Internasional
Dampak Perang pada Anak-Anak Gaza
Orang-orang Gaza yang selamat dari serangan kini menghadapi tantangan lain.
GAZA CITY -- Serangan Israel di Jalur Gaza sudah berlalu. Namun, reruntuhan, kehancuran, dan kerusakan bagunan di sana seakan menjadi simbol dampak perang pada anak-anak Gaza.
Bongkahan tembok yang runtuh masih ada di kamar tidur Shrouq al-Masri (9 tahun) dan Razan (4 tahun) yang berwarna ungu. Keduanya ditemui Associated Press pada 26 Mei lalu.
Boneka dan mainan mereka berselimut debu abu-abu, sedangkan langit-langit kamar tampak melengkung. Retakan mengiris gambar-gambar kartun yang menghiasi dinding kamar.
Kedua gadis ini selamat dari serangan udara Israel pada fajar, 19 Mei silam. Serangan itu menghancurkan gedung terdekat rumah mereka.
Serangan Israel itu terjadi dua hari sebelum gencatan senjata Israel dan Gaza diteken. Namun, seperti layaknya anak-anak Gaza lainnya, horor dan kehancuran ini akan dibawa dan menetap dalam ingatan dan kenangan mereka.
Pertempuran itu berlangsung selama 11 hari. Seperti perang sebelumnya di wilayah yang tercekik pagar dan pembatas ini, memiliki garis serupa dari pertempuran sebelumnya.
Serangan-serangan udara Israel digelar sebelum fajar menyasar aneka sasaran di Gaza. Sedangkan roket ditembakkan dari Gaza ke arah Israel. Selama 11 hari, korban pun berjatuhan, sebagian besar warga Gaza. Lebih dari 250 warga Gaza gugur.
Sebagaimana perang sebelumnya, anak-anak ikut menanggung akibatnya. Laman Associated Press menyebutkan, sekurangnya 66 anak Palestina ini gugur, termasuk seorang bocah berusia lima tahun dan seorang gadis Israel berusia 16 tahun. Tak terhitung banyaknya orang yang terjaga dan tak bisa tidur pada malam-malam penuh ledakan dan serangan.
Di kamp pengungsi Maghazi di Gaza selatan, serangan udara Israel merobek atap kamar bocah berusia empat tahun, Anas Alhajahmed. Kamar itu ditempatinya bersama kakak perempuannya. Akibat serangan, lantai kamar dipenuhi sepihan dan pecahan kaca. Untunglah, mereka selamat.
Ini menjadi perang dalam usia mereka yang masih belia. Namun, kenangan akan perang sebelumnya mungkin masih segar dalam ingatan sebagian besar warga Gaza.
Salah satu yang mereka ingat adalah perang yang paling menghancurkan pada 2014. Perang itu berlangsung selama beberapa pekan. Bahkan beberapa orang dewasa bisa menunjukkan rumah-rumah yang pernah dihancurkan dalam putaran serangan saat itu.
Israel menyalahkan kehancuran itu kepada Hamas. Israel menyebutkan, serangan roket Hamaslah pemicunya, karena datang dari wilayah sipil di Gaza lalu mengarah ke wilayah sipil di Israel. Israel mengaku menghindari sasaran sipil sebisa mungkin.
Sementara bagi Hamas, upaya mereka adalah melawan penjajahan militer Israel yang berlangsung selama beberapa dekade. Hamas, kata mereka, hanya mampu menggunakan senjata seadanya melawan Israel yang memiliki kekuatan militer yang jauh lebih superior. Hamas menyatakan, 80 anggota mereka gugur.
Kedua pihak mengaku, tak memiliki pilihan dalam pertempuran ini. Namun, konflik yang menggurita ini memakan korban pada sosok-sosol yang justru paling tak memiliki kemampuan untuk memahaminya. Merekalah anak-anak.
Mahmoud Al-Masri (14 tahun) berbagi kamar dengan enam saudara laki-lakinya. Sekitar pukul 03.00 waktu setempat, keluarganya harus berhamburan keluar dari rumah setelah militer Israel memperingatkan mereka untuk evakuasi.
Awalnya, Mahmoud tak menyangka akan bisa selamat. Pada pagi hari berikutnya, ia pun ragu untuk kembali ke rumahnya. “Saya takut bahwa setelah kami pulang, kami justru akan tewas dalam serangan lain oleh drone,” katanya.
Orang-orang yang bertahan dan selamat dari serangan kini menghadapi tantangan lain. Mereka harus berjuang untuk membangun kembali.
Padahal, Israel dan Mesir telah memberlakukan blokade ketat terhadap Gaza sejak Hamas memimpin wilayah itu pada 2007. Tingkat pengangguran pada kisaran 50 persen.
Israel berdalih, penutupan itu diperlukan untuk mencegah Hamas mempersenjatai diri mereka. Namun, bagi warga Palestina dan kelompok-kelompok advokasi hak asasi manusia, blokade itu menjadi hukuman kolektif, yang juga harus ditanggung warga tak berdosa.
Kamar-kamar anak-anak Gaza yang hancur ini masih membutuhkan waktu lama sebelum diperbaiki. Masih perlu banyak waktu untuk mereka bisa mencicipi rasanya tinggal di rumah.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.