Al-Biruni merintis pelbagai cabang ilmu, semisal indologi dan antropologi. Ia pun mengajukan gagasan tentang Dalil Sinus dan teori gravitasi jauh sebelum Newton. | DOK WIKIPEDIA

Tema Utama

Riwayat Gemilang al-Biruni

Al-Biruni mengembangkan dan bahkan merintis berbagai disiplin keilmuan.

OLEH HASANUL RIZQA

Namanya dikenang sebagai seorang ilmuwan Muslim yang genius. Abu Rayhan al-Biruni berperan besar dalam banyak bidang ilmu. Pengaruhnya diakui luas hingga kini.

Sang Guru Banyak Ilmu

 

 

Peradaban Islam melahirkan banyak saintis terkemuka. Mereka berkontribusi besar dalam mengembangkan pengetahuan. Bahkan, tidak sedikit sarjana Muslim yang merintis beragam disiplin keilmuan modern.

Di antara para sosok yang genius itu adalah al-Biruni. Perannya begitu besar dalam berbagai bidang, seperti matematika, fisika, astronomi, dan ilmu sejarah. Di samping itu, cendekiawan tersebut juga menginisiasi studi indologi, perbandingan agama, antropologi, dan geodesi.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Tokoh ini bernama lengkap Abu Rayhan Muhammad bin Ahmad al-Biruni. Ia lahir pada tahun 362 H/973 M di Beruniy, sebuah distrik region Asia tengah. Pada masa itu, daerah tersebut termasuk wilayah Negeri Khwarazmi—kini Republik Uzbekistan.

Sejak abad kedelapan, Khwarazmi diperintah oleh Dinasti Afrighidiyah. Raja-rajanya tunduk pada sistem kekhalifahan, baik pada era Umayyah maupun Abbasiyah. Kath merupakan pusat pemerintahan kerajaan ini.

Saat berusia muda, al-Biruni merantau ke Kath. Ia belajar ilmu-ilmu agama kepada sejumlah ulama setempat. Di kota yang sama, remaja yang selalu haus akan pengetahuan itu mulai mengenal dunia sains.

Salah seorang gurunya adalah Abu Nashr Manshur (960-1036 M). Murid Abu al-Wafa (940-998 M) itu dikenal antara lain sebagai penemu hukum sinus. Al-Biruni mulai mempelajari matematika di bawah bimbingan sang ilmuwan.

Pada tahun 995, Kath diserang Wangsa Ma’muniyah. Al-Biruni kemudian ikut dalam rombongan yang hijrah ke Bukhara, yang ketika itu dikuasai Dinasti Samaniyah. Dalam masa ini, ia berkenalan dengan Ibnu Sina (980-1037 M). Belakangan, melalui surat-surat keduanya sering kali bertukar pikiran, antara lain, mengenai topik filsafat dan fisika Aristoteles.

 
Pada tahun 998, al-Biruni merupakan salah seorang intelektual yang memenuhi undangan Raja Qabus.
 
 

Pada tahun 998, al-Biruni merupakan salah seorang intelektual yang memenuhi undangan Raja Qabus. Ia pun berangkat ke negeri sultan tersebut, yakni Tabaristan. Lokasinya berada di Iran utara atau sekitar pesisir selatan Laut Kaspia.

Selama menjadi tamu Raja Qabus, al-Biruni menyambangi Bawandiyah, salah satu jiran Tabaristan. Di sana, dirinya diterima Raja Marzuban. Pada fase ini, ia menyelesaikan karya tulis pertamanya, yakni Al-Atsar al-Baqiyyah ‘an al-Qarun al-Khaliyyah (Jejak-jejak dari Abad Silam).

Buku tersebut membahas berbagai peristiwa besar yang terjadi di dunia Islam pada masa itu. Di dalamnya, ada pula beragam informasi tentang tradisi dan pencapaian peradaban-peradaban non-Muslim.

Al-Biruni sebenarnya berharap Dinasti Afrighidiyah dapat terus bertahan. Namun, Ma’muniyah terbukti lebih kuat. Penguasa-baru itu kemudian membangun pusat-pusat pengembangan ilmu pengetahuan di Khurasan dan Transoxiana.

Al-Biruni kembali ke Kath guna menjadi diplomat Dinasti Ma’muniyah. Ia pun memanfaatkan beragam fasilitas yang disediakan kerajaan untuk meneruskan kajian-kajian keilmuan. Reputasinya semakin dikenal luas.

Pada awal abad ke-11, Dinasti Ghaznawiyah mengalahkan Ma’muniyah. Ketika itu, al-Biruni bermukim di Ray—sebuah daerah di arah selatan Tehran, Iran. Dirinya sedang mempelajari astronomi di observatorium setempat yang didirikan Abu Mahmud Hamid al-Khajandi (940-1000 M).

