Tema Utama
Telusur Sejarah Hamas
Hamas gencar membangun basis keagamaan, sosial, dan pendidikan masyarakat.
OLEH HASANUL RIZQA
Harakatu al-Muqawwamah al-Islamiyah atau Hamas merupakan salah satu sayap perjuangan Palestina. Organisasi ini berdiri sejarak Intifadah Pertama 1987. Hingga kini, kiprahnya selalu terdepan dalam melawan penjajahan Israel.
Hingga kini, perjuangan Palestina dalam merebut kemerdekaan masih berlangsung. Sejak Hari Katastrofe (Yawn an-Nakbah) 14 Mei 1948, Israel mengukuhkan penjajahannya atas negeri tersebut. Entitas Zionis ini pun menghadapi resistensi dari pelbagai kelompok.
Salah satunya adalah Hamas. Nama organisasi ini—yang terdiri atas huruf Arab “ha”, “mim”, dan “sin”—merupakan akronim dari Harakatu al-Muqawwamah al-Islamiyah, ‘Gerakan Perlawanan Islam'. Sesuai namanya, ideologi yang diusungnya adalah Islam.
Hamas berdiri sejak 1987, tidak lama sesudah Intifadah Pertama pecah. Namun, cikal bakal eksistensinya sudah bermula beberapa dekade sebelumnya. Menurut Tiar Anwar Bachtiar dalam Hamas: Kenapa Dibenci Israel? (2008), benih yang menumbuhkan organisasi tersebut adalah Ikhwanul Muslimin (IM) Cabang Palestina.
IM merupakan sebuah gerakan yang diinisiasi oleh Hasan al-Banna di Mesir pada 1928. Konteks kemunculannya terjadi pada era 1920-an ketika kendali Britania Raya atas Mesir mulai memudar. Bagaimanapun, pengaruh Barat di Negeri Piramida telah memasuki tatanan sosial dan politik setempat.
Saat mendirikan IM, pemuda 22 tahun itu bervisi agar Islam selalu mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, yang ditekankannya ialah rasa persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah), yang diwujudkan terutama melalui inisiatif-inisiatif dakwah dan pendidikan.
Dengan visi ukhuwah tersebut, fokus IM tidak sebatas pada Mesir saja, tetapi juga nasib umat di berbagai penjuru. Sebagai tetangga dekat, Palestina tentu tidak luput dari perhatiannya.
Ikhwanul Muslimin termasuk gerakan di Arab yang pertama kali memperlihatkan perhatian serius terhadap masalah Palestina
Apalagi, sejak Deklarasi Balfour yang dicanangkan pemerintah Inggris pada 1917, semakin banyak imigran Yahudi menempati wilayah Palestina—waktu itu masih bernama Mandat Britania atas Palestina (Mandatory Palestine). Rakyat setempat terus tergusur arus kedatangan orang-orang Yahudi, terutama dari Eropa.
Bachtiar mengatakan, IM termasuk gerakan di Arab yang pertama kali memperlihatkan perhatian serius terhadap masalah Palestina. Pada 1935, Hasan al-Banna mengutus unsur-unsur pimpinan IM, yakni Muhammad As’ad al-Hakim dan Abdurrahman al-Banna ke Palestina. Tujuannya untuk menjajaki kemungkinan apa saja yang bisa dilakukan organisasi tersebut di sana.
Kira-kira setahun kemudian, cabang IM di Palestina terbentuk. Awalnya, kantor cabang tersebut berada di Haifa, tetapi kemudian berpindah ke Gaza. Kepindahan itu atas usulan Ayash Umairah yang memandang perlunya konsolidasi atas kelompok-kelompok kecil simpatisan IM.
Sejak awal 1930-an, mereka tersebar dari Yafa hingga Yerusalem. Dalam jangka waktu beberapa tahun, puluhan ranting IM berdiri di banyak daerah se-Palestina. Jumlah anggotanya terus menanjak hingga sekira 20 ribu orang pada saat Hari Nakbah terjadi. Semuanya patuh pada arahan dari markas pusat IM di Kairo, Mesir.
Hingga periode 1940-an, IM sangat dekat dengan pergerakan radikal Palestina yang dimotori Syekh Izzuddin al-Qassam. Beberapa tahun sebelumnya, pejuang Palestina itu mendirikan Jam’iyyat asy-Syubban al-Muslimin dengan tujuan mengusir imperialisme Inggris dan pendudukan bangsa Yahudi dari Palestina. Dialah yang memulai seruan pergerakan bersenjata dalam melawan kolonialisme di Bumi al-Quds.
Tahun 1948 menjadi tonggak penting dalam sejarah penjajahan yang dilakukan Zionis. Pada 14 Mei 1948, Britania Raya secara resmi mengakhiri mandatnya di Palestina. Pada hari yang sama, Dewan Nasional Yahudi di Tel Aviv mengumumkan proklamasi negara Yahudi Israel (Eretz-Israel). Hanya berselang beberapa jam kemudian, Amerika Serikat (AS) mengakui secara de facto “negara” baru itu.
Tahun 1948 menjadi tonggak penting dalam sejarah penjajahan yang dilakukan Zionis.
Keesokan harinya, 15 Mei 1948, koalisi militer negara-negara Arab menyerbu Israel. Mereka datang dari pelbagai penjuru, seperti Mesir, Transyordania, Iran, dan Lebanon. Kira-kira sembilan bulan lamanya aliansi Arab bertempur melawan Zionis, yang didukung negara-negara adidaya.
Dalam Perang Arab-Israel 1948, tutur Bachtiar, tidak hanya IM Palestina yang terjun ke medan perjuangan. Cabang-cabang IM di pelbagai negeri Arab, seperti Transyordania, Suriah, dan Irak, pun turut serta. Adapun para anggota IM dari Mesir bergabung menjadi prajurit sukarela dalam pasukan militer yang dikirim pemerintah Mesir ke Israel. Dari Negeri Piramida, sebanyak tiga batalion pasukan sukarela IM dipimpin Ahmad Abdul Aziz.
Namun, pada tahun yang sama di Mesir mulai merebak rumor-rumor tentang IM. Organisasi ini dituding hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Perdana menteri Mesir saat itu, Mahmoud El Nokrashy Pasha, lalu membekukan aktivitas gerakan tersebut di seluruh negeri. Kurang dari tiga pekan kemudian, sang perdana menteri ditembak oleh seorang simpatisan IM.
Kejadian nahas itu membuat rezim setempat memusuhi Hasan al-Banna dan para pendukungnya. Bahkan, pada 12 Februari 1949, sang perintis IM dibunuh seseorang yang diduga merupakan anggota biro intelijen Mesir. Dalam situasi demikian, cabang IM di Palestina pun terimbas.
Akan tetapi, tokoh-tokohnya tidak berniat menghentikan perjuangan. Mereka lantas mendirikan Jam’iyyah at-Tauhid. Organisasi ini tidak hanya berfokus pada jihad dengan persenjataan dalam melawan Zionis, tetapi juga melakukan gerakan-gerakan dakwah dan pendidikan. Semuanya sevisi dengan IM, sebagaimana dicanangkan Hasan al-Banna.
Organisasi ini tidak hanya berfokus pada jihad dengan persenjataan melawan Zionis, tetapi juga melakukan gerakan dakwah dan pendidikan.
Usai Perang 1948, Israel tidak cuma memetik kemenangan. Entitas Zionis ini mendapatkan pengakuan dari AS dan Uni Soviet—dua kekuatan adidaya kala itu. Bahkan, PBB menerima Israel sebagai anggotanya pada 11 Mei 1949 walaupun tetap enggan mengesahkan zona pendudukan Yahudi atas Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur. Dukungan untuk Palestina terutama datang dari negara-negara Dunia Ketiga, yakni yang berada nonblok alias di luar polarisasi AS-Uni Soviet.
Sejak 1956, tampil Gamal Abdel Nasser sebagai pemimpin Mesir. Sang pengusung nasionalisme Arab itu mendukung terbentuknya Liga Arab. Pada Mei 1964, Dewan Nasional Palestina (PNC) bersidang di Yerusalem untuk merealisasikan rencana Liga Arab. Organisasi Pembebasan Palestina atau Palestine Liberation Organization (PLO) pun dideklarasikan pada 2 Juni berikutnya. PLO mendapatkan dukungan sepenuhnya dari Nasser.
Pada 1967, pecah Perang Enam Hari antara aliansi Mesir, Suriah serta Yordania di satu pihak dan Israel di pihak lain. Lagi-lagi, bangsa Arab menelan kekalahan. Keterpurukan Arab dalam palagan ini menandakan babak baru PLO. Sejak itu, spirit nasionalisme Pan-Arabisme cenderung ditinggalkan. Perjuangan untuk memerdekakan Palestina didorong dari nasionalisme bangsa Palestina itu sendiri, bukan lagi “Arab bersatu.”
Momentum ini dimanfaatkan Harakat at-Tahrir al-Filasthini (Fatah). Gerakan itu dilahirkan tokoh-tokoh Palestina di Kuwait pada 1959. Semangat awalnya ialah mempersatukan seluruh diaspora Palestina, termasuk kaum akademisi, pekerja, aktivis, maupun keturunan pengungsi. Yasser Arafat tampil menjadi pemimpin faksi mayoritas di PLO tersebut.
Awalnya, Fatah memprioritaskan cara-cara gerilya bersenjata. Inspirasinya datang dari gelombang perjuangan dekolonialisasi banyak negara Dunia Ketiga, semisal Aljazair atau Kuba, kala itu. Dalam menjalankan perjuangannya melawan Israel, Fatah mulanya disokong pemerintah Yordania dan Lebanon.
Namun, Fatah kemudian dianggap sebagai gangguan dalam negeri masing-masing. Hingga akhirnya, pada 1974 Yasser Arafat mulai memprioritaskan jalur politik dan diplomasi, alih-alih terus mengandalkan perjuangan bersenjata.
Perubahan sikap Fatah ini direspons PNC, yang saat itu sudah membentuk pemerintah pengasingan (government in exile) Palestina terbentuk di Tunisia. Gagasan solusi dua negara mulai dipertimbangkan. Visi gagasan ini, Palestina dan Israel bisa hidup berdampingan sebagai dua negara yang sama-sama berdaulat. Batas-batas yang dimaklumi berdasarkan demarkasi pra-Perang 1967. Dengan demikian, wilayah Palestina Merdeka akan meliputi Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Gaza.
Bertempat di Aljir, Yasser Arafat membacakan teks Proklamasi Palestina pada 15 November 1988. Yerusalem ditetapkan sebagai ibu kota Palestina. Pada April setahun berikutnya, pria yang selalu tampil dengan keffiyeh khas ini terpilih menjadi presiden pertama negara tersebut.
Periode sejak usainya Perang 1967 dan tahun 1970 diwarnai banyak peristiwa. Yang jelas, dalam rentang waktu tersebut para simpatisan IM di Palestina tidak hanya bergabung dalam militer dan politik dengan faksi Fatah. Khususnya sejak 1968, mereka gencar membangun basis keagamaan, sosial dan pendidikan masyarakat Palestina. Caranya dengan mendirikan masjid-masjid dan madrasah-madrasah.
Buah manisnya dipetik pada 1970-an. Banyak pemuda didikan IM yang sukses menempuh studi di pelbagai kampus luar negeri, seperti Mesir, Yordania, Suriah, atau Irak. Begitu lulus, dengan tekad memajukan tanah airnya, mereka mendirikan banyak sekolah untuk rakyat di Palestina. Pelbagai yayasan pun berdiri untuk mengurus zakat, pembangunan masjid, perpustakaan, dan sebagainya.
Salah satunya adalah Pusat Keislaman atau Mujma’ al-Islamiyyah yang diinisiasi seorang aktivis IM Palestina di Gaza pada 1973. Nama sang inisiator, Ahmad Ismail Hasan Yasin, di kemudian hari dikenang sebagai tokoh penting dalam sejarah perjuangan Palestina. Sebab, dialah yang akhirnya mendirikan Hamas.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.