Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Kongres Bahasa Indonesia Pertama yang Bikin Gempar

Soerabaiasch Handelsblad menyebut Kongres Bahasa Indonesia sebagai demonstrasi radikalisme.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

“Beberapa surat-surat kabar Belanda sama ribut, naik darah, dan memukul tong-tong karena Kongres Bahasa Indonesia,” tulis Soeara Oemoem di bawah judul “Gempar!”. Kongres Bahasa Indonesia Pertama diadakan di Solo pada 25-28 Juni 1938 atas prakarsa para wartawan Indonesia.

Koran-koran Belanda menilai, Kongres Bahasa Indonesia Pertama adalah upaya tidak langsung untuk menggulingkan pemerintah. Soerabaiasch Handelsblad menyebut Kongres Bahasa Indonesia sebagai demonstrasi radikalisme, penajaman konflik, tantangan kepada pemerintah dan bangsa Belanda. Mataram menyebutnya sebagai kekurangajaran yang bertambah-tambah, berbahaya, cara tak langsung menentang pemerintah.

Maka, M Tabrani, Sanusi Pane, dan Soekardjo Wirjopranoto dicap oleh koran-koran Belanda sebagai trio bintang kongres yang berbahaya. Tabrani menjadi pemrasaran kongres mengenai “Mencepatkan Penyebaran Bahasa Indonesia”, Sanusi Pane membahas “Sejarah Bahasa Indonesia” dan “Institut Bahasa Indonesia”, dan Soekardjo Wirjopranoto membahas “Bahasa Indonesia di Badan-badan Perwakilan”. Karena sakit, Soekardjo diwakili oleh koleganya, RP Soeroso.

Koran-koran Belanda melihat Kongres Bahasa Indonesia Pertama sebagai gerakan politik, bukan gerakan bahasa. Padahal, alasan para pencetus Kongres Bahasa Indonesia Pertama mengadakan kongres tentu saja jauh dari ingar bingar persoalan politik.

 
Soerabaiasch Handelsblad menyebut Kongres Bahasa Indonesia sebagai demonstrasi radikalisme, penajaman konflik, tantangan kepada pemerintah dan bangsa Belanda.
 
 

Adalah wartawan Soedarjo Tjokrosisworo yang mengeluhkan ketidakpuasannya terhadap penggunaan bahasa Indonesia di koran-koran Melayu-Cina kepada Soemanang. Soemanang langsung merespons begitu Soedarjo menanyakan kemungkinan diadakannya Kongres Bahasa Indonesia.

Menurut Harimurti Kridalaksana, Soedarjo mengaku bisa mendapatkan dukungan dari para pengusaha di Solo, sehingga kongres diadakan di Solo. Soemanang bisa menghubungi tokoh-tokoh dan kaum terpelajar di Batavia.

Jadi, pemilihan Kota Solo sebagai tempat kongres bukan karena ingin menghibur masyarakat Jawa yang bahasanya tidak dipilih sebagai bahasa persatuan, melainkan semata karena ada dukungan pembiayaan dari para pengusaha di Solo. Menurut Cloboth, pengasuh rubrik “Dipodjok” koran Soeara Oemem, Surabaya, Solo dikenal sebagai tuan rumah yang hangat untuk setiap hajat yang diadakan di Solo. Banyak hal yang bisa dinikmati di Solo, seperti sego liwet, binteng jae, susur mbako.

Koran Darmo Kondo lebih jelas menjelaskan sebab-musabab kongres diadakan di Solo dengan terlebih dulu mengajukan pertanyaan, “Mengapa kongres itu diadakan di Solo?” Darmo Kondo menyampaikan pertimbangan lain mengenai dipilihnya Solo.

“Kongres itu diadakan di Solo, sebab orang-orang, ialah kaum wartawan di Solo, yang sanggup embikin persediaan kongres itu, dan juga Solo adalah satu tempat yang tengah-tengah, sehingga dalam pengertian keekonomian, kongres itu diadakan di Solo buat orang-orang yang mengunjunginya mendapat pengurangan biaya jalan,” tulis Darmo Kondo.

Darmo Kondo menuliskan hal itu untuk menjawab tudingan wartawan Belanda DF van Wijk di majalah Mataram yang menyebut kongres diadakan di Solo sebagai gerakan politik yang disembunyikan dalam bungkus kongres bahasa.

Tudingan itu dimunculkan Wijk dengan argumentasi bahwa di Solo saat itu telah muncul tanda-tanda yang mengkhawatirkan yang memungkinkan munculnya aksi pemberontakan seperti pemberontakan PKI pada 1926. Wijk meminta pemerintah agar memberikan tindakan keras kepada pergerakan kebangsaan Indonesia.

De Indische Courant mencatat adanya polemik bahasa yang melatari penyelenggaraan Kongres Bahasa Indonesia itu. “Orang-orang ingin merenungkan hal ini, untuk menempa jalan baru bersama-sama. Tujuannya agar pers Indo-Cina dan Indo-Arab mau bekerja sama,” tulis Indische Courant.

Kongres Bahasa Indonesia Pertama mendapat sokongan dari Fraksi Nasional Volksraad. Ketua Fraksi Nasional MH Thamrin mengirimkan telegram dukungan kepada panitia dan ketika dibacakan mendapatkan sambutan yang meriah dari peserta kongres.

 
Dukungan itu berupa janji menggunakan bahasa Indonesia dalam pemandangan umum sidang Volksraad Juli 1938.
 
 

Dukungan itu berupa janji menggunakan bahasa Indonesia dalam pemandangan umum sidang Volksraad Juli 1938. Dari 17 anggota Fraksi Nasional Volksraad, ada sembilan anggota yang menggunakan bahasa Indonesia. Dua anggota Volksraad bangsa Belanda ikut menggunakannya, meski hanya sebatas saat melakukan interupsi.

Termasuk di dalamnya adalah Jahja Datoek Kajo yang sejak awal menjadi anggota Volksraad 1927 selalu menggunakan bahasa Indonesia dan RP Soeroso yang baru belajar bahasa Indonesia. Penampilan RP Soeroso dikuliti oleh Parada Harahap di koran Tjaja Timoer. Parada masih masih menyebutnya sebagai bahasa Melayu, bukan bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia belum ada bentuknya dan aturan yang digunakan masih aturan bahasa Melayu.

Menurut Parada, Soeroso telah menjatuhkan martabat Volksraad. Bahasa Melayu yang digunakan Soeroso dinilai Parada sebagai bahasa Melayu yang dipakai orang kebanyakan. Parada lantas menilai penggunaan bahasa Melayu di Volksraad itu hanya demonstrasi belaka, tak ada manfaatnya. Menurut koran-koran Belanda, memungkinkan munculnya kesalahpahaman karena tidak dimengerti oleh orang-orang Belanda.

 
Sanusi Pane di Kebangoenan memuji RP Soeroso karena di usianya yang sudah 45 tahun masih mau belajar bahasa Indonesia.
 
 

Sanusi Pane di Kebangoenan memuji RP Soeroso karena di usianya yang sudah 45 tahun masih mau belajar bahasa Indonesia. Penguasaan bahasa Indonesia Soeroso yang buruk bukanlah persoalan, sebab bahasa Indonesia sedang dikembangkan. Orang-orang Belanda pun masih saja ada yang saling tuduh dalam penggunaan bahasa Belanda yang buruk.

Sanusi menyetarakan penguasaan bahasa Indonesia Soeroso sama dengan Jahja Datoek Kajo. “Pak Kajo juga tidak berbicara dalam bahasa Melayu murni, melainkan bahasa Indonesia. Dari sudut pandang Melayu sastra atau Melayu ‘sekolah’, Pak Kajo akan diberi nilai paling tinggi ‘lima’,” ujar Sanusi.

Adanya bahasa Indonesia di badan perwakilan diharapkan dapat mendorong orang-orang Belanda mempelajarinya. Sebab, kata Tabrani, orang yang mewakili rakyat Indonesia sudah seharusnya menguasai bahasa dari rakyat yang diwakilinya.

Saat berbicara di Kongres Bahasa Indonesia Tabrani mengusulkan agar bahasa Indonesia digunakan di badan-badan perwakilan dan dijadikan syarat pengangkatan pegawai negeri. Usulan ini menjadi ancaman bagi orang-orang Belanda dan Indo-Belanda. "Pembicara kedua, yang kata-katanya di Kongres Bahasa Indonesia di Solo layak mendapat perhatian khusus, adalah politisi pribumi terkenal Muh Tabrani," tulis Indische Courant

Waspadai Kanker Darah

Lamanya prosedur pemeriksaan menghambat deteksi dini kanker.

SELENGKAPNYA

Peta Dunia Karya Monumental Al-Idrisi

Dalam membuat peta dunia, sang ilmuwan Muslim didukung Raja Roger II.

SELENGKAPNYA

Al-Idrisi Sang Perintis Peta Dunia

Muhammad al-Idrisi membuat peta dunia pertama yang begitu informatif yang sudah selesai dikerjakan pada 1154.

SELENGKAPNYA