Nasional
Propam Periksa 14 Polisi Parigi Moutong
Tindakan kepolisian terhadap warga penolak pertambangan disorot.
PALU—Propam Polda Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Polres Parigi Moutong memeriksa 14 polisi terkait kasus tewasnya seorang warga Desa Tada yang tertembak saat pembubaran pemblokiran jalan di Desa Sinei, Sabtu (12/2).
Selain memeriksa 14 anggota kepolisian, Propam Polda Sulteng juga mengamankan 13 pucuk senjata api untuk keperluan penyelidikan. Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah Kombes Pol Didik Supranoto mengatakan Propam Polda Sulteng dan Polres Parigi Moutong telah memeriksa mereka dan mengamankan 13 pucuk senpi genggam jenis HS.
"Untuk kepentingan penyelidikan, kami amankan belasan pucuk senpi, dan turut diperiksa, baik perwira maupun bintara," kata Didik di Palu, Senin (14/2).
Pada Sabtu (12/2), seorang warga Desa Tada, Kecamatan Tinombo Selatan, Kabupaten Parigi Moutong, Sulteng, bernama Erfaldi alias Aldi (21) tewas tertembak saat polisi membubarkan unjuk rasa. Unjuk rasa warga dilakukan sebagai ungkapan penolakan kegiatan tambang emas PT Trio Kencana.
Kapolda Sulteng Irjen Pol Rudy Sufhariadi mengaku, pihaknya akan mengusut insiden yang menimbulkan korban jiwa tersebut. Kapolda menegaskan, siapa pun yang bersalah diganjar dengan hukuman sesuai Peraturan Kapolri.
"Sangat disayangkan insiden ini. Namun kami bekerja profesional, siapa pun bersalah akan kami hukum sesuai aturan dan perundang-undangan berlaku," kata Rudy.
Kapolda meminta maaf kepada keluarga korban dan masyarakat atas insiden meninggalnya Aldi. Ia menjanjikan langkah konkret terkait kasus ini. Dalam insiden saat demonstrasi warga ini, kepolisian mengeklaim blokade jalan saat aksi unjuk rasa perlu ditertibkan karena mengganggu arus lalu lintas sekaligus menjadi jalur perlintasan sentral penghubung antarprovinsi.
Aksi unjuk rasa ini sudah dilaksanakan tiga kali. "Kapolres telah mengimbau demonstran sebanyak empat kali. Penutupan jalan dilakukan massa aksi sejak pukul 12.00-24.00 WITA yang berujung pada penindakan," kata Rudy.
Secara tegas, ia akan menuntaskan persoalan yang menimbulkan gejolak di tengah masyarakat, termasuk warga yang meninggal dunia karena tertembak dalam demonstrasi tersebut dan terhadap siapa yang membawa masyarakat menutup jalan.
Ketegasan Kapolri
Pengamat Kepolisian dari Institut for Security and Strategic Studies (ISeSS) Bambang Rukminto menyarankan Kapolri tegas terhadap anggotanya yang melanggar aturan. Terlebih tindakan polisi menghilangkan nyawa warga.
"Harus ada yang dimintai pertanggung jawaban. Komitmen Kapolri untuk memblender kepala bila ada ekor yang busuk itu harus dibuktikan sesegera mungkin untuk menumbuhkan trust masyarakat, bahwa Kapolri memang benar-banet konsisten dengan pernyataan dan jargonnya," katanya saat dihubungi Republika, Senin (14/2).
Komitmen Kapolri untuk memblender kepala bila ada ekor yang busuk harus dibuktikan.
Kemudian, ia melanjutkan kegagapan dan ketidaktegasan Kapolri untuk menindak anggotanya yang melanggar prinsip-prinsip humanisme akan memunculkan asumsi di masyarakat bahwa polisi tidak nihil kepentingan-kepentingan politik oligarki. “Ini yang harus dicermati oleh pucuk pimpinan Polri. Jangan sampai hal ini terjadi lagi," kata dia.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai insiden penembakan warga merupakan aksi brutal melawan hukum. “Brutal, sangat brutal, apalagi kami menerima laporan sudah ada korban tewas," katanya, Ahad (13/2).
Ia menegaskan penembakan terhadap pengunjuk rasa menolak pertambangan di Kabupaten Parigi Moutong tidak bisa dibenarkan. Karena itu, aparat penegak hukum harus segera mengusutnya, termasuk menginvestigasi aparat yang terlibat penembakan atau tindakan lain yang sangat merendahkan martabat manusia.
Amnesty Internasional menilai insiden ini menambah daftar panjang aksi kekerasan kepada masyarakat. Terutama terhadap penolakan warga terkait keberadaan tambang.
"Kami mendesak agar negara berhenti mengerahkan kekuatan dan kekerasan berlebihan dalam menanggapi protes-protes warga. Siklus kekerasan ini harus dihentikan. Negara wajib melindungi mereka yang berbeda pendapat dengan negara," tegasnya.
Menurut Usman, Pada Sabtu, tanggal 12 Februari, sekitar 700 orang dari Kecamatan Kasimbar, Kecamatan Tinombo Selatan, dan Kecamatan Toribulu melakukan unjuk rasa dengan memblokade jalan Trans-Sulawesi dalam rangka mengekspresikan penolakan mereka terhadap tambang emas yang beroperasi di daerah tersebut.
Menurut informasi yang diterima Amnesty, pada sekitar pukul 20.30 waktu setempat, anggota Brimob diturunkan ke lokasi untuk membubarkan massa aksi. Pada sekitar pukul 24.00, polisi menembakkan gas air mata dan terjadi aksi saling lempar antara massa dan polisi. Pada pukul 01.30, seorang warga Kecamatan Tinombolo Selatan tertembak di dada dan akhirnya meninggal dunia.
Pada saat penulisan, polisi masih menahan setidaknya 70 orang massa aksi. Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) secara eksplisit menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 dan hak untuk berkumpul secara damai, sebagaimana diatur dalam Pasal 21.
Instrumen ini mengikat semua negara yang telah meratifikasinya, termasuk Indonesia. Merujuk pada Kovenan ini, ekspresi politik juga merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang keberadaannya dijamin oleh instrumen hak asasi manusia internasional.
Dalam konteks nasional, hak atas kebebasan berkumpul dan berekspresi juga telah dijamin dalam UUD Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, serta Pasal 24 ayat (1) UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Selain itu, penggunaan senjata api oleh aparat juga harus sesuai dengan Prinsip-Prinsip Dasar Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum yang dikeluarkan oleh PBB (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials), yang melarang penggunaan senjata api oleh aparat penegak hukum kecuali apabila mutlak diperlukan untuk melindungi diri atau untuk membela orang lain dari ancaman kematian.
Dalam peraturan di tingkat kepolisian sekalipun, pengunaan senjata api secara berlebihan telah tidak sesuai dengan ketentuan pada Pasal 3 Peraturan Kapolri No 1/2009 tentang Pengunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian serta Pasal 9 dan Pasal 11 Peraturan Kapolri No 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.