dan keamanan stadion FIFA, Pasal 19 ayat b, dengan jelas disebutkan kalau polisi tidak boleh menggunakan senjata api atau gas air mata dalam mengendalikan massa. Hal ini pun terbukti dari sejarah mengerikan di Peru pada 24 Mei 1964, ketika penggunaan gas air mata menyebabkan 328 suporter meninggal dunia.

Seharusnya, peristiwa mengerikan yang menghilangkan nyawa ratusan penikmat sepak bola tak terjadi. Apalagi, sepak bola merupakan olahraga yang mengedepankan sportivitas dan fairness.

Kita pun mengucapkan belasungkawa terdalam kepada keluarga korban dan yang kehilangan nyawa dalam insiden tragis ini. Selanjutnya, kita harus mendorong dan mengawasi pengusutan hingga tuntas atas tragedi yang menjadi catatan hitam bagi Indonesia, khususnya dunia sepak bola. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Tragedi Berdarah di Kanjuruhan

Tiga ribu dari total 40 ribu penonton turun ke lapangan

SELENGKAPNYA

Tirakat Pak Zar Mendoakan Anak

Doa selalu menjadi senjata orang beriman, sebagaimana disabdakan Rasulullah

SELENGKAPNYA

Murid Tercela Menghina Guru

Murid yang seharusnya berakhlak mulia kepada guru justru melecehkannya

SELENGKAPNYA