Ekonomi
Aprindo Minta Kejelasan Aturan PPN
Kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen berpotensi berdampak terhadap tingkat konsumsi masyarakat.
JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) meminta pemerintah memperjelas aturan teknis terkait pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) untuk sejumlah komoditas barang kebutuhan pokok dan penting (bapokting).
Menurut Aprindo, hal ini diperlukan untuk meredam kenaikan harga terutama jelang perayaan hari besar keagamaan Idul Fitri tahun ini. Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengatakan, kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen berpotensi memberikan dampak terhadap tingkat konsumsi masyarakat.
Terlebih lagi, ujarnya, kenaikan tarif bertepatan dengan kenaikan harga beberapa barang kebutuhan lain, seperti BBM dan LPG. "Restrained mode atau menunda konsumsi rumah tangga untuk nonkebutuhan dasar, berpotensi terjadi pada seluruh lapisan masyarakat," ungkap Roy melalui keterangan tertulis, Ahad (3/4).
Roy menjelaskan, beberapa kebutuhan pokok masyarakat saat ini juga masih dikenakan PPN dengan tarif 11 persen, seperti komoditas minyak goreng kemasan. Dengan adanya kenaikan tarif PPN, harga minyak goreng berpotensi kembali naik dan berdampak pada peningkatan inflasi.
"Pada Maret 2022 lalu, sebelum kenaikan PPN 11 persen, posisi inflasi berada pada level 0,66 persen (mtm) atau 2,64 persen (yoy). Tertinggi sejak 2019," ujar Roy.
Selain itu, Roy menyoroti 11 barang kebutuhan pokok, seperti beras, gula, sayur, buah-buahan, kedelai, dan cabai kini menjadi objek PPN. Meski tidak dikenakan tarif sebesar 11 persen, penetapan komoditas tersebut menjadi objek PPN akan membuat pedagang penjual berkewajiban menjadi pengusaha kena pajak (PKP).
Beberapa kewajibannya antara lain menerbitkan faktur pajak dan melakukan laporan pemungutan PPN setiap bulan. Hal ini berpotensi meningkatkan tambahan tenaga administrasi serta menambah biaya.
Direktur Peraturan Perpajakan I Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu Hestu Yoga Saksama menyampaikan, saat ini pemerintah sedang menyusun peraturan pemerintah tentang kenaikan PPN. Termasuk di dalamnya diatur terkait Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) baru yang diberi fasilitas pembebasan PPN atau tidak dikenakan PPN berdasarkan UU HPP.
Hestu mengatakan, BKP dan JKP yang diberi fasilitas pembebasan PPN pun tidak lantas harus dipungut PPN pada 1 April 2022 karena aturan teknisnya belum terbit.
"Jadi, tidak perlu ada kekhawatiran bahwa pada 1 April 2022 jasa pendidikan harus dikenakan PPN dulu, tidak begitu juga. Nanti ada pasal transisinya bahwa pembebasan sudah mulai berlaku pada 1 April 2022," katanya.
Pemerintah berkomitmen untuk tidak membebani masyarakat dengan administrasi perpajakan. Akan tetapi, Ditjen Pajak berharap setiap transaksi ekonomi yang dilaksanakan masyarakat dapat tercatat dengan menjadikannya sebagai BKP dan JKP.
"Komitmen kita, kita tidak ingin terlalu membebankan masyarakat atau wajib pajak dengan administrasi," ujarnya.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berupaya menekan dampak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Mulai 1 April 2022, tarif PPN naik dari 10 persen menjadi 11 persen.
Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan, dampak kenaikan PPN terhadap inflasi berkisar 0,4 persen sepanjang sisa 2022. Oleh karena itu, ia memperkirakan inflasi 2022 akan tetap terjaga sesuai dengan perkiraan pemerintah, yakni sebesar 2 sampai 4 persen.
"Kalau kita evaluasi kenaikan PPN sendiri, mudah-mudahan dampaknya tidak signifikan, masih di dalam rentang sesuai APBN," kata Yon.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Aprindo Minta Kejelasan Aturan PPN
Kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen berpotensi berdampak terhadap tingkat konsumsi masyarakat.
SELENGKAPNYAPertamina Jamin Pasokan BBM
Pengemudi truk mengantre selama lima jam untuk mengisi penuh tangki kendaraan.
SELENGKAPNYA