Mahmud Ghazni membawa Ghaznawiyah pada fase kemajuan. Dialah pemimpin pertama yang menggunakan titel sultan dalam sejarah. Di bawah pemerintahannya, kerajaan tersebut mencakup wilayah yang amat luas; mulai dari dataran tinggi Persia di sisi barat hingga melewati daerah aliran sungai (DAS) Indus di sisi timur.

Sultan Mahmud Ghazni mendirikan kota baru yang diberinya nama Ghazna—sekira 150 km arah barat daya Kabul, Afghanistan. Ia lalu mengumpulkan cerdik cendekia dari seluruh penjuru negeri ke sana. Dari Ray, al-Biruni pun turut berpindah ke ibu kota Ghaznawiyah itu.

Sultan Mahmud kemudian menunjuknya sebagai ahli-falak kerajaan. Al-Biruni juga diberikan keleluasaan untuk mendirikan observatiorium di dekat Kabul. Sang ilmuwan menghabiskan hari-harinya dengan mengamati dan meneliti benda-benda langit. Salah satu karyanya dalam bidang astronomi adalah Kitab al-Tafhim li-Awa’il Sina‘at al-Tanjim.

Bagaimanapun, minatnya terhadap ilmu kemasyarakatan justru menguat selama dirinya tinggal di Ghazna. Saat menyambangi permukiman di DAS Indus, al-Biruni terkesima akan budaya penduduk lokal. Ia juga mengagumi peradaban India dan mulai mempelajari bahasa Sanskrit.

photo
Abu Rayhan al-Biruni, ilmuwan Muslim dari zaman keemasan Islam. Sang polymath genius itu merintis banyak cabang ilmu pengetahuan, termasuk Indologi. - (DOK WIKIPEDIA)

Rihlah ke India

Saat berusia 44 tahun, al-Biruni mendampingi Sultan Mahmud dalam ekspedisi ke Anak Benua India. Saintis tersebut menggunakan kesempatan ini untuk melakukan studi lapangan mengenai masyarakat dan kebudayaan India. Ia juga belajar menguasai bahasa Sanskerta.

Perjalanan selama beberapa tahun itu membuahkan karya, Kitab fii Tahqiq maa li’l Hind min Ma’qulatin fil ‘Aql aw Mardhula (Kajian atas Hal yang Disampaikan Masyarakat India, Baik Rasional Maupun yang Tertolak). Dengan menulis buku ini, al-Biruni membuka jalan bagi studi keilmuan baru, yakni indologi.

Ia tetap menegakkan kaidah-kaidah ilmiah dalam menyelidiki kebudayaan setempat. Dalam arti, subjek masyarakat didekatinya tanpa menaruh prasangka terlebih dahulu (free of prejudices). Karena itu, kecenderungannya selalu objektif dan imparsial dalam menulis.

Dalam menulis buku tersebut, al-Biruni menerapkan metode kronologis. Ia pun mengkritik cara sejumlah cendekiawan India pada masanya yang kurang begitu tertarik pada penulisan sejarah yang rasional, objektif, dan merujuk pada urutan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa historis.

“Sayangnya, orang-orang India tidak begitu memerhatikan urut-urutan (peristiwa) sejarah. Mereka kurang hati-hati dalam menghubungkan secara kronologis, misalnya, suksesi kepemimpinan raja-rajanya. Saat dicecar mengenai informasi atau gagap menjelaskan (mengenai sebuah peristiwa masa lalu --Red), mereka cenderung akan mendongeng,” tutur al-Biruni dalam karyanya, Kitab fii Tahqiq maa li’l Hind, seperti dinukil dari MS Khan dalam artikelnya, “Al-Biruni and the Political History of India” (1976).

Para peneliti pada era modern memuji al-Biruni. Sebab, dirinya begitu teliti dalam memilah antara yang fakta dan yang fiksi ketika mempelajari kultur masyarakat India.

 
Al-Biruni begitu teliti dalam memilah antara yang fakta dan yang fiksi ketika mempelajari kultur masyarakat India.
 
 

Ketelitian itu tentu lebih jelas ketika sang sarjana Muslim melakukan riset non-humaniora, semisal fisika, astronomi, atau matematika. Karena itu, banyak sejarawan mengakuinya sebagai peletak dasar metode ilmiah.

Menurut al-Biruni, metode yang tepat untuk menulis historiografi, di samping kronologi, adalah komparasi. Peradaban India pun dibandingkannya dengan peradaban atau kebudayaan lain yang pernah dipelajarinya, semisal Yunani Kuno, Persia pra-Islam, Kristen, atau Yahudi.

