Haedar Nashir | Daan Yahya | Republika

Refleksi

Fondasi Indonesia

Membangun Indonesia dan legasi kekuasaan mesti berfondasikan tiga nilai utama.

Oleh PROF HAEDAR NASHIR

 

OLEH PROF HAEDAR NASHIR

Para pendiri bangsa berdebat tentang nilai yang fundamental bagi Negara Indonesia merdeka. Perdebatan diawali dari pertanyaan Ketua BPUPKI Dr KRT Radjiman Wedyodiningrat, “Indonesia merdeka yang akan kita dirikan nanti, dasarnya apa?"

Soekarno pada pidato 1 Juni 1945 menyodorkan konsep Pancasila sebagai “philosophische grondslag” atau “weltanschauung”. Kedua istilah Belanda dan Jerman tersebut kandungan isinya sama, yaitu, “Itulah pundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”

Pembentukan dasar negara Republik Indonesia berlangsung dinamis, antara lain, lahirnya Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Puncaknya setelah satu hari kemerdekaan, melalui sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945, UUD 1945 disepakati sebagai konstitusi dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan lima sila dimasukkan dalam Pembukaan, meski tidak ada satu pun disebut kata Pancasila.

Indonesia sebagai negara-bangsa sungguh tidak terbentuk sekali jadi. Perjuangan untuk Indonesia merdeka berlangsung ratusan tahun dengan pengorbanan dan penderitaan yang luar biasa berat. Jika kini para elite dan warga bangsa menikmati banyak kemudahan dalam bernegara, ingatlah perjuangan menuju Indonesia merdeka itu tidaklah mudah dan murah.

Nama “Indonesia” pun dipilih melalui proses sejarah yang panjang. Setelah Adolf Bastian tahun 1884 memperkenalkan istilah “Indonesia”, pada awal abad ke-20 para tokoh Kebangkitan Nasional berketetapan hati memilih nama Indonesia.

 
Jika kini para elite dan warga bangsa menikmati banyak kemudahan dalam bernegara, ingatlah perjuangan menuju Indonesia merdeka itu tidaklah mudah dan murah.
 
 

Mereka tidak memilih nama Nusantara, Dwipantara, Swarnadwipa, Insulinde, dan Melayunesia untuk Negara Indonesia. Pergerakan kaum muda melalui Soempah Pemoeda 1928 mendeklarasikan ikrar satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa, yaitu Indonesia.

Nama Indonesia itulah yang secara resmi dikumandangkan dalam Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di ibu kota Negara Indonesia yang bersejarah, yaitu Jakarta. Penggalan sejarah itu merupakan tonggak penting kelahiran Indonesia.

Indonesia sebagai entitas bangsa, tanah air, identitas diri, denyut nadi perjuangan, jiwa, pikiran, dan cita-cita luhur untuk menjadi negara-bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Meminjam istilah Soepomo, itulah Indonesia yang “bernyawa”. Bukan Indonesia bermahkota raga-fisik semata!

Pancasila

Kini negara Indonesia berusia lebih 76 tahun dari kemerdekaannya serta rentang ratusan tahun dari pembentukan bangsa dan tanah air. Apakah Pancasila telah menjadi nilai yang tertanam (internalisasi) dan melembaga (institusionalisasi) dalam keseluruhan aspek dan proses kehidupan bernegara?

Apakah Pancasila benar-benar terwujud dalam segala kebijakan pemerintahan di eksekutif, legislatif, yudikatif, dan seluruh institusi kenegaraan? Apakah seluruh warga dan elite negeri telah menjadikan Pancasila sebagai nilai yang hidup dalam jiwa, pikiran, sikap, dan tindakan nyata berbangsa dan bernegara?

Manakala para elite dan warga bangsa gemar bergempita dengan simbolisasi keindonesiaan, kenusantaraan, dan lain-lain, apakah di dalamnya dipraktikkan Pancasila? Apakah nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia benar-benar menjadi praktik hidup sehari-hari dalam mengurus Indonesia dan dijalankan dalam hidup berbangsa-bernegara?

