Pengarahan saat pemberantasan PKI pada 1965. | Perpusnas RI

Kronik

Baptis Massal Pasca Komunis

Meskipun PKI kalah pada Pemberontakan 1965, bukan berarti umat Islam tidak menderita kerugian.

ARIF WIBOWO, Direktur Pusat Studi Peradaban Islam/PSPI Solo

Penjajahan Belanda, sisa-sisa politik tanam paksa, ditambah krisis ekonomi yang melanda dunia pada tahun 1920, telah mengantarkan rakyat Indonesia pada puncak penderitaannya.

Dalam kondisi krisis tersebut, berbagai tindakan radikal dan revolusioner, seperti pemogokan pegawai pegadaian tahun 1922, pemogokan buruh kereta api pada tahun 1923 mencapai titik kulminasinya pada pemberontakan komunis tahun 1926 di Jakarta, disusul dengan tindakan-tindakan kekerasan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. (Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid V, (Jakarta : Balai Pustaka, 1993). hlm. 208)

Hanya saja, benarkah semua pemberontakan itu adalah kaum komunis, seperti yang diwartakan oleh koran-koran Belanda pada saat itu? Ada pernyataan Mr Syafruddin Prawiranegara yang menarik untuk dicermati.

"Ketika pada akhir tahun 1926 di daerah Banten terjadi pemberontakan yang dapat digagalkan, dan oleh surat-surat kabar diberitakan sebagai pemberontakan komunis. Syafrudin menjadi lebih penasaran dengan komunisme. Sebab dalam pemberontakan itu, banyak kaum keluarganya yang ikut ditangkap dan dibuang ke Digul atas, bukanlah orang komunis. Mereka adalah kyai-kyai yang sangat teguh memegang dan menjalankan ajaran Islam." (Ajip Rosidi, Sjafruddin Prawiranegara, Lebih Takut Kepada Allah SWT, (Jakarta : Pustaka Jaya, 2011) hlm. 55).

Penyebutan pemberontakan komunis untuk menyebut peristiwa tahun 1926 bisa dikatakan sebagai overgeneralisasi, di samping memang corak komunis pada masa itu masih berjalin kelindan dengan aktivisme kaum Muslimin.

Pada awal kemunculannya, komunisme di Indonesia memiliki varian komunis Muslim, seperti Haji Misbach atau yang lebih dikenal dengan Haji Merah, yang ngotot mengawinkan Islam dengan komunisme. Misbach menerbitkan Majalah Medan Moeslimin dan Islam Bergerak. Haji Misbach ditangkap Belanda pada tahun 1920.

Dalam pandangan Haji Misbach, ada empat musuh utama umat Islam, yaitu kolonialisme, kapitalisme, feodalisme, dan kristenisasi. (Rhoma Dwi Aria Yuliantri, Bibit Semai Koran Kiri – Komunis di Indonesia, artikel dalam Majalah Basis No. 01-02, tahun ke-58, Januari – Februari 2009. hlm. 19).

photo
Tan Malaka (atas, ketiga dari kiri) bersama perwakilan dari wilayah Asia saat menghadiri Kongres ke-4 Komintern. - (Repro)

Selain varian 'komunis Muslim', ada juga kaum komunis total, seperti Samaoen, Darsono Alimin Prawirodirdjo, dan Tan Malaka yang memang merupakan binaan HJM Sneevliet di Vereniging Spoor en Tramweg-Personeel (VSTP) atau Sarekat Buruh Kereta Api dan Trem.

Meski akhirnya Tan Malaka juga lebih dikenal sebagai kaum revisionis karena tidak berpaham internasionalisme tapi mencita-citakan nasionalisme Indonesia yang berpaham sosialis. Ambiguitas seorang Tan dapat dilihat dari ucapannya yang terkenal, "Saya adalah orang Islam di hadapan Tuhan, sekaligus seorang komunis di hadapan manusia".

Pondok bobrok, langgar bubar!

