Tema Utama
Sejarah Awal Daulah Abbasiyah
Kekuasaan Daulah Abbasiyah terus bertahan selama 500 tahun.
OLEH HASANUL RIZQI
Abdullah Abul Abbas bin Muhammad merupakan seorang tokoh revolusioner pada masa akhir Dinasti Umayyah. Ia meneruskan tekad saudaranya, Ibrahim al-Imam, untuk meruntuhkan kekuasaan Damaskus. Secara nasab, dirinya adalah generasi keempat dari paman Nabi Muhammad SAW, Abbas bin Abdul Muthalib.
Keberhasilan Abu Muslim al-Khurasani dalam merebut Kufah pada 742 M membuka jalan lapang baginya. Kawan seperjuangannya itu berasal dari golongan mawali Persia dan sama-sama membenci Umayyah. Di kota tersebut, Abdullah Abul Abbas juga disambut hangat Abu Salamah, sosok yang disebut-sebut sebagai wazir Ahlul Bait Rasulullah SAW.
Di luar dugaan, Abu Salamah justru menunjuk dirinya, bukan seorang tokoh keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra, sebagai calon khalifah baru. Lebih mengejutkan lagi, penduduk Kufah menyambut gembira penunjukan tersebut. Padahal, selama ini mereka memberi kesan untuk terus mendukung keturunan Ali di hadapan rezim Umayyah.
Setelah Abu Salamah dan seluruh masyarakat Kufah berbaiat kepadanya, Abul Abbas langsung menunjuk anggota keluarganya sendiri untuk menduduki berbagai posisi penting dalam pemerintahan.
Sementara Abu Muslim diberinya jabatan sebagai gubernur Khurasan, Abu Salamah mulai kehilangan wibawanya. Sang “representasi” pembela Ahlul Bait tampaknya menyesal telah mendukung tokoh Abbasiyah ini, tetapi nasi sudah menjadi bubur.
Berita yang menggemparkan dari Kufah itu akhirnya tiba di telinga Marwan bin Muhammad (Marwan II). Raja Umayyah itu segera menyiapkan balatentara untuk menggempur kota di kawasan Irak tersebut.
Reaksi demikian sudah diprediksi sebelumnya oleh Abul Abbas. Pemimpin revolusi anti-Umayyah ini langsung menyusun kekuatan tempur. Abdullah bin Ali Said ditunjuknya sebagai komandan pasukan.
View this post on Instagram
Kubu Marwan II dan Abdullah saling berhadapan di lembah Sungai Zab pada Januari 750 M. Dalam perang ini, raja Umayyah itu rupanya terlalu percaya diri. Padahal, medan pertempuran tidak begitu dikenalnya. Akhirnya, balatentaranya hilang arah dan kocar-kacir karena dipukul mundur pasukan Abdullah. Bahkan, lebih dari 300 anggota keluarganya terbantai.
Marwan II berupaya kabur ke Damaskus. Namun, Abul Abbas memerintahkan para jajaran untuk mengejarnya. Sempat bersembunyi di Yordania, ia akhirnya tertangkap di Mesir saat hendak menyeberangi Sungai Nil. Pada 6 Agustus 750 M, raja terakhir Daulah Umayyah itu dieksekusi mati.
Kemenangan gerakan revolusioner Abbasiyah itu tidak terjadi secara tiba-tiba. Beberapa dekade sebelum Pertempuran Zab, kelompok anti-Umayyah sudah menyusun kekuatan. Mereka juga memanfaatkan perpecahan di lingkungan elite Damaskus, terutama sejak usainya masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Kemelut yang berlangsung pada 744 M dapat menjadi contoh tentang kacaunya masa senja kala Umayyah. Dalam satu tahun, pergantian pucuk kepemimpinan terjadi sampai empat kali. Para putra mahkota ditangkapi oleh bangsawan yang haus kekuasaan. Ada pula raja yang terpaksa turun takhta karena takut dibantai lawan politiknya.
Pada Februari 743 M, Khalifah Hisyam bin Abdul Malik wafat. Al-Walid bin Yazid melihat kematian pamannya itu sebagai kesempatannya untuk merebut kekuasaan. Putra Yazid bin Abdul Malik itu lantas menyuruh pendukungnya untuk menangkap para putra almarhum.
Kepemimpinan al-Walid, bagaimanapun, hanya bertahan beberapa bulan. Pada April 744 M, Yazid bin al-Walid bin Abdul Malik, yakni kakak sepupunya sendiri, mengkudetanya. Anak-anak al-Walid, termasuk Utsman dan Hakam, dipenjara.
Yazid berkuasa hingga wafatnya pada Oktober 744 M. Sebelum meninggal akibat sakit, ia sempat menunjuk saudaranya, Ibrahim, sebagai pengganti. Namun, sosok ini hanya tahan dua bulan memerintah. Sebab, Ibrahim bin al-Walid sangat waswas akan dibunuh lawan-lawan politik kakaknya yang masih menaruh dendam.
Ketakutan terbesarnya ialah Marwan bin Muhammad. Ibrahim kemudian memohon kepada Marwan untuk menjamin keselamatan dirinya sesudah meletakkan jabatan. Permohonan itu dikabulkan. Maka kaburlah ia dari istana. Pada Desember 744 M, Marwan bin Muhammad menjadi raja baru Umayyah dengan gelar Marwan II. Sejarah membuktikan, dialah penguasa terakhir Bani Umayyah.
Awal kelam
Dengan meninggalnya Marwan II, Abdullah Abul Abbas merasa di atas angin. Ia seketika memerintahkan pasukannya untuk memburu semua anggota keluarga Umayyah. Di Damaskus, seluruh sanak famili dinasti tersebut dihabisi, bersama dengan 50 ribu penduduk setempat. Pembunuhan terhadap orang-orang Umayyah juga dilakukan di Makkah dan Madinah.
Kekejian Abbasiyah pada masa yang kelam ini turut menyasar masyarakat umum. Di Mosul, misalnya, belasan ribu orang dibantai secara sadis. Bahkan, banyak korban dibunuh pada saat bertahan di dalam masjid. Anak-anak dan wanita turut menjadi sasaran.
Revolusi yang dikibarkan Abul Abbas membuat kaum Muslimin terpecah-belah. Sejumlah kabilah, terutama yang berada di Afrika Utara dan Andalusia (Spanyol), bangkit memberontak. Beberapa bahkan mengeklaim berdaulat dengan membentuk kekhalifahan tandingan.
Abul Abbas berkuasa selama empat tahun hingga kematiannya pada 754 M akibat sakit cacar. Posisinya digantikan oleh saudaranya, Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad. Saat menjabat, gelarnya ialah Khalifah al-Manshur.
Meski awalnya berlangsung mengerikan, kekuasaan Daulah Abbasiyah terus bertahan selama 500 tahun. Dalam masa lima abad itu, dari periode ke periode, kekhalifahan ini dipimpin 37 penguasa. Era Abu Ja’far hingga tiga atau empat raja berikutnya merupakan zaman keemasan negeri ini.
Ia dikenal sebagai Khalifah al-Manshur. Berbeda dengan pendahulunya, watak kepemimpinannya cenderung bijaksana meskipun masih flamboyan. Dalam sejarah, namanya tidak hanya dikenang sebagai pemimpin kedua Dinasti Abbasiyah, tetapi juga pendiri Baghdad. Di kota itulah, fondasi kegemilangan kekhalifahan itu berada.
Bagaimanapun, agenda utamanya sebagai khalifah bukanlah membangun ibu kota baru, melainkan konsolidasi imperium. Dirinya mengatur siasat politik dan pemerintahan Abbasiyah agar tidak goyah menghadapi kemungkinan pemberontakan.
Salah satu caranya ialah menata birokrasi mulai dari level pusat hingga daerah-daerah. Ia mengangkat para hakim, kepala polisi rahasia, jawatan pajak, dan lain-lain dari kalangan yang benar-benar terbukti setia terhadap Abbasiyah.
Al-Manshur sadar betul akan bahaya lawan-lawan politiknya. Karena itu, dirinya merasa wajib memadamkan mereka terlebih dahulu, untuk kemudian berfokus pada impiannya, yakni mewujudkan Abbasiyah sebagai pusat kemajuan dunia. Sekurang-kurangnya, ada tiga kelompok rival yang patut diwaspadainya.
Grup pertama dipimpin Abdullah bin Ali Said, sang komandan Abbasiyah yang sukses di Perang Zab. Para pengikut adik pamannya itu cukup banyak. Mereka selalu mengelu-elukannya untuk berambisi menjadi khalifah.
Grup kedua adalah para pendukung Abu Muslim al-Khurasani. Mawali Persia ini berjasa besar dalam membantu pendirian Kekhalifahan Abbasiyah. Pamornya di tengah rakyat pun tak bisa diremehkan. Khalifah al-Manshur kerap khawatir pengaruh Abu Muslim terlalu besar bagi pemerintahannya.
Grup ketiga tidak lain merupakan kalangan Syiah. Mereka sangat mendambakan anak keturunan Ali bin Abi Thalib untuk menjadi penguasa. Akan tetapi, pengaruh politiknya tidak sehebat dua golongan lainnya.
Dengan piawai, al-Manshur mengantisipasi ambisi kelompok-kelompok tersebut. Pertama-tama, Abu Muslim diberikannya jabatan sebagai gubernur Khurasan. Sang mawali Persia diminta pertolongannya dalam menghadapi pasukan Abdullah bin Ali Said yang datang menyerbu Nusaybin—perbatasan Turki dan Suriah modern—pada November 754 M.
Dalam pertempuran itu, Abdullah sempat kabur, tetapi kemudian ditangkap. Atas perintah al-Manshur, mantan komandan Abbasiyah dalam Perang Zab itu dieksekusi mati. Sesudah itu, saudara Abul Abbas ini diam-diam menyuruh beberapa orang untuk membunuh Abu Muslim. Pada 755 M, sang gubernur Khurasan pun tewas.
Dengan berakhirnya prahara politik, stabilitas nasional pun tercapai. Bagi al-Manshur, inilah momen yang tepat untuk mencurahkan perhatiannya pada pengembangan kebudayaan dan peradaban Islam. Ya, sebagai seorang politikus, dirinya menampilkan wajah licik dan cenderung menghalalkan segala cara.
Namun, selaku individu terpelajar, khalifah kedua Abbasiyah itu sangat mencintai ilmu pengetahuan. Kecintaannya itu terbukti, umpamanya, melalui pendirian Baghdad. Kota tersebut berkembang menjadi pusat peradaban Islam dengan watak yang kosmopolitan.
Dualisme wajah al-Manshur itu—penguasa nan zalim dan cendekia—tampak pada perlakuannya terhadap Imam Abu Hanifah. Ia tentu mengagumi keluasan dan kedalaman ilmu ulama besar tersebut. Namun, alih-alih menaruh hormat, dirinya justru nekat memenjarakan dan menyiksa peletak dasar Mazhab Hanafi ini.
Penyebabnya hanya karena tokoh alim ini menolak tawaran jabatan hakim agung. “Seandainya Anda mengancam untuk membenamkan saya ke dalam Sungai Eufrat atau memegang jabatan itu, sungguh saya lebih memilih untuk dibenamkan,” kata Abu Hanifah beberapa saat sebelum meninggal disiksa di dalam penjara.
Kota Bundar, Kota Perdamaian
Khalifah Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad al-Manshur ingin membangun sebuah pusat peradaban di Irak. Untuk itu, raja kedua Dinasti Abbasiyah tersebut harus memilih lokasi yang tepat. Pilihannya jatuh pada sebuah area luas di sebelah selatan Lembah Zab, bersisian dengan Sungai Eufrat dan Tigris.
Kawasan ini bukan hanya strategis, tetapi juga beriklim sejuk dan subur tanahnya. Pada musim dingin, hawanya sedang. Ketika musim panas menerjang, suhu udara cenderung sejuk. Adapun kesuburannya ditunjang oleh aliran sungai-sungai di dekatnya.
Khalifah al-Manshur pun membangun kota impiannya dengan dana yang diperoleh sejak berhasil menggulingkan Dinasti Umayyah. Ia juga mendatangkan 100 ribu orang tukang untuk menuntaskan pekerjaan ini.
Perlahan namun pasti, berdirilah banyak fasilitas umum di atas lahan tersebut. Ada masjid raya, kantor-kantor pemerintahan, rumah-rumah penduduk, barak tentara, jembatan, saluran air, serta jalan-jalan raya.
Alhasil, kota dambaan al-Manshur tersebut, bila dilihat dari atas, berbentuk bundar sempurna.
Uniknya, denah kota ini sengaja dibuat melingkar. Alhasil, kota dambaan al-Manshur tersebut, bila dilihat dari atas, berbentuk bundar sempurna. Untuk menjaganya dari ancaman marabahaya, sang khalifah mendirikan tembok tinggi yang mengelilingi seluruh perbatasan kota itu.
Pada 767 M, proyek besar ini pun tuntas dikerjakan. Al-Manshur menamakannya sebagai Baghdad atau Madinat as-Salam (Kota Perdamaian). Berdiameter dua mil, kota itu tampak seperti kawasan benteng yang luas dan kokoh.
Bagian hunian dibagi menjadi empat kuadran. Beberapa di antaranya menjadi area hunian para pejabat senior serta pengawal kerajaan. Di tengah kota bundar ini, berdirilah istana sang khalifah yang dinamakan Gerbang Emas. Di sampingnya, terdapat masjid raya.
Pada masanya, Baghdad menjadi kota terbesar se-dunia. Sepeninggalan al-Manshur, pusat pemerintahan Abbasiyah ini menjadi mercusuar peradaban Islam yang gemilang hingga ratusan tahun kemudian.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.