Narasi
Sejarah Halal Bihalal dan Elite Politik
Bung Karno menyelenggarakan halalbihalal yang diikuti oleh masyarakat secara luas.
OLEH ALI YUSUF
Tradisi halal bihalal setelah selesai Ramadhan memiliki sejarah panjang. Esensi halal bihalal dimulai oleh seorang raja yang memiliki semangat silaturahim tinggi. Dra Hj Udji Asiyah mengatakan, esensi halal bihalal dimulai oleh KGPAA Mangkunegara 1 atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa (lahir 8 April 1725).
"Setelah Idul Fitri, beliau menyelenggarakan pertemuan antara raja dan para penggawa dan prajurit secara serentak di Balai Istana," kata Dra Hj Udji Asiyah dalam bukunya "Dakwah Cerdas Ramadan, Idul Fitri, Walimatul Hajj dan Idul Adha".
Menurutnya, semua penggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Kemudian budaya ini diterima oleh masyarakat luas termasuk organisasi keagamaan dan instansi pemerintah.
"Akan tetapi itu baru kegiatannya, bukan nama dari kegiatannya. Kegiatan tersebut belum menyebutkan istilah halal bihalal meskipun esensinya sudah ada," katanya.
Para elite politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum, sementara pemberontakan terjadi di mana-mana.
Hj Asiyah mengatakan, penggagas istilah halal bihalal adalah Kiai Abdul Wahab Hasbulloh, dalam memoar KH Saifuddin Zuhri, berjudul "Berangkat dari Pesantren" juga penuturan KH Dr Masdar Farid Mas'udi (pondoktermas.com) bahwa setelah Indonesia merdeka 1945, pada 1948 Indonesia dilanda gejala disintegrasi bangsa.
"Para elite politik saling bertengkar, tidak mau duduk dalam satu forum, sementara pemberontakan terjadi di mana-mana, di antaranya DI/TII dan PKI Madiun," katanya.
Pada 1948 di pertengahan bulan Ramadhan, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah ke Istana Negara untuk dimintai pendapat dan saran dalam mengatasi situasi politik Indonesia yang tidak sehat. Kemudian KH Wahab memberi saran kepada Bung Karno untuk menyelenggarakan silaturahim. Sebab, sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri saat seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahim.
Mendengar saran itu, Bung Karno menyelak dan menyanggah pendapat KH Wahab itu. "Silahturahim kan biasa, saya ingin istilah yang lain," kata Bung Karno. Dengan tegas KH Wahab menjawab, "Itu gampang."
"Begini Bung," kata KH Wahab. "Para elite politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa maka harus dihalalkan."
Jadi, kata KH Wahab, mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalkan. Saat silaturahim nanti kita pakai istilah halal bihalal.
Dari saran KH Wahab itulah, kemudian Bung Karno pada Idul Fitri saat itu mengundang semua tokoh politik untuk datang ke Istana Negara menghadiri silaturahim yang diberi judul halal bihalal. Dan akhirnya mereka bisa duduk dalam satu meja, sebagai babak baru untuk menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Sejak saat itulah instansi pemerintah yang merupakan orang-orang Bung Karno menyelenggarakan halal bihalal yang kemudian diikuti juga oleh warga masyarakat secara luas, terutama warga Muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama. Jadi Bung Karno bergerak lewat instansi pemerintah, sementara KH Wahab menggerakkan warga dari bawah. "Jadilah halal bihalal sebagai kegiatan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri seperti sekarang," katanya.
Namun, kata Hj Asiyah, istilah halal bihalal ini secara nyata dicetuskan oleh KH Wahab dengan analisis pertama "thala bu halal bi thariqin halal" adalah mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan.
Atau dengan analisis kedua "halal yujza'u bi halal" adalah pembebasan kesalahan dibalas pula dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan. "Dan ini juga menjadi bukti nyata bahwa halal bihalal merupakan produk asli Indonesia," katanya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.