
Sastra
Sepatu Pak Dahlan
Pak Dahlan, lebih pantas mendapat penghargaan lebih dari siapa pun di sekolah itu.
OLEH YULFA ADI SUSATYO
Pak Dahlan adalah seorang guru yang telah mengabdi di SD Losari selama hampir 40 tahun ini. Dari jauh sebelum ia beruban dan rontok giginya. Tepatnya, sejak ia lulus sekolah guru 40 tahun silam. Masih muda dan berapi-api.
Semangat yang berapi-api itu tidak pernah padam hingga kini. Hanya, tubuh itu sudah tua, setua sepatunya itu. Sepatu itu telah dijahit ulang berkali-kali, bolong sana-sini, dan aus bagian alasnya. Namun, Pak Dahlan tetap memakainya karena itulah sepatu satu-satunya.
“Kenapa Pak Dahlan tak beli sepatu baru ya, Bu?” Laili, salah satu murid Pak Dahlan, bertanya kepada ibunya.
“Karena gaji beliau kecil, Nduk,” Ibu Laili menjawab. “Saking kecilnya gaji Pak Dahlan, itu hanya cukup untuk makan keluarga dan sekolah anak-anaknya, Nduk,” lanjutnya.
Saking kecilnya gaji Pak Dahlan, itu hanya cukup untuk makan keluarga dan sekolah anak-anaknya, Nduk.
Laili, ketua kelas dari kelas 5 SD Losari, sedih mendengar penjelasan dari ibunya. Pak Dahlan adalah wali kelasnya. Setiap hari ia diajari oleh Pak Dahlan dan setiap kali ia melihat sepatunya, ia selalu merasa sedih.
“Kasihan, Nduk, padahal kalau melihat perjuangan Pak Dahlan, ia lebih pantas mendapat penghargaan lebih dari siapa pun di sekolah itu. Karena Pak Dahlan, ibumu ini jadi tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Ibumu ini menjadi bijak menanggapi kehidupan.
Berbagai generasi di kampung kita ini, bisa baca tulis, matematika, dan pandai agama karena beliau. Tetapi sayang sekali, berkali-kali beliau ikut ujian PNS, ia tidak diterima. Beberapa tahun lalu beliau mengikuti ujian lagi, tapi tidak berhasil karena beliau tak tahu-menahu memakai komputer.”
Laili sebenarnya tidak memahami secara penuh semua yang dikatakan oleh ibunya. Justru sejak tadi, pikiran Laili disibukkan dengan cara bagaimana agar ia dan teman-temannya bisa mendapatkan uang untuk membeli sepatu untuk Pak Dahlan. “Bohlam” di kepalanya menyala, Laili menemukan ide dan ia sangat girang sampai-sampai mengagetkan ibunya.
***
Sebagai murid, Laili adalah murid cerdas. Sebagai ketua kelas, Laili, kendati umurnya belum seberapa, sangat bijak. Wali kelas bagi Laili adalah orang tua kedua, setelah ibu dan ayah. Seperti ajaran Pak Dahlan, setiap anak wajib membantu orang tuanya sesuai kadar kemampuannya. Oleh karena itu, Laili mengajak teman-teman sekelasnya untuk berkongsi dalam suatu misi yang ia namai BSBUPGD.
Tentu mereka akan membeli sepatu, bukan mencuri, membuat, atau merampok toko sepatu. Menurut ajaran Pak Dahlan, kegiatan semacam itu tak boleh dilakukan oleh manusia, apalagi manusia terdidik.
“Apa itu misi BSBUPGD?” tanya salah seorang temannya setelah Laili menjelaskan idenya.
“Beli Sepatu Baru Untuk Pak Guru Dahlan.” Laili menjawab.
Teman-temannya merasa keberatan soal misi itu. Bahwa seharusnya singkatan nama misi itu harus lebih singkat lagi agar gampang diingat.
“SPD: Sepatu Pak Dahlan.” Laili menggantinya.
Teman-teman menyetujuinya. Laili langsung menjelaskan rencana pertama, yakni mendapatkan uang untuk membeli sepatu. Tentu mereka akan membeli sepatu, bukan mencuri, membuat, atau merampok toko sepatu. Menurut ajaran Pak Dahlan, kegiatan semacam itu tak boleh dilakukan oleh manusia, apalagi manusia terdidik.
Laili tahu bahwa murid-murid kelas 2 mengalami kesulitan dalam pelajaran membaca. Ia tahu itu karena Laila, adiknya yang masih kelas 2, belum bisa membaca.
“Bagaimana mau bisa membaca, wong guru baru itu nggak mengajar dengan serius kok.” Ibu Laili mengomel sambil mengajari ulang Laila. “Mungkin karena gaji nggak cocok ya?” lanjutnya.
Adalah Laili, si kecil yang cerdik, menyuruh beberapa teman-temannya yang pandai membaca dan menulis untuk mengajari murid-murid kelas 2 dengan meminta imbalan uang seikhlasnya. Termasuk Laili, beberapa murid kelas 5 itu mendatangi rumah-rumah murid kelas 2 secara menyebar sambil membawa kotak kardus. Tidak ada yang menolak, semua wali murid membolehkan Laili dan kawan-kawan untuk mengajari anak-anaknya.
Selama dua minggu kegiatan les privat itu dilakukan. Uang telah terkumpul lebih dari cukup bila perkataan guru kelas 2, Pak Farhan, itu benar.
Selama dua minggu kegiatan les privat itu dilakukan. Uang telah terkumpul lebih dari cukup bila perkataan guru kelas 2, Pak Farhan, itu benar.
“Ini harganya 150 ribu rupiah, Dik. Ini model pantofel,” kata Pak Farhan.
“Di mana belinya, Pak?” Laili bertanya lagi.
“Pasar Lauh Pandang, toko sepatu Bah Acin. Nah, suruh temani orang tuamu, berbahaya kalau sendiri,”
“Berbahaya karena apakah, Pak?” Laili merasa perlu memperoleh informasi sejelas-jelasnya.
“Pasar itu begitu ramai dan luas, anak kecil bisa tersesat. Dan kalau tidak beruntung, ada copet yang suka mengambil uang orang.”
Perbincangan antara guru dan murid itu masih berlanjut. Laili menanyakan sampai sedetail mungkin, tentang merek sepatu, daya tahan sepatu, tentang boleh tidaknya sepatu dibeli oleh anak-anak dan hal-hal lainnya, sampai-sampai Pak Farhan lelah menjawabnya.
Tentunya, bukan Laili yang akan pergi ke toko itu. Tidak mungkin baginya untuk memutar kursi roda sampai pasar. Laili memilih Sirun, murid sekelasnya yang bertubuh paling besar. Dipilih juga seorang pengawal untuk menemaninya. Segera Laili menginstruksikan Sirun dan pengawalnya tentang informasi yang telah ia dapatkan dari Pak Farhan.
“Pokoknya, pantofel, bentuknya mirip seperti sepatu Pak Farhan,” Laili menginstruksikan agar Sirun tidak salah beli.
“Baik, Ketua, laksanakan!” Sirun menyahut.
Setelah bel pulang sekolah, Sirun menyempatkan untuk melirik sepatu yang dikenakan Pak Farhan yang sedang bermain bola di lapangan belakang sekolah.
“Ingat-ingat, Kawan, sepatunya macam itu.” Sirun mengingatkan temannya.
Setelah melalui perjalanan panjang menuju Pasar Lauh Pandang dengan bersepeda, akhirnya Sirun dan temannya sampai juga. Sirun menaruh uang sejumlah 155 ribu rupiah itu di kantong tas paling dalam. Hati-hati di pasar itu banyak copetnya, Sirun mengingat kata Laili. Dan Sirun segera menemukan toko sepatu Bah Acin lantaran letaknya tepat berada di muka pasar dengan plang tulisan yang amat besar.
“Bah, sepasang sepatu,” Sirun berkata.
“Yang mana, Nak?”
“Yang ituh.” Sirun menunjuk sepasang sepatu yang berada pada rak paling atas pada deretan sepatu warna-warni.
“150 ribu rupiah saja, Dik.”
“Bungkus, Bah.”
Sementara Bah Acin membungkus, pengawal Sirun mengeluh kehausan.
“Aku haus, Run.”
“Tenang, sepatu itu 150 ribu, masih sisa 5.000; untuk parkir 2.000, untuk beli minum 3.000.” Sirun mengutip persis seperti yang dikatakan Laili kepadanya.
“Ini, Nak, sepatumu,”
“Ini, Bah, uangnya.”
Lantas Sirun dan kawannya itu bergegas untuk pulang.
“Ini, Kang, uang parkirnya,” Sirun memberikan 2.000 untuk lelaki dengan rompi kuning.
“Tak perlu, Dik, kau buat beli minum saja.”
Sirun dan kawannya amat kegirangan. Sisa 5.000, bisa ia belikan es kelapa muda dua bungkus. Membayangkan itu, Sirun amat lincah mengayuh sepeda sementara kawan di belakangnya kepayahan berpegang pundak Sirun.
***
Setiap guru hampir selalu memulai pembelajaran dengan doa. Namun, hanyalah di kelas Pak Dahlan yang berdoanya paling lama. Pak Dahlan begitu tenang mengangkat telapak tangannya sementara murid-murid kasak-kusuk, tidak sabar.
Setelah kegiatan berdoa selesai, biasanya Pak Dahlan langsung membuka pembelajaran, namun kali ini ia tidak demikian ketika melihat tiba-tiba Laili maju ke muka kelas membawa sebuah kotak kardus berbungkus kuning dengan gambar bunga-bunga.
“Dari kami untuk Pak Dahlan, semoga Bapak berkenan.” Laili mengatakannya dengan wajah berseri, lalu mundur setelah memberikan hadiah itu.
Pak Dahlan langsung membuka hadiah dari murid-muridnya. Ia terkejut ketika mengetahui bahwa kardus itu berisikan sepasang sepatu sepak bola berwarna biru, sebiru langit, yang membuat Pak Dahlan tersenyum, tertawa, terharu sampai-sampai air matanya bercucuran.
Magelang, 1 Agustus 2022.
Yulfa Adi Susatyo, lahir di Magelang 21 Juli 1997. Ia tinggal di Dusun Kepatran, Desa Banjarsari, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Cerpen anak karyanya menang di perlombaan yang diadakan Fiksiana Community.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Adab Sebagai Notaris
Apa tuntutan dan adab sebagai notaris dalam transaksi sehari-hari?
SELENGKAPNYADerita tak Menggoyah Ki Hajar Dewantara
Begitulah Ki Hajar. Dalam keadaan serba kekurangan di pengasingan, ia tetap dapat bersikap mandiri.
SELENGKAPNYATuanku Imam Bonjol, Pejuang dan Pembaru Islam
Ia juga dikenal sebagai pencetus lahirnya falsafah hidup orang Minang.
SELENGKAPNYA