Setelah proklamasi kemerdekaan, tokoh-tokoh komunis yang sempat menyingkir ke luar negeri pada masa pemerintahan kolonial satu persatu pulang ke Tanah Air. Pada tanggal 21 Oktober 1945, orang-orang komunis di bawah kepemimpinan Muh Yusuf berhasil mendirikan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI). (Aminuddin Kas di Kaum Merah Menjarah, Aksi Sepihak PKI/BTI di Jawa Timur 1960-1965 (Yogyakarta : Jendela, 2001) hlm 98).

Cara berjuang diubah dari gaya perjuangan underground menjadi terbuka. Namun ketika kabinet Amir Syarifuddin yang dimulai 3 Juli 1947 dan harus berakhir pada 29 Januari 1948 karena dianggap gagal, maka PKI kembali memunculkan watak aslinya sebagai kaum pemberontak terhadap sistem apapun.

Bung Hatta sebagai pemimpin kabinet baru kemudian melakukan sterilisasi TNI dari pengaruh komunis. Kebijakan yang sangat memukul PKI ini dibalas Muso dengan mendirikan negara "Soviet Republik Indonesia".

Dalam pemberontakan itu, PKI berhasil menguasai kota Madiun dan kemudian mengangkat Kolonel Djokosuyono sebagai Gubernur Militer Madiun. (Poesponegoro dkk, op. cit., hlm. 155.).

Radio setempat terus menyiarkan langsung pidato propaganda PKI. Wajah Madiun pun dirombak total. Sebagai wali kota ditunjuk Abdulmutalib, seorang tokoh utama komunis.

Korban paling banyak dalam peristiwa ini adalah kaum santri. Sebab, kalangan pesantren dianggap sebagai penentang utama berdirinya "Soviet Republik Indonesia" ini. Para pemimpin PKI kemudian meneriakkan slogan "Pondok Bobrok, Langgar Bubar dan Santri Mati". Slogan tersebut bukan hanya gertakan, tapi benar-benar dilaksanakan.

photo
Kondisi selepas Peristiwa Madiun 1948. - (istimewa, madiun, pki,)

Pada tanggal 17 September 1948, KH Imam Mursyid pemimpin pesantren Sabilil Muttaqin dan pemimpin tarekat Syattariyah yang kharismatik dari Takeran ditangkap.

Tanggal 19 September 1948, KH Muhammad Nur, Ustadz Ahmad Baidhowi, Muhammad Maidjo, Rofi'i Tjiptomartono dibantai dan dimasukkan sumur beserta ratusan korban lainnya.

Pesantren Burikan dibakar oleh FDR-PKI, pemimpin Pesantren Kebonsari KH Imam Shafwan beserta kedua anaknya dibantai pada saat memimpin pengajian. Tidak hanya di wilayah Madiun dan Magetan, perburuan para kiai dan pimpinan pesantren sampai ke wilayah Pacitan dan Ngawi. (H Abdul Mun'im DZ, Benturan NU dan PKI 1948–1965 (Jakarta – Langgar Swadaya Nusantara, 2014) hlm. 55 – 64).

Peristiwa ini menorehkan luka yang sangat dalam di kalangan kaum santri. Oleh karena itu, ketika kemudian PKI bangkit lagi dan menguat, kaum santri tidak ingin kecolongan lagi. Hasutan terhadap massa PKI untuk bergerak tampak sekali dalam pidato Aidit.

"Kalau saudara-saudara memang pemberani, lakukanlah tindakan-tindakan terhadap kapitalis-kapitalis birokrat dan kepala-kepala desa serta pejabat yang merintangi engkau." (Abidin, AZ, SH, Prof, Baharudin Lopa, SH, Bahaja Komunisme, Kepalsuan Ideologi dan Politiknja, Kebengisan Strategi, Taktik dan Propagandanja, Fakta-Faktanja di Seluruh Dunia, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967) hlm. 289).

Pidato Aidit diterjemahkan oleh massa PKI sebagai sebuah instruksi untuk melakukan aksi. Hanya perbedaannya, kalau di tahun 1948, kaum PKI sempat menang dan membantai, pada pemberontakan 1965 mereka menjadi pihak yang kalah, sehingga korban terbanyak justru ada di kalangan PKI.

Perpindahan massal

Meskipun PKI mengalami kekalahan pada Pemberontakan 1965, bukan berarti umat Islam tidak menderita kerugian. Euforia menyambut rezim Orde Baru yang menggusur PKI dan komunisme juga diikuti dengan penggusuran aspirasi politik Islam di Indonesia.

Itu ditambah lagi dengan kerugian demografi keagamaan penduduk Indonesia. Rivalitas dalam tensi tinggi antara politik Islam dengan komunisme pasca G-30S/PKI menyebabkan pihak Kristen Protestan dan Katolik menangguk keuntungan besar.

Di antara para pengikut PKI yang kebanyakan berasal dari kaum abangan dan kejawen kemudian menjatuhkan pilihan keagamaannya kepada Kristen Protestan dan Katolik. (MC Ricklefs dalam buku Mengislamkan Jawa, Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 sampai sekarang, (Jakarta : Serambi, 2013) hlm. 250.).

photo
Penangkapan anggota PKI pada 1965. - (istimewa)

Singgih Nugroho, mahasiswa Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta mengabadikan peristiwa ini dalam tesisnya yang berjudul "Baptisan Massal Pasca Peristiwa 30 September 1965 (studi kasus perpindahan agama ke Kristen di Salatiga dan sekitarnya pada tahun-tahun sesudah 1965)".

Dalam tesisnya, Singgih Nugroho, sebagaimana di banyak buku lain, menggambarkan betapa tindakan kekerasan yang tidak jarang berujung pada pembunuhan yang dilakukan secara kolaboratif antara milisi Islam. Dalam hal ini Anshor sebagai tertuduh utama dengan pihak militer, telah menjadikan banyak simpatisan PKI memilih menjadi Kristen ataupun Katolik.

Averry T Willis menyebut angka yang cukup fantastis, yaitu dua juta orang yang akhirnya memilih menjadi Kristen atau Katolik, seperti tercermin dalam judul bukunya Indonesian Revival : Why Two Millions Came to Christ, meski angka ini diragukan oleh banyak kalangan karena dinilai terlalu bombastis.

Avery T Willis, seorang misionaris asal Amerika yang menjadi misionaris di Indonesia sejak tahun 1964 dan memimpin Seminari Teologi Baptis Indonesia menyebutkan ada 11 faktor yang menyebabkan perpindahan massal keagamaan ke agama Kristen atau Katolik ini. Tiga diantaranya berkait dengan posisi pengikut PKI yang secara psikologis mengalami ketertindasan akibat agitasi lawan-lawan politiknya, yang berhasil dimanfaatkan oleh para rohaniawan Kristen dan Katolik.

Reaction Factor, reaksi berlebihan dari sebagian pemimpin kelompok Islam terhadap orang-orang Islam statistik yang menjadi anggota dan simpatisan PKI telah mendorong orang-orang itu menoleh ke tempat lain untuk memperoleh bantuan spiritual dan perlindungan politik.

Protection Factor, perlindungan gereja terhadap orang-orang yang dituduh PKI dan orang yang belum beragama secara sungguh-sungguh, dari pembunuhan dan kehilangan status sosialnya telah memberi rasa simpati banyak orang untuk memeluk Kristen.

Service, perhatian dan pelayanan dari lembaga gereja, termasuk di dalamnya pendidikan, bantuan medis, dan kebutuhan fisik lainnya telah mendorong orang-orang untuk tertarik dan masuk ke agama Kristen.

photo
Sejumlah anggota Gerwani dibariskan di Kamp Plantungan pada 1965 - (Dok. Sekber65))

Dalam catatan MC Ricklefs data kependudukan antara tahun 1960–1971 menunjukkan jumlah jemaat dari lima denominasi Protestan yang menjadi subjek kajian Willis tumbuh secara fenomenal dari 96.872 menjadi 311.778, sebuah peningkatan lebih dari 220 persen.