Kita berharap kelima sila Pancasila yang luhur itu terwujud di dunia nyata dan bukan berumah di atas kemegahan retorika dan klaim simbolis semata.

 
Kita berharap kelima sila Pancasila yang luhur itu terwujud di dunia nyata dan bukan berumah di atas kemegahan retorika dan klaim simbolis semata.
 
 

Ukurannya sederhana. Bikin daftar (check-list) seluruh kebijakan dan praktik nyata kehidupan bernegara. Apakah seluruh perundang-perundangan, peraturan, kebijakan, dan langkah-langkah yang diambil oleh institusi pemerintahan di Republik ini merupakan implementasi dari Pancasila serta tidak ada satu pun yang bertentangan dengannya?

Segala kebijakan politik, ekonomi, pendidikan, perpajakan, dan semua aspek yang berurusan dengan bangsa dan negara mesti sejalan dengan konstitusi dasar. 

Pastikan sistem kekuasaan dan keputusan-keputusan penting di negeri tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Apakah dalam mengambil keputusan strategis menyangkut eksistensi negara bertumpu pada kebeningan jiwa “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” secara jujur dan terbuka, bukan pada digdaya kuasa?

Para elite dan warga bangsa jangan terus bersuara lantang tentang siapa kelompok anti-Pancasila. Berpikir pulalah apakah Pancasila sudah dijalankan di republik ini, serta tidak ada kebijakan negara dan praktik berbangsa yang bertentangan dasar negara.

Lima nilai utama Pancasila mesti mendasari pemikiran para petinggi negeri dalam mengambil kebijakan-kebijakan strategis negara. Membangun tonggak legasi mesti dengan kearifan mempertimbangkan nasib rakyat, situasi negeri, dan kemaslahatan nasional disertai pertanggungjawaban moral yang tinggi akan kelangsungan masa depan Indonesia.

Itulah makna melaksanakan Pancasila di dunia nyata. Bukan Pancasila diksi, terminologi, teori, jargon, dan dunia simbolis!

Agama

Indonesia sejatinya negeri yang bangsanya religius. Agama merupakan pedoman hidup yang menyatu dalam denyut nadi Indonesia. Agama bagi bangsa Indonesia merupakan way of life yang fundamental karena berasal dari wahyu Tuhan. Agama memiliki kitab suci dan nabi.

Pancasila sebagai dasar negara sejalan dan tidak ada yang bertentangan dengan agama. Pancasila secara substantif mengandung nilai-nilai agama. Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa lekat sekali dengan ajaran utama agama, bagi umat Islam adalah tauhid.

Agama telah hidup di Indonesia jauh sebelum negara ini lahir. Indonesia memang bukan negara agama, tapi bukan negara sekuler. Keberadaan agama diakui secara konstitusional di republik ini.

 
Pancasila sebagai dasar negara sejalan dan tidak ada yang bertentangan dengan agama. Pancasila secara substantif mengandung nilai-nilai agama.
 
 

Pembukaan UUD 1945 selain mengandung Pancasila juga mengakui kemerdekaan Indonesia “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945 menyatakan: “(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”

Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 saat membahas sila Ketuhanan Yang Maha Esa menyatakan: “Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan!”. “Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!” ujarnya.

Putra Sang Fajar itu juga mengingatkan agar rakyat Indonesia dalam ber-Tuhan tidak membawa “egoisme-agama". Umat beragama harus saling menghormati dan berbudi-pekerti luhur.

Karena itu, menjadi ahistoris dan tidak sejalan dengan Pancasila dan konstitusi manakala ditumbuhkan pandangan agar agama dijauhkan dari negara dan ruang publik Indonesia sebagaimana alam pikiran sekuler. Sama halnya tidak dibenarkan kehendak menjadikan Indonesia sebagai negara agama dan berbentuk sistem keagamaan.

 
Umat beragama dituntut menyatukan dan tidak memisahkan diri dari kehidupan bernegara yang berdasarkan Pancasila.
 
 

Negara juga tidak boleh bermazhab keagamaan tertentu. Umat beragama dituntut menyatukan dan tidak memisahkan diri dari kehidupan bernegara yang berdasarkan Pancasila. Ideologi lain yang bertentangan dengan Pancasila, seperti komunisme dan ateisme, juga tidak memiliki ruang legal di negeri ini.

Semua pihak harus berkomitmen kuat menjaga kesepakatan nasional tentang dasar negara Pancasila dan UUD 1945, yang dalam dokumen resmi Muhammadiyah disebut “Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah”.

Kebudayaan

Bangsa Indonesia memiliki kebudayaan, yakni sistem pengetahuan kolektif yang menjadi acuan hidup bersama. Bhinneka Tunggal Ika lahir dari mozaik kebudayaan bangsa yang relasinya berbasis nilai kebersamaan (gotong royong) dan bukan relasi digdaya, baik kuasa mayoritas maupun tirani minoritas.

Setiap bangsa memiliki kebudayaannya sendiri yang harus dihormati. Universalisme tidak harus menapikan kebudayaan bangsa. Usaha memajukan Indonesia tidak dimaknai penegasian kebudayaan bangsa dan memaksakan alam pikiran bangsa lain untuk menjadi kepribadian Indonesia.

Pemikiran demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, toleransi, dan multikulturalisme tidak boleh memaksa bangsa Indonesia harus sama seperti bangsa lain.

Tanpa harus terjebak pada chauvinisme dan kenusantaraan yang kerdil, pikiran maju dari mana pun dapat diambil. Akan tetapi manakala tidak berkesesuaian dengan nilai kebudayaan bangsa maka tidaklah salah bila tidak memakainya.

Menolak dan tidak mengikuti praktik hidup ala negeri maju mana pun yang bertentangan dengan falsafah dan kebudayaan Indonesia tidak berarti konservatif, picik, dan tidak modern. Sastrowijono dalam Kongres Kebudayaan 1918 di Surakarta menyatakan, “Apabila sebuah bangsa mengesampingkan kebudayaannya sendiri serta tidak menghargai apa yang diwariskan nenek moyangnya, maka bangsa itu tidak layak untuk maju” (kongres.kebudayaan.id).

 
Kunci kebudayaan ialah pendidikan, selain tradisi yang hidup secara positif di masyarakat luas.
 
 

Kunci kebudayaan ialah pendidikan, selain tradisi yang hidup secara positif di masyarakat luas. Pendidikan dan kebudayaan harus berbasis nilai luhur bangsa agar menjadi pilar strategis yang mencerahkan semesta.

Pasal 31 tentang Pendidikan dan Kebudayaan ayat 3 dan ayat 5 menegaskan: “(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang …. (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.”

Artinya, pendidikan perlu landasan kokoh tidak hanya pada rancang-bangun pengetahuan dan keahlian semata mengikuti hukum ekonomi-pabrik. Pendidikan Indonesia mesti dikembangkan di atas nilai dan usaha mencerdaskan kehidupan bangsa secara utuh sehingga lahir generasi yang berakal budi luhur, berilmu, berkeahlian, dan hidup berkeadaban di tengah tantangan zaman. Pendidikan yang berperspektif kebudayaan dan menjadi milik bersama tanpa diskriminasi guna meraih kemajuan bangsa.

Indonesia akan berdiri tegap dan bermartabat di hadapan bangsa-bangsa lain karena memiliki Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur bangsa yang ditransformasikan sebagai basis nilai dan etos kemajuan bangsa.

Membangun Indonesia dan legasi kekuasaan mesti berfondasikan tiga nilai utama itu agar kemajuan yang dicapai “Berkepribadian Indonesia” dan tidak menjadi mahkota fatamorgana.

Belajarlah hikmah kebijaksanaan dari perjalanan masa lalu agar mampu berbuat yang terbaik bagi Indonesia hari ini. Nasib Indonesia sungguh dipertaruhkan di tangan para petinggi negeri yang tidak cukup hanya bermodalkan digdaya kuasa dan langkah pragmatis semata.

Indonesia meniscayakan jalan kepemimpinan berkecerdasan akal budi dan visi kenegarawanan berjiwa Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur nan autentik menuju peradaban maju yang tercerahkan!

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat