Inovasi
Tak Cukup Lagi Hanya Jual Narasi
Gelombang PHK di usaha rintisan diperkirakan masih akan terus berlangsung.
Di awal kehadirannya, konsep usaha rintisan menawarkan cerita yang begitu gempita. Era digital yang mendapat momentum, dipadu cerita sukses hadirnya Facebook, kemudian disusul cerita-cerita sukses rintisan digital lainnya, membuat industri teknologi begitu diidolakan.
Kini, persaingan yang berat dan kondisi ekonomi yang terhantam pandemi, menghadirkan cerita pasang surut di ekosistem digital. Sebagian usaha rintisan harus melakukan pemutusan hubungan kerja, sebagian lagi harus gulung tikar, dan ada pula yang masih harus berjuang meraih keuntungan di tengah tingginya beban operasional.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, ada lima poin penyebab pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di perusahaan rintisan yang terjadi belakangan ini. Pertama, adalah kenaikan inflasi.
Hal ini, kata dia, membuat investor di belakang pendanaan usaha rintisan atau angel investor cenderung menghindari aset yang berisiko. Sementara, berinvestasi di usaha rintisan terbilang investasi yang berisiko tinggi. Hampir seluruh dunia, investor sedang mencari aset yang aman,” ujar Bhima saat dihubungi Republika, pekan lalu.
Kedua, secara spesifik, beberapa pasar sudah mulai menunjukkan titik jenuh. Contohnya, pemain baru akan sulit menembus pasar lokapasar Indonesia karena sudah ada tiga pemain besar, yaitu Tokopedia, Shopee, dan Lazada. Jadi, kata Bhima, banyak rintisan yang susah bersaing. Akhirnya, terpaksalah dilakukan efisiensi karyawan.
Ketiga, ada pula faktor penurunan pendapatan yang tajam saat pandemi, salah satunya usaha rintisan yang berfokus di pasar furnitur, Fabelio. Kemudian, Bhima melanjutkan, hipersensitivitas dari pengguna terhadap promo dan cashback.
Bisa dikatakan saat ini mulai banyak rintisan yang mulai mengurangi program cashback atau promo. Hal tersebut membuat pengguna yang sebelumnya tertarik mencoba, berputar haluan.
Faktor terakhir, adalah permasalahan internal. Misalnya, tim manajemen yang tidak solid atau kurang kompeten, atau para founder yang tidak kompak. Menurut Bhima, koreksi ini akan minimum berlangsung selama dua tahun ke depan, dan fase seperti ini biasa dikenal juga sebagai masa konsolidasi,
Bakar Uang
Sementara itu, Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (Idiec) M Tesar Sandikapura mengungkapkan, penyebab PHK massal yang saat ini tengah terjadi dunia rintisan adalah karena kekurangan cash flow. Hal ini disebabkan antara omset dan operating expenditure (opex) tidak berimbang, atau istilah sekarang mungkin yang sering kita dengar adalah ‘bakar uang’.
Tesar menyebutkan, kebanyakan rintisan yang kini berstatus unicorn, biasa membakar uang di sisi marketing dengan terlalu berlebihan. “Marketing di sini bisa banyak ya. Bisa diskon, bisa cashback. Termasuk iklan dan subsidi harga,” ujar Tesar.
Ia mencontohkan subsidi harga dengan Gojek dan Shopee. Tarif ojek daring yang didapatkan konsumen sekarang, sebenarnya merupakan harga yang sudah disubsidi oleh Gojek. Masalahnya, misal, Gojek menggunakan tarif normal, dia akan kalah dengan Grab.
Kemudian, Tokopedia dan Bukalapak mungkin tidak terlalu banyak menawarkan bebas ongkos kirim. Sementara mungkin Shopee sewaktu awal-awal hampir semuanya bebas ongkos kirim.
Menurut Tesar, hal inilah yang biasa disebut bubbleatau valuasi semata. Bukannya profit positif. “Profit itu kan harus positif sebenarnya, bukan negatif. Jadi yang dilihat startup ini omzet. Omzet triliunan, tapi pengeluarannya juga triliunan. Sama saja kan,” katanya.
Tesar melanjutkan, kesalahan seperti ini bukan di satu pihak saja, tetapi kolektif. Mulai dari, investornya sendiri. Lalu, di sisi lain regulasi pemerintah juga diam saja melihat hal ini.
Dua pihak lainnya, yaitu pendiri usaha rintisan dan tak ketinggalan, juga para konsumen. “Konsumen Indonesia senang dengan harga murah. Jadi ketika ada Gojek murah, dia pindah. Kalau Grab murah, pindah juga. Di marketplace pun demikian,” ujarnya.
Tesar memperkirakan, dalam setahun ini PHK karyawan di industri rintisan masih akan terus berlanjut. Tepatnya, sampai para rintisan ini menemukan model bisnis baru atau sumber profit baru.
Mencari yang Bisa Bertahan
Dalam dinamika usaha, jatuh bangun atau pergantian penguasa pasar, merupakan hal yang biasa. Demikian pula yang berpotensi akan terjadi industri rintisan digital.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, rintisan yang bisa bertahan di tengah-tengah kondisi sekarang, tentunya adalah rintisan yang tak hanya mengejar pertumbuhan cepat atau valuasi yang besar. Tetapi juga kemampuan manajerial cash flow dan memiliki tim yang solid.
Para rintisan tersebut, juga harus melakukan riset produk dengan serius. “Kemudian juga relatif bisa berkolaborasi dengan perusahaan konvensional. Contohnya, startup keuangan berkolaborasi dengan perbankan sehingga produknya tetap relevan,” ujar Bhima.
Ke depannya nanti, lanjut dia, akan ada pemain-pemain rintisan yang akan juara di sektornya masing-masing. “Jadi memang digital akan mengerucut pada dua, tiga pemain. Baik di jasa keuangan, kemudian di e-commerce, transportasi atau pun layanan seperti edutech,” kata Bhima.
Sementara, Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (Idiec) M Tesar Sandikapura mengungkapkan rintisan yang bisa bertahan adalah yang mendapat model bisnis yang benar-benar untung, tanpa harus ‘bakar’ uang. “Selama usaha rintisan dengan model bisnis business to customer (B2C) ini tidak menurunkan pengeluaran diskon besar-besaran dan tidak memiliki revenue lain, ia pasti rugi,” tegas Tesar.
Ia memprediksi 80 persen rintisan yang melakukan PHK sekarang ini, tidak akan bertahan. Kecuali ada investor yang benar-benar nekat memberikan dana besar-besaran. “Tapi saya rasa sekarang hampir tidak ada investor yang seperti dulu lagi. Mereka sudah ganti gaya dan tidak mau bakar-bakar duit lagi,” ujarnya.
Ke depan, menurut Tesar, rintisan sudah tidak bisa lagi bermimpi. Layaknya Gojek di era awal atau saat Bukalapak mendapat pendanaan triliunan. Karena sekarang kerangka berpikir investor sudah berubah. Semua, akan berubah dan rintisan pun dituntut untuk mampu memiliki sumber pendapatan yang jelas. N
Investor saat ini, tak mau lagi bakar duit.
M TESAR SANDIKAPURA, Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (Idiec)
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Indonesia-Australia Perkuat Kerja Sama
Albanese optimistis Indonesia akan menjadi salah satu dari lima ekonomi terbesar di dunia.
SELENGKAPNYADaerah Kaji Peralihan Honorer ke Outsourcing
Pemerintah berjanji akan terus mencari solusi terbaik bagi para guru non-ASN.
SELENGKAPNYA