Opini
Misteri Hidup dalam Surah Dhuha
Hidup merupakan momentum penghambaan setiap makhluk kepada Allah.
NANANG SUMANANG; Guru Sekolah Indonesia Davao
Mystery (Misteri) dan Misery (Kesengsaraan) cuman beda di T dan I doang.
Di atas adalah sebuah tulisan seorang teman di dinding Facebook-nya yang saya baca tadi pagi. Ketika membaca itu, tiba-tiba ada perasaan yang aneh, sangat menyentuh, kemudian menyeruak ke alam kesadaran kita sebagai manusia yang mengklaim dirinya sebagai khalifah di muka bumi, dan juga sebagai makhluk yang paling sempurna dengan akal, rasa dan karsanya.
Secara sederhana, teman saya hanya mempertanyakan sejarah nabi Ayub alaihis salam (as), seorang yang sangat saleh dan baik mengapa harus mengalami penderitaan yang sangat pedih dan cukup lama dalam kontek eksistensi manusia. Sebuah pertanyaan filosofis yang tidak akan pernah habis-habisnya dibahas karena kemisterian hidup manusia itu sendiri.
Dalam sejarah peradaban manusia, sebenarnya teramat banyak kasus-kasus yang dialami seperti Ayub as. Para nabi, para orang saleh, para penemu, para pejuang, pembaharu atau bahkan kita sendiri merasa kita sedang mengalami suatu kesengsaraan, padahal kita merasa apa yang kita kerjakan seperti baik-baik saja. Semua ini menjadikan sebuah tanya besar bagi kita (misteri) yang mungkin bisa terjawabkan oleh waktu nantinya.
Pertanyaan-pertanyaan tentang manusia dan keberadaannya (taqdirnya) di muka bumi, sangat menarik bagi kaum eksistensialisme. Sebagai filsafat yang lahir dari pergulatan yang sangat dalam antara materialisme dan idealisme, dimana keduanya tidak menghasilkan jawaban-jawaban atas “kesengsaraan dan kegelisahan” manusia di bumi ini.
Materialisme hanya melihat manusia sebagai sebuah materi/benda, dan idealisme melihat manusia hanya sebagai “ruh” atau idea. Eksistensialisme melihat manusia sebagai manusia yang keberadaannya eksis di antara makhluk lainnya atau manusia yang menempatkan dirinya di dalam dunia. Artinya bahwa manusia harus sadar bahwa dirinya berbeda dengan makhluk lainnya, serta manusia harus menjadi subjek pemikiran dari diri sendiri dan alam sekitarnya.
Lorens Bagus (2000) menuliskan beberapa pengertian Eksistensialisme antara lain eksistensialisme adalah sifat dan pandangan dalam filsafat, teologi dan seni yang menekankan penderitaan, rasa gelisah manusia serta menekankan eksistensi manusia dan kualitas-kualitas yang menonjol bagi bagi pribadi-pribadi dan bukan kualitas manusia yang abstark atau alam atau dunia secara umum.
Selanjutnya, kebebasan berarti manusia manusia tidak menjadi objek yang dibentuk di bawah pengaruh keniscayaan alam dan sosial, dimana kebebasan manusia bebas mengambil tanggung jawab atas tindakan dan perbuatannya.
Kierkegaard, seorang eksistensialis teisme memberikan tekanan pada individu, pentingnya subyektivitas, dan penderitaan sebagai emosi sentral manusia (Lorens Bagus, 2000).
Menarik juga untuk dicermati bahwa manusia yang diciptakan Allah SWT sebagai “khalifatullaah di muka bumi”, wakil atau pengganti Allah di muka bumi harus terpaksa menderita untuk mencapai kebahagiaannya.
Manusia dengan kelebihannya; raga yang sempura, akal, perasaan dan keingiinan yang memungkinkan manusia menggapai kebahagiaan pun terus menerus dalam perjalanannya mengalami kesengsaraan-kesengsaraan seperti perang yang tiada habis-habisnya, bencana alam, resesi dunia, pandemic dan sebagainya.
Secara ideal, mungkin jabatan khalifatullaah di bumi, serta manusia sebagai makhluk yang sempurnanya seharusnya selalu membuat manusia berbahagia. Tidak memiliki kesengsaraan atau kesedihan, tetapi kenyataannya sangat lain. Manusia harus ditempa kesedihan dan kesengsaraan sejak lahir ke dunia yang merupakan taqdirnya.
Sama dengan dua revolusi dunia yang melahirkan kapitaslime dan negara modern; Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Perancis, yang diharapkan melahirkan masyarakat yang lebih baik, tetapi kenyataannya, pada saat itu, melahirkan penderitaan di Eropa, dan akhirnya melahirkan sosiologi modern. Penderitaan dua revolusi tersebut akhirnya menjadi seperti kutukan kepada manusia, ternyata kapitalisme akhirnya tumbuh bagaikan lintah yang menggurita, mencengkram dunia dengan tangan-tangannya, tumbuh dimana-mana, menghisap darah manusia. Dengan sambil santai dan minum kopi, para kapitalis di Wall Street bisa saja membunuh sebuah negara miskin tanpa ampun.
Dalam prakteknya, negara modern juga dijalankan oleh oligarkhi yang bersenyawa simbiosis mutualisme dengan para penguasa, sama-sama menghisap darah manusia tanpa memperdulikan kemanusiaan dan keadilan sosial. Negara-negara maju yang katanya beradab membuat deklarasi Balfour untuk mendirikan Israel dan berusaha mengenyahkan negara Palestina, dengan penyiksaan dan membuat kesengsaraan rakyatnya dengan sangat kejam, jauh dari sifat sifat kemanusiaan. Belum lagi invasi ke negara-negara lainnya yang telah membunuh ribuan manusia yang tak berdosa.
Kesengsaraan bukan hanya mempertanyakan kedudukan manusia di muka bumi, tetapi juga mempertanyakan keberadaan Tuhan yang katanya Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Berkuasa, dan Maha Sempurna masih membuat penderitaan-penderitaan kepada manusia.. Pertanyaan kenapa Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, serta Maha Sempurna masih membuat penderitaan bagi umat manusia? Menjadi kajian filsafat yang banyak menarik pembicaraan. Dari mulai Epicurus, kemudian Filusuf Jerman, Leibniz, yang melahirkan Filsafat Teodisi, Hume, Aquinas, dan lain-lainnya. Sama dengan Eksistenialisme yang melahirkan eksistensialisme teisme dan ateisme, pendekatan teologis yang mempertanyakan ke Maha Sempurnaan Tuhan yang dihadapkan dengan penderitaan manusia juga melahirkan filusuf yang teisme dan ateisme.
Dalam beberapa agama, bahwa kesengsaraan atau samsara lahir dari adanya keinginan-keinginan (vana) manusia, dan apabila keinginan-keinginan manusia tidak terpenuhi maka manusia akan menderita. Untuk menghindari kesengsaraan, maka agama tersebut menganjurkan untuk menghilangkan (nir) keinginan-keinginan (vana) tersebut, sehingga manusia mencapai nivana (manusia tanpa keinginan). Maka lahirlah manusia-manusia yang menjauhi keduniawian, zuhud, bertapa, bersemedi, tidak menikah, tidak bekerja dan sebagainya.
Islam memandang hidup itu misteri, karena misteri, maka hidup harus digeluti, dan diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Simbol untuk menggeluti dan memperjuangkan hidup untuk mencapai kesempurnaan sebagai khalifatullah fil ardl dan meraih kebahagiaan adalah ketika Rasulullah Mi’raj dan bertemu dengan Allah, Tuhan alam semesta di shidrotul (bunga Lotus yang merupakan lambang pengetahuan dan kebijaksanaan)) al-muntaha (yang terakhir), yang merupakan kebahagiaan tertinggi, tetapi kemudian Rasulullah kemudian kembali ke bumi untuk melaksanakan misinya sebagai khalifatullah fil ardli. Al Hallaj pernah berkata “sekiranya aku Muhammad, maka aku tidak akan pernah mau lagi untuk turun ke bumi, ketika sudah bertemu dengan kekasihku (Tuhan)”.
Rasulullah SAW, manusia yang agung, pernah sedih dan merasakan penderitaan. Satu masa setelah ditinggal oleh istri beliau yang tercinta siti Khadija, serta Abu Thalib paman, sekaligus pelindung beliau, dan pada masa lainnya ketika beliau merasakan tuduhan orang kafir Quraisy yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW ditinggal oleh Tuhannya.
Islam mengajarkan kita ketika dirundung kesedihan/ kesengsaraan yang pertama adalah kaitkanlah hati kita langsung kepada Allah, berdialog dan bermesra-mesraanlah kepada Allah secara langsung, karena dengan selalu mengingat Allah hati akan tenang.
Yang kedua adalah terus menerus meningkatkan keimanan kita bahwa Allah SWT tidak akan pernah meninggalkan umatnya. Dia selalu hadir dan ada dalam kondisi apapun kita. Mengingat-ingat kebaikan (kenikmatan0 yang Allah telah berikan kepada kita juga akan menambah keyakinan ketika kita dalam mempejuangkan dan mewujudkan keyakinan kita, walaupun banyak riak dan kerikil yang menghalangi cita-cita kita. Selanjutnya, untuk menggapai dari cita-cita kita, proses harus dicintai. Riak dan kerikil adalah bagian proses yang harus kita cintai, karena ujung dari semua perjuangan itu adalah yang paling utama (wa lal-ākhiratu khairul laka minal-ụlā) maka yang harus kita ingat adalah ujung dari semua perjuangan itu. Meminjam jargon militer adalah “kita boleh kalah dalam pertempuran, tapi tidak dalam peperangan”
Kita hanya bisa memprediksi kejadian-kejadian apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi kita tidak bisa memastikan apapun juga. Karena hidup itu misteri, maka yang harus dipersiapkan adalah bagaimana melihat sebuah peristiwa merupakan sebuah rentetan-rentetan kejadian, dimana rentetan-rentetan peristiwa tersebut harus diterima dengan keikhlasan hati. Kadang garis taqdir tidak selalu merupakan garis lurus dengan pemikiran dan dugaan kita, tetapi ketika prediksi kita tidak sesuai denan kenyataan yang diharapkan, maka sesungguhnya ada pengetahuan baru yang bisa kita ambil sebagai obat dari rasa kekecewaan kita pada saat itu.
Terakhir barangkali yang mesti kita ingat adalah sebuah pesan dalam surat al-Baqarah ayat 216:
“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Inklusi Keuangan Dorong Kesejahteraan Pesantren
Tingkat literasi keuangan di Indonesia masih lebih rendah dibandingkan inklusi keuangan.
SELENGKAPNYAMUI: Keabsahan Hewan Kurban Terpapar PMK Perlu Didalami
Di 14 kabupaten/kota di Jawa Timur, ditemukan 6.433 sapi yang terkonfirmasi terinfeksi PMK.
SELENGKAPNYAHasil Konbes Dorong NU Miliki Tata Kelola Modern
Konbes NU 2022 berlangsung sejak Jumat hingga Ahad di Jakarta.
SELENGKAPNYA