Dalam pengamatannya, kebudayaan India tidak jauh berbeda dengan beberapa tradisi tersebut. Umpamanya, panteisme yang ditemukan dalam kepercayaan Hindu, juga tampak indikasinya dalam tradisi Yunani. Fenomena kasta yang diterapkan masyarakat India ditemukan pula polanya dalam Persia. Keduanya meyakini bahwa manusia terbagi ke dalam strata sosial sejak lahir.

Tentunya, al-Biruni tidak melewatkan topik sumbangsih peradaban India bagi khazanah ilmu secara global. Contohnya, sistem angka India, //anka//, yang dibaca secara deretan—dari kiri ke kanan. Ia menilai, sistem numeral itu jauh lebih praktis dibandingkan sistem bilangan Romawi.

photo
Beberapa halaman dalam buku karya al-Biruni. Ilmuwan yang hidup pada masa Sultan Mahmud Ghazni ini memiliki kepakaran dalam banyak disiplin. - (DOK BL UK)

Penuh dedikasi

Selama mengikuti misi Sultan Mahmud di India, al-Biruni tidak meninggalkan kegiatan penelitiannya dalam bidang sains alam. Ia menemukan berbagai metode untuk, antara lain, mengukur ketinggian matahari serta keliling dan radius bumi.

Astronom yang juga ahli geografi tersebut juga memperkenalkan pembagian jam ke dalam perhitungan 60-an (sexagesimal), yakni menit dan detik. Sebagai fisikawan, dirinya selalu mengandalkan eksperimen. Misalnya membuktikan berat jenis benda-benda walaupun dalam beberapa hal teorinya masih cenderung mendukung Aristotelian.

Al-Biruni merupakan seorang ilmuwan multitalenta yang penuh dedikasi. Mahmud mengistimewakannya di antara para cerdik cendekia di lingkungan istana. Salah satu karyanya adalah Al-Qanun al-Mas’udi. Buku yang ditulisnya dalam bahasa Arab itu menghimpun berbagai pemikirannya tentang ilmu falak, geografi, dan teknik sipil.

Seperti tampak pada judulnya, buku tersebut dipersembahkannya untuk reputasi sang raja Ghaznawiyah. Sebagai balasan, sang sultan memberikannya koin perak sebanyak bobot yang bisa diangkut seekor gajah. Akan tetapi, hadiah itu ditolaknya dengan halus seraya menyebutkan kebaikan-kebaikan yang sudah diperolehnya dari negara.

photo
al-Biruni - (DOK Wikipedia)

Pada 1030 M, Sultan Mahmud meninggal dunia. Kedudukan penguasa ini digantikan oleh pangeran yang bernama Muhammad. Dalam masa pemerintahan raja-baru tersebut, al-Biruni menyelesaikan sebuah karyanya untuk bidang geologi, Al-Jamahir fii Ma’rifat al-Jawahir. Beberapa bulan sebelum wafat, sarjana ini menerbitkan buku tentang ilmu medis, Kitab al-Sadala fi’l Thibb.

Menurut Riaz Ahmad dalam “Al-Biruni: A Great Muslim Scientist, Philosopher and Historian (973-1050 AD)”, jumlah karya yang dihasilkan al-Biruni di sepanjang hayatnya mencapai 180 judul. Dari total tersebut, sebanyak 103 judul diterbitkan pada masa hidupnya.

Terlepas dari itu, pada 1948 M sekelompok peneliti menghimpun 15 naskah peninggalan al-Biruni perihal astronomi dan matematika ke dalam buku Rasa’il al-Biruni. Sang saintis terus menginspirasi di lintas zaman.

Banyak pihak merayakan legasinya. Pada 1986, sebuah kawah di bulan dinamakan “9936 al-Biruni". Gugusan pulau di dekat Antartika pun diberi nama Kepulauan Biruni.

Di Iran, tanggal kelahiran sang “guru banyak ilmu”, 4 September, ditetapkan sebagai hari persatuan insinyur survei. Al-Biruni berpulang ke Rahmatullah pada 1050 M di Ghazna. Dirinya meninggalkan banyak maslahat untuk dunia menuju era modern.

Baptis Massal Pasca Komunis

Meskipun PKI kalah pada Pemberontakan 1965, bukan berarti umat Islam tidak menderita kerugian.

SELENGKAPNYA

Hukum Menafsirkan Mimpi

Boleh menceritakan hanya mimpi yang baik

SELENGKAPNYA

Antara Soviet dan PKI

Penting mengetahui bagaimana pandangan Soviet terhadap Islam sejak awal revolusi 1917.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya