KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA KDRT | Republika/Agung

Opini

Soal KDRT, Benarkah Islam Melegitimasi Suami Memukul Istri?

Keyakinan yang melanggengkan terjadinya kekerasan antara lain bersumber dari cara pemahaman agama

LIES MARCOES-NATSIR (Aktivis LSM) dan BADRIYAH FAYUMI (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta)

Apa itu kekerasan rumah tangga. Tidak ada kekerasan tanpa dapat kita pahami duduk persoalannya. Demikian juga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Kekerasan rumah tangga adalah satu bentuk kekerasan yang terjadi di lingkup rumah tangga di mana hubungan antara pelaku dan korban ada dalam ikatan rumah tangga atau perkawinan dan tidak dalam hubungan pekerjaan.

Definisi ini penting untuk membedakan bentuk kekerasan lain yang mungkin saja terjadi di lingkup rumah tangga tetapi tidak menyangkut hubungan perkawinan, misalnya kekerasan yang dilakukan majikan terhadap pembantu.

Kekerasan seperti itu tidak dapat disebut kekerasan rumah tangga meskipun terjadi di lingkup rumah tangga. Kekerasan yang dilakukan majikan terhadap pembantunya dikatagorikan kekerasan dalam hubungan pekerjaan/kekerasan publik meskipun tempatnya ada dalam rumah tangga.

Kekerasan rumah tangga, sebagaimana kekerasan lain seperti kekerasan etnis, kekerasan agama, selalu terkait dengan dua hal. Pertama kekerasan itu selalu terjadi karena ada dua pihak yang berada dalam hubungan relasional yang tidak seimbang atau timpang.

Kekerasan etnis, misalnya, pastilah terjadi karena ada dua atau lebih etnis yang saling berhadapan dalam hubungan yang tidak sepadan dan tidak seimbang sehingga kelompok yang kuat melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok yang lemah.

Demikian halnya dengan kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan ini terjadi karena hubungan suami dan istri tidak seimbang, dalam hal ini biasanya kedudukan dan status suami lebih tinggi daripada istrinya.

photo
SOLO, 31/1 - AKSI TOLAK KDRT. Sejumlah pegiat Jaringan Peduli Perempuan dan anak, menggelar aksi tolak Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di depan Balaikota Solo, Jateng, Kamis (31/1). FOTO ANTARA/Akbar Nugroho Gumay/Koz/mes/13. - (ANTARA FOTO)

Kedua, tindakan kekerasan selalu dilandasi oleh adanya anggapan atau asumsi tentang korban yang diyakini oleh pelaku. Dengan adanya anggapan dan asumsi tentang korban, pelaku mendapatkan legitimasinya untuk melakukan tindakan kekerasan. Dalam konteks kekerasan majikan terhadap pembantu, misalnya, majikan selalu punya anggapan dan asumsi yang sangat sterotype tentang pembantunya; jorok, malas, bodoh, tidak patuh, dan seterusnya.

Keyakinan tentang pembantu ini dijadikan alasan oleh majikan untuk membenarkan perilaku buruknya terhadap pembantu. Demikian halnya tindakan kekerasan yang dilakkan oleh laki-laki (suami) terhadap perempuan (istri). Pelaku mendasarkan tindakannya pada suatu keyakinan, misalnya, suami adalah pemimpin, harus dipatuhi, harus dituruti kehendaknya, harus dilayani kebutuhannya tidak boleh ditentang kehendaknya, dan seterusnya.

Demikian halnya keyakinan dia tentang korban, misalnya istri harus patuh, harus pasrah, taat, dan seterusnya. Bersamaan dengan itu sang pelaku juga memiliki keyakinan bahwa korban pantas dikerasi karena cerewet, tidak patuh , tidak  sabar, tidak memenuhi kemauannya, dan seterusnya.

 

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

 

Bentuk dan ruang lingkup KDRT

Bentuk atau jenis KDRT tidak hanya terbatas pada pemukulan atau penyiksaan yang bersifat fisik dan menimbulkan rasa sakit secara fisik pula. Pada kenyataannya cakupan KDRT lebih luas yaitu kekerasan fisik, nonfisik, emosi dan ekonomi.

Seorang istri yang dipaksa memenuhi kebutuhan seksual suaminya dengan cara mengingatkan akan kewajibannya sebagai istri dapat dikatagorikan kekerasan emosi atau nonfisik. Demikian juga suami yang melakukan perselingkuhan dan poligami dikategorikan kekerasan nonfisik.

Demikian halnya ketika suami memaksa istri untuk mencukupkan uang belanjanya yang nyata-nyata tidak cukup, itu juga bentuk lain dari kekerasan dalam rumah tangga. Namun yang paling nyata tentu saja tindakan yang bersifat fisik, seperti pemukulan, penelantaran, penghinaan, perkosaan, dan bahkan kemudian pembunuhan.

Tafsir dan Pelanggengan KDRT

Dari berbagai penelitian diketahui bahwa keyakinan yang melanggengkan terjadinya kekerasan antara lain bersumber dari cara pemahaman agama, baik pihak pelaku maupun korban. Pemahaman itu merupakan gambaran dari keyakinan umat pada umumnya.

Misalnya, kekerasan yang didasarkan pada tafsir tentang nusyuz. Sebagaimana termuat dalam QS AN-Nisa, 4: 34, "Wanita-wanita yang kamu kuatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari cari jalan untuk menyusahkannya. Sesunggguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar."

 

 

 

Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari cari jalan untuk menyusahkannya. Sesunggguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar

 

QS AN-NISA,4:34
 

 

Ini hanyalah salah satu contoh bagaimana ayat Alquran, "wadribuuhinna"-"dan pukullah", dijadikan legitimasi untuk melakukan tindakan kekerasan. Demikian juga tak sedikit juga hadis-hadis Nabi yang dibaca sesuai dengan kehendak dan keyakinan pelaku untuk membenarkan tindakan kekerasannya.

Dalam teks hadis memang telah juga diberi batasan bahwa kekerasan tidak boleh mengenai muka, tidak menyakitkan menggunakan saputangan. Namun dalam kenyataan, kita melihat sering sekali kekerasan dilakukan dengan menggunakan sapu dan tangan (benda keras yang menyakitkan bahkan bisa membuat korban cedera)

Padahal kalau kita melihat ayat tersebut secara menyeluruh sangat jelas semangat ayat itu adalah melarang tindakan pemukulan. Kalau melihat ayat itu, maka seolah-olah suami mendapat izin untuk melakukan tindakan kekerasan "maka pukullah".

Padahal  kalau dicermati secara keseluruhan, semangan ayat itu justru melarang melakukan pemukulan. Ayat itu menegaskan bahwa pemukulan adalah langkah terakhir setelah upaya-upaya lain seperti menasihati dan pisah ranjang. Dua langkah awal itu diharapkan menjadi penghalang untuk terjadinya tindakan kekerasan.

Nabi Muhammad sendiri sebagai mufasir utama teks Alquran, sesuai dengan kesaksian istri dan para pembantunya, tidak pernah memukul istrinya sama sekali. Nabi SAW bahkan pernah ditanya para sahabatnya-karena mereka penasaran atas sikap Nabi yang begitu santun kepada istri dan tidak pernah bertindak kasar kepada istri-istrinya.

Seorang sahabat bertanya, "Ya, Rasulullah, dalam hal apa seorang laki-laki (suami) boleh memukul seorang perempuan (istri)?" Pertanyaan itu tidak pernah mendapat jawaban dari Rasulullah. Ini artinya Nabi betul-betul memberikan pesan kepada umatnya bahwa pemukulan bukunlah cara yang direkomendasikan agama Islam.

Akhiri kekerasan

Tidak ragu, Islam adalah agama yang tidak membenarkan tindakan kekerasan. Secara praktis usaha untuk mengakhiri tindakan kekerasan harus berangkat dari upaya untuk menyeimbangkan hubungan dan relasi antara suami dan istri. Keseimbangan relasi ini menjadi sangat penting sebagai titik awal untuk mengakhiri praktik kekerasan terhadap perempuan.

Sang istri selaku pihak yang selama ini menjadi sasaran kekerasan tentu saja tidak dapat mengupayakan sendiri dalam menyeimbangkan relasinya. Mereka membutuhkan penguatan antara lain dengan mengubah sterotype tentang pelaku dan korban.

Tindakan kekerasan yang dilakukan suami biasanya bersumber dari situasi yang ada di luar tatanan rumah tangga, misalnya suami menghadapi tekanan dan tindakan yang menyebabkan mereka mencari sasaran untuk melampiaskan tekanannya. Dalam relasi yang timpang, mereka akan mencari pihak yang paling lemah-dalam hal ini istri sebagai sasaran atau keranjang sampah tempat mereka menumpahkan segala persoalannya.

Di level teks, di mana teks biasanya dijadikan sandaran untuk tindakan kekerasan, kita harus melakukan suatu kajian ulang. Kata "wadribuuhunna"-"maka pukullah mereka", tidak dapat dipenggal begitu-begitu saja tanpa dikaitkan dengan semangat keseluruhan Alquran yang telah meletakkan perempuan sedemikian rupa menjadi manusia yang utuh dan setara di hadapan Allah.

Allah berfirman, "... dan bergaullah dengan mereka (wanita) secara patut. Kemudian bila mereka tidak menyukai mereka, maka bersabarlah, karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (QS Al-Nisaa, 4: 19).Wallahu a'lam.

Islam adalah agama yang tidak membenarkan tindakan kekerasan. Nabi SAW memberikan pesan kepada umatnya bahwa pemukulan bukunlah cara yang direkomendasikan Islam. Keseimbangan relasi antara suami dan istri menjadi sangat penting sebagai titik awal untuk mengakhiri praktik kekerasan terhadap perempuan.

Disadur dari Harian Republika Edisi 12 Maret 2004

Catatan Penting G-30-S/PKI

Bangsa ini menanggung beban konflik sejarah bila rekonsiliasi yang alami dan murni tidak terwujud.

SELENGKAPNYA

Misteri Cakra Madura pada G30S

Mengapa Kompi Pasopati yang dipimpin Lettu Dul Arief yang ditugaskan menculik para jenderal?

SELENGKAPNYA

Kekejaman PKI dari Masa ke Masa

Penyiksaan sebelum pembunuhan juga terjadi terhadap sejumlah orang di Solo pada 1965.

SELENGKAPNYA