Pada tahun 1965-1967, tingkat pertumbuhan tahunannya adalah 27,6 persen, sementara pada tahun 1968-1971 sebesar 13,7 persen. Sebagian besar peralihan keyakinan atau konversi di dalam kajiannya terjadi secara berkelompok.

Individu-individu, biasanya adalah pemimpin desa, berbicara di antara mereka, mengenai kemungkinan menjadi orang Kristen secara bersama-sama. Kadang mereka melakukannya sebagai suatu kelompok besar, tetapi yang lebih sering terjadi adalah suatu kelompok akan diikuti kelompok lain yang terkait selama kurun waktu beberapa bulan atau tahun.

Tidak sekadar berpindah agama, dendam ideologis telah mengantarkan pemeluk Kristen/Katolik baru eks-PKI ini lebih agresif dalam beragama ketika bersinggungan dengan umat Islam.

Ditulis: "Bab ini telah menunjukkan bahwa agen "kristenisasi" tidak selalu gereja, tetapi juga sebagian warga Kristen eks tapol yang mempunyai sejarah sendiri dalam berhubungan dengan segala hal yang berabau "Islam" semasa hidup di tahanan maupun keluarga mereka semasa pembantaian 1965 – 1966 ..... Keputusan mereka untuk pindah dari Islam dan konsisten memeluk Kristan serta turut menyebarkannya seusai dibebaskan, walaupun mendapat gugatan baik dari sebagian kalangan Islam maupun umat Kristen sendiri, merupakan bagian penting dari sejarah pergumulan hidup mereka untuk mendefinisikan dirinya dan menciptakan ruang otonom yang memungkinkan untuk menjadi subyek bukan sekedar obyek, sejarah lingkungannya".

(Singgih Nugroho, Menyintas dan Menyeberang, Perpindahan Massal Keagaman Pasca 1965 di Pedesaan Jawa, (Yogyakarta : Syarikat, 2008) hlm. 232).

Belajar dari sejarah

Kuntowijoyo pernah mengingatkan agar kaum Muslim Indonesia memberikan respons yang tepat dalam menghadapi tantangan realitas. Khususnya dalam menyikapi realiatas kaum marginal. Jika tidak, maka pihak lain akan mengambil kesempatan itu.

"Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa SI merah lebih populer dibanding SI putih, dan PKI lebih populer dari partai-partai Islam, di kalangan buruh tani dan buruh (industri) karena umat tidak sensitif dengan munculnya proletarianisasi di perdesaan dan perkotaan... Dianaktirikannya buruh tani dan buruh .... Demikian pula terbukti bahwa para aktifis buruh tani dan buruh hanya dipandang sebelah mata oleh umat, seolah buruh tani bukan bagian dari umat (Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Epis temologi, Metodologi dan Etika. (Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), hlm. 44).

Selain respons intelektual dalam membangun kesadaran sejarah umat Islam, umat Islam perlu meningkatkan kohesivitas sosialnya dalam mengatasi persoalan kaum marginal. Di sisi lain, umat jangan sampai terjebak dalam konflik internal --semisal konflik Asy'ariyah versus Wahabiyyah yang justru semakin melemahkan potensi dan kekuatan umat Islam.

Wallahu a'lam bishshawab.

Disadur dari Harian Republika edisi 17 September 2015

Antara Soviet dan PKI

Penting mengetahui bagaimana pandangan Soviet terhadap Islam sejak awal revolusi 1917.

SELENGKAPNYA

HR Rasuna Said, Singa Betina di Podium

Sejak kecil tertarik di dunia pendidikan Islam.

SELENGKAPNYA

Palu Arit di Takeran

“Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati!” Itulah yel yel PKI untuk melumpuhkan sejumlah pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kaum Muslim menjadi sasaran utama keganasan PKI.

SELENGKAPNYA

Ikuti Berita Republika Lainnya