ILUSTRASI Patung al-Biruni di paviliun Iran. Tokoh ini telah menemukan keliling planet bumi dengan presisi lebih dari 99 persen. | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Sumbangsih al-Biruni Dalam Sains

Al-Biruni, saintis Muslim dari abad ke-11 ini meletakkan prinsip-prinsip kerja ilmiah.

OLEH HASANUL RIZQA

 

Dalam sejarah sains, al-Biruni (973-1050) memiliki banyak prestasi yang sangat gemilang. Pemilik nama lengkap Abu Rayhan Muhammad bin Ahmad al-Biruni itu pun memperoleh beragam julukan kehormatan.

Para sejarawan menyebutnya “Guru Segala Ilmu". Ada pula yang mengapresiasinya sebagai “Peletak Dasar Metode Ilmiah” atau “Eksperimentalis Besar Pertama” (World’s First Great Experimenter). Kontribusinya meliputi bidang ilmu alam maupun humaniora. Dialah yang pertama kali menghitung keliling bumi secara presisi. Ilmuwan Muslim tersebut merintis pula antropologi dan indologi.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Al-Biruni telah menghasilkan tidak kurang dari 180 judul karya. Mayoritasnya membahas percobaan ilmiah yang dilakukannya mengenai pelbagai fenomena alam. K Ajram dalam The Miracle of Islamic Science (1992) mengatakan, total karya ilmiah yang ditulis sang saintis Muslim mencapai 13 ribu halaman. Jumlah itu melampaui hasil tulisan Galileo Galilei (1564-1642) dan Isaac Newton (1643-1727) sekaligus.

Bahkan, lanjut Ajram, al-Biruni telah membuka jalan bagi teori gravitasi yang disampaikan Newton. Pada faktanya, ilmuwan kelahiran Negeri Khwarazmi, Asia tengah, itu 500 tahun lebih awal dalam menyatakan adanya gaya tarik bumi.

Dalam sebuah risalahnya, ia menulis, “Semua elemen menuju (ditarik) ke arah pusat bumi, tetapi yang (memiliki) bobot paling berat lebih dahulu daripada yang ringan.” Galileo memperbarui simpulan tersebut dengan menegaskan, seluruh benda memiliki kecepatan jatuh yang sama bila pengaruh gaya luar—semisal embusan angin—dihilangkan.

Menurut Ajram, al-Biruni sebagai seorang fisikawan memberikan sumbangsih pada pengukuran berat jenis benda. Sarjana dari abad ke-11 itu merancang piknometer untuk mengukur dan membandingkan berat jenis zat cair atau zat padat. Yang tidak kurang hebatnya, ia pun menerapkan metode yang runtut sehingga tetap terpakai hingga zaman sekarang.

Untuk menentukan berat jenis suatu benda, al-Biruni pertama-tama menimbang bobot benda itu di udara. Kemudian, benda yang sama ditimbang lagi di air. Air yang berpindah akibat desakan bobot benda itu lalu ditimbang. Ia pun melakukan perbandingan berat benda dan berat air dengan volume yang sama.

 
Al-Biruni telah membuka jalan bagi teori gravitasi yang disampaikan Newton.
 
 

Husein Heriyanto dalam Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam (2011) merangkum komparasi antara hasil perhitungan berat jenis menurut al-Biruni dan perhitungan modern. Tampak tidak ada perbedaan yang berarti di antara keduanya dalam menghitung massa jenis emas (al-Biruni dan modern: 19,26); air raksa (al-Biruni/modern: 13,74/13,50); tembaga (8,92/8,85); besi (7,82/7,29); timah (7,22/7,29); dan mutiara (2,73/2,75).

Al-Biruni juga mencetuskan prinsip kekekalan massa. Menurutnya, jumlah total massa pada dasarnya tetap walaupun berubah-ubah bentuk. Dengan perkataan lain, massa zat sebelum reaksi (reaktan) sama dengan massa zat sesudah reaksi (produk).

Akan tetapi, hukum itu acap kali disematkan pada sosok Mikhail Lomonosov (1711-1756) dan Antoine Lavoisier (1743-1794). Karena itu, Ajram memandang kedua ilmuwan Eropa itu adalah “murid tidak langsung” al-Biruni—untuk tidak mengatakan bahwa keduanya membajak ide sang cendekiawan Muslim.

Dalam ranah matematika, intelektual yang bekerja pada era Sultan Mahmud Ghazni (998-1030) itu memberikan sumbangsih nyata. Bersama dengan para sarjana Muslim lainnya, semisal Abu al-Wafa (940-998), Abu Nashr Manshur (960-1036), dan Nashiruddin al-Thusi (1201-1274), dirinya turut membentuk konsep trigonometri. Hukum-hukum yang ditemukannya masih digunakan orang-orang masa kini.

Heriyanto mengatakan, al-Biruni membuat tabel-tabel matematis untuk sinus dan tangen. Sahabat korespondensi Ibnu Sina (980-1037) itu juga melakukan berbagai penelitian guna menentukan nilai tali busur, sinus, dan busur yang lengkung. Ia pun menemukan Dalil Sinus. Yang fenomenal adalah, dirinya mampu menghitung jarak keliling bumi dengan akurat berdasarkan pengetahuannya mengenai trigonometri.

photo
ILUSTRASI diagram perhitungan al-Biruni untuk menentukan keliling Bumi. - (DOK WIKIPEDIA)

Mengukur bumi

Menurut perhitungan modern, seperti dicatat Sigurd Humerfelt dalam “How WGS 84 Defines Earth” (2010), keliling bumi di area khatulistiwa adalah 40.075,017 km. Dengan memanfaatkan kalkulasi trigonometri, al-Biruni pada abad ke-11 menemukan bahwa keliling bumi adalah 40.225 km.

Angka itu bila dibandingkan dengan hasil temuan kini hanya menyimpang sekira 0,38 persen. Dengan perkataan lain, akurasi sang polymath Muslim sangat besar, yakni mencapai 99,62 persen.

Al-Biruni menemukan pula radius bumi, yakni 6.339,6 km. Hingga abad ke-16 M, akademisi Eropa Barat belum mampu mengukur jarak demikian, seperti yang dilakukan Muslim genius tersebut.

Maka, bagaimana metode yang diterapkan sang al-Ustadz fii al-‘Ulum (Gurunya Banyak Ilmu) untuk sampai pada hasil demikian? Heriyanto menjelaskan, pertama-tama al-Biruni—seperti halnya para ilmuwan Muslim terdahulu maupun sezamannya—berprinsip bahwa bumi ini berbentuk bulat seperti bola. Ia juga menunjukkan, planet ini berputas pada porosnya.

Kemudian, al-Biruni mesti menemukan data penting, yakni jarak jari-jari bumi. Sebab, nilai pi sudah ditemukan oleh matematikawan sebelumnya, termasuk Muhammad bin Musa al-Khwarizmi (780-847). Selain itu, besaran tinggi gunung juga telah diketahui.

Untuk menyederhanakan kalkulasi, bentuk bola itu dilukiskan dalam bentuk dua dimensi, yaitu lingkaran. Katakanlah, O adalah titik pusat bumi. Titik A adalah titik di permukaan Bumi yang  menjadi kaki gunung yang tinggi. Titik P berarti titik puncak gunung. Titik B adalah titik di permukaan bumi yang merupakan titik singgung garis P dengan horizon bumi—titik S. Kedua titik P dan S membentuk garis PS.

photo
Al-Biruni merintis pelbagai cabang ilmu, semisal indologi dan antropologi. Ia pun mengajukan gagasan tentang Dalil Sinus dan teori gravitasi jauh sebelum Newton. - (DOK WIKIPEDIA)

Titik A dan B berada pada bidang permukaan bumi yang ketinggiannya sama dengan permukaan laut (h = 0 meter). Garis AP adalah tinggi gunung. Garis OB tegak lurus dengan garis PS. Ini sesuai dengan dalil geometri, sebuah garis yang menyinggung lingkaran akan tegak lurus dengan jari-jari lingkaran yang melalui titik singgung garis tersebut dengan lingkaran (titik B).

Al-Biruni lalu menentukan data sudut elevasi, yakni sudut penglihatan dari P ke arah permukaan laut (h = 0). Dengan perkataan lain, sudut itu adalah yang terbentuk antara garis PS dan garis OAP. Adapun sudut elevasi yang ditemukannya, tutur Heriyanto, disimbolkan dengan huruf “a” (lambda).

Garis AP adalah tinggi gunung (h). Al-Biruni mengadakan observasi di banyak tempat, khususnya kawasan Pegunungan Himalaya dan Hindukush. Gunung-gunung di sana rata-rata memiliki ketinggian puncak antara 6.000--7.000 m.

Dengan mengetahui data (h) dan sudut elevasi, al-Biruni dapat menghitung jari-jari bumi (R). Ia menggunakan Dalil Sinus, yakni “panjang sisi a : panjang sisi b : panjang sisi c = sin A : sin B : sin C.” Karena itu, “garis OB : garis OP = sin OPB : sin OBP.” Garis OB adalah R. Adapun OP adalah R ditambah (h). Lambda adalah sudut OPB. Sedangkan sudut OBP adalah 90 derajat, yang memiliki sin sama dengan 1.

Karena tinggi (h) dan sudut elevasi sudah diketahui, nilai R pun dapat dicari. Dari sana, keliling bumi pun bisa ditentukan dengan rumus “keliling = 2.pi.R.” Hasilnya, al-Biruni mengatakan, jarak keliling bumi adalah 25 ribu 2/7 mil atau setara 40.225 km.

Kerja intelektual

Tokoh yang namanya diabadikan sebagai kawah di bulan itu berjasa dalam menegakkan etika ilmuwan. Dialah yang pertama kali menegaskan dasar-dasar metode ilmiah dalam pengertian modern.

Menurut al-Biruni, penelitian atau riset merupakan sebuah kerja ilmiah yang dimulai dari perumusan masalah, baik secara teoretis maupun praktis. Setelah itu, ilmuwan mengajukan hipotesis yang siap diuji melalui berbagai observasi lapangan atau eksperimen.

Tujuan akhir kegiatan intelektual itu adalah penarikan kesimpulan tentang masalah yang diteliti. Hasilnya dapat berupa teori atau penemuan baru. Bisa pula berupa peneguhan atas teori-teori lama. Pengambilan kesimpulan melalui logika induktif, yakni menemukan hal yang umum dari peristiwa-peristiwa khusus. Sebaliknya, hipotesis diperoleh melalui jalan deduktif.

Tahapan-tahapan kerja ilmiah itu dilakukannya, antara lain, ketika membantah sebagian teori Aristoteles mengenai “benda jatuh". Menurut fisika Yunani itu, hanya benda-benda tertentu saja yang jatuh ke bumi, yakni zat yang berasal dari bumi. Umpamanya adalah batu, logam, kayu, dan lain-lain. Adapun benda-benda eter semisal udara dan api bergerak ke atas atau tidak jatuh karena mereka berasal dari langit.

photo
ILUSTRASI Melalui kajian indologi, peradaban India dapat ditelaah dengan pendekatan sosiologis, historis, dan antropologis. Adalah al-Biruni yang merintis disiplin tersebut. - (DOK PXHERE)

Heriyanto menuturkan, al-Biruni menentang spekulasi demikian. Saintis Muslim tersebut melakukan observasi awal dengan berhipotesis bahwa semua benda ditarik oleh gaya tarik atau gravitasi yang berasal dari pusat bumi. Akan tetapi, besaran gravitasi terhadap benda-benda berbeda-beda. Perbedaan itu bergantung pada apa yang dinamakannya berat jenis atau “gravitasi khusus” (specific gravity).

Al-Biruni kemudian merancang eksperimen sembari mengembangkan metode dan peralatan yang memadai, semisal piknometer. Maka, dirinya dapat mengetahui massa jenis berbagai benda padat maupun cair. Dari penelitiannya itu, ia berkesimpulan tiga hal.

Pertama, seluruh benda memiliki specific gravity yang berhubungan dengan tarikan pusat bumi. Kedua, setiap benda memiliki berat jenis yang berbeda-beda. Ketiga, benda yang lebih berat bergerak jatuh lebih cepat dibandingkan dengan benda yang lebih ringan.

Terhadap simpulan terakhir itulah, Galileo memperbarui penemuan al-Biruni, yakni melalui eksperimennya yang terkenal: menjatuhkan dua benda berbeda massa dari atas menara Pisa.

 

photo
Beberapa halaman dalam buku karya al-Biruni. Ilmuwan yang hidup pada masa Sultan Mahmud Ghazni ini memiliki kepakaran dalam banyak disiplin. - (DOK BL UK)

Menghitung Arah Kiblat

Selalu ada hikmah di balik setiap ketentuan Allah SWT. Dia menetapkan bahwa semua hamba-Nya yang mendirikan shalat harus menghadap Ka’bah di Baitullah Masjidil Haram, Makkah al-Mukarramah. Bagi kaum intelektual (ulil albab), perintah-Nya itu juga berarti imbauan untuk mengadakan penelitian tentang di mana arah kiblat saat mereka berada di suatu daerah luar Tanah Suci.

Ahmad Izzuddin dalam artikelnya, “Metode Penentuan Arah Kiblat dan Akurasinya” (2012) mengatakan, al-Biruni (973-1050) merupakan salah seorang saintis yang merintis perhitungan arah kiblat pada era pra-modern. Intelektual serba bisa (polymath) tersebut memanfaatkan rumus matematika, yakni teori trigonometri bola (spherical trigonometry). Hal itu dilakukannya untuk menjelaskan pengukuran azimut kiblat.

Teori itu mengasumsikan adanya tiga titik pada permukaan bumi. Yang pertama adalah A, yakni titik lokasi daerah yang hendak dihitung arah kiblatnya. Kedua, titik B yaitu Ka’bah. Terakhir, C yang terletak di Kutub Utara.

Ketiga titik tersebut dihubungkan dengan garis lengkung, yang kemudian diperoleh segitiga bola. Sudut yang diapit oleh garis yang menghubungkan Kutub Utara dan tempat yang akan dihitung (CA) serta garis yang menghubungkan tempat yang dihitung dengan Ka’bah (CB), itulah yang disebut sebagai arah kiblat.

Teori tersebut dituangkan al-Biruni dalam karyanya, Al-Qanun al-Mas’udi. Dalam buku itu, ia membuat catatan perihal garis lintang dan bujur dari ribuan kota. Dengan begitu, pembaca dapat menentukan arah kiblat di tiap daerah setempat.

Di samping cara tersebut, ada satu metode yang acap kali digunakan dan tidak kalah efektif. Seluruhnya ilmuwan setuju bahwa setiap tahun, selalu ada dua hari ketika matahari berada tepat di atas Ka’bah. Maka, arah bayangan matahari di mana pun seseorang berada di dunia pasti mengarah ke kiblat.

Terkait penentuan awal bulan Hijriyah, al-Biruni termasuk kelompok yang memelopori pendekatan teoretis. Adapun cara yang empiris berarti menjadikan visibilitas hilal sebagai panduan.

Riwayat Gemilang al-Biruni

Al-Biruni mengembangkan dan bahkan merintis berbagai disiplin keilmuan.

SELENGKAPNYA

Baptis Massal Pasca Komunis

Meskipun PKI kalah pada Pemberontakan 1965, bukan berarti umat Islam tidak menderita kerugian.

SELENGKAPNYA

Hukum Menafsirkan Mimpi

Boleh menceritakan hanya mimpi yang baik

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya