Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Gedung Bioskop di Purwodadi Hancur Jadi Berita di Batavia

Rumah-rumah hancur, termasuk gedung bioskop Sidodadi yang baru dibuka kembali beberapa bulan sebelumnya.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Pada November 1941, tak hanya koran Surabaya (Indische Courant dan Soerabaiasch Handelsblad), koran Batavia (Bataviaasch Nieuwsblad) juga memberitakan peristiwa badai petir di kota kecil, sekitar 60 kilometer dari Semarang. Judul beritanya “Badai Petir di Purwodadi, Bioskop Hancur”.

Saat itu, Purwodadi sudah dikenal di Batavia. Di Krekot, ada “Restaurant Poerwodadi”, menyajikan masakan Jawa dan Eropa. Ketika ada helatan Pasar Gambir, restoran di Krekot sepenuhnya melayani pelanggan di Pasar Gambir. Pelanggan sangat diperhatikan sehingga pada 1933 “Restaurant Poerwodadi” meraih hadiah utama dari Panitia Pasar Gambir.

Dalam kurun dua pekan pada November 1941 itu, terjadi dua badai petir menerjang Purwodadi, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Badai kedua terjadi pada Sabtu, 8 November 1941. Rumah-rumah hancur, termasuk gedung bioskop Sidodadi yang baru dibuka kembali beberapa bulan sebelumnya. Bioskop itu selalu ramai penonton.

Gedung bioskop Sidodadi diresmikan pengoperasiannya pada Jumat, 5 Agustus 1938, malam. Namun, karena ada masalah, pada Desember 1939 terpaksa ditutup. Peralatannya dikirim ke Surabaya. Bioskop baru dibuka lagi pada 1941.

Pada malam pembukaan 5 Agustus 1938, Bupati Grobogan RTA Soekarman beserta istri dan asisten residen Lecoq d’Armanville beserta istri hadir menyaksikan pertunjukan perdana bersama para pejabat dan masyarakat. Kehadiran bupati dan asisten residen membuat Liem Hoo Lian, pemilik bioskop, bersukacita. Menurut dia, kehadiran bioskop di Purwodadi merupakan cita-cita warga Purwodadi dan sekitarnya.

 
Gedung bioskop Sidodadi diresmikan pengoperasiannya pada Jumat, 5 Agustus 1938, malam. Namun, karena ada masalah, pada Desember 1939 terpaksa ditutup.
 
 

Selain mencari keuntungan, bioskop ini juga terlibat pertunjukan amal. Sebanyak 50 persen dari penjualan tiket disumbangkan kepada lembaga penggalang dana bantuan untuk pribumi, Algemeen Steunfonds voor Inheemsche Behoeftigen (ASIB) Purwodadi-Grobogan.

Untuk penggalangan dana sosial ini, di Purwodadi juga sering digelar pasar malam. Pengunjung pasar malam pada 1934 mencapai 5.000 orang. Pada September 1941 diadakan pasar malam untuk menggalang dana perang. Saat itu, Belanda sudah dikuasai Jerman sehingga Ratu Belanda mengungsi ke London. Penggalangan dana perang ini juga dilakukan di banyak daerah untuk mendukung Belanda.

Namun, bagi koran Pemandangan, yang diperlukan untuk meringankan beban Belanda bukan sumbangan dana. Daripada Indonesia juga jatuh ke Jerman, kata “Tajuk” Pemandangan 16 Mei 1940, Belanda perlu membiarkan Indonesia berdiri tegak sebagai negeri yang memerintah sendiri. Pemandangan pun diberedel selama sepekan, mulai 17 Mei 1940.

Kembali ke gedung bioskop Sidodadi, gedung ini juga pernah dipakai untuk mengumpulkan warga pada Januari 1939 ketika pemerintah harus menjelaskan rencana uji coba pemadaman listrik. Pejabat berwenang menjelaskan uji coba pemadaman listrik ini sambil meminta masyarakat tidak perlu khawatir. Pemadaman listrik bukan karena ada perang ataupun karena ada serangan udara. Yang datang di gedung bioskop cukup banyak, meski hujan tak segera berhenti.

 
Gedung bioskop ini juga pernah dipakai untuk mengumpulkan warga pada Januari 1939 ketika pemerintah harus menjelaskan rencana uji coba pemadaman listrik.
 
 

Sejak 1938, Purwodadi sudah dialiri listrik dari pembangkit listrik tenaga air yang dibangun oleh perusahaan listrik Algemeene Nederlandsch-Indische Electriciteits-Maatschappij (ANIEM). Saat pembangunan pembangkit di Kali Tuntang pada 1936, pemerintah kolonial meminta ANIEM bisa menuntaskan pembangunan pada 1938 dan menargetkan Kota Kendal, Demak, dan Purwodadi sudah teraliri listrik 25 bulan sejak pembangunan.

Koran-koran melaporkan, sejak dialiri listrik, Purwodadi terlihat lebih baik. Tiang listrik berjarak 50 meter berjajar di sisi jalan menerangi jalan di malam hari. Taman Putri Beatrix pun ditata. Tapi, drainase ternyata belum diperbaiki. Selokan telah dangkal dan ditumbuhi rumput. Akibatnya, jika hujan deras, air meluap ke jalanan dan pekarangan rumah.

Luapan air dari Kali Serang dan Kali Lusi pun memperparah banjir. Dari tahun ke tahun, ketinggian banjir di beberapa kampung selalu di atas satu meter. Banjir membuat perjalanan kereta ke Purwodadi dari Semarang, Demak, Blora, terganggu. Jembatan rel kereta api berada 67 cm di bawah air. Kendaraan bermotor dari Semarang, Demak, Blora, juga terhalang banjir.

Banjir bertahun-tahun itu membuat Purwodadi dikenal sebagai “Kota Kubangan”. Ada banyak lubang di jalan Purwodadi. Koran-koran menyebut, ada 8.000 lubang pada 1938 yang tak juga segera ditutup. Kampung Jengglong dan Jagalan disebut yang paling menderita, selain karena banjir, juga banyak nyamuk setelah banjir.

Hingga 1936, Kabupaten Grobogan dicatat sebagai daerah yang belum pernah masuk daftar daerah makmur. Daerah ini dibeli pemerintah kolonial dari Kasunanan Surakarta pada 1903. Daerah kering yang penduduknya mengandalkan kedelai. Dua desa yang lebih makmur dari desa lain karena mengandalkan produksi garam darat, yaitu Jono dan Kuwu.

Jono --11 kilometer sebelah timur Purwodadi— memproduksi 1.139.372 kilogram garam dari 200 sumur pada 1935. Pemerintah menerima cukai garam sebesar 17.090,58 gulden. Selain dikonsumsi di wilayah Grobogan, garam juga dikirim ke Surakarta. Jangan-jangan, setelah menjual garam, ada petani garam yang menonton film di bioskop Sidodadi.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat