Opini
Bencana NTT dan Mitigasi 4.0
Teknologi big data memperkuat mitigasi bencana berdasarkan dampak dan peringatan berdasarkan risiko.
HEMAT DWI NURYANTO, Wakil Ketum IABIE, Lulusan Universite de Toulouse Prancis
Bencana alam yang melanda Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB) karena anomali cuaca. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, hal itu sudah diprediksi sebelumnya.
Bencana alam terjadi bergantian di wilayah Indonesia. Rentetan bencana harus menyadarkan kita pentingnya sistem mitigasi yang tangguh. Buruknya mitigasi selama ini diperparah tiadanya manajemen krisis pemerintah daerah.
Akibatnya, pemda menjadi lumpuh dan tidak berdaya menangani dampak bencana. Karena lemahnya sistem mitigasi pemda kehilangan kendali usai terjadi bencana.
Rentetan bencana harus menyadarkan kita pentingnya sistem mitigasi yang tangguh.
Perkembangan teknologi internet of things (IoT) dan big data sangat membantu mitigasi menjadi semakin efektif dan lebih akurat. Penggunaan teknologi tersebut bisa mewujudkan mitigasi 4.0 yang sangat berarti untuk mereduksi risiko bencana alam.
Dengan menggunakan big data dan IoT, sistem peringatan dini bencana banjir bisa lebih baik. Pengendalian arus air untuk penanggulangan banjir dapat dilakukan lebih cepat sesuai kapasitas bencana yang dapat terukur.
Kesadaran global akan kebencanaan kian meningkat sejak perubahan iklim mencuat. Kerangka kerja global oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk pengurangan risiko bencana tertuang dalam Kesepakatan Paris (2015).
Badan-badan PBB mendorong penerapan metode baru. Dengan metode baru itu, mitigasi tidak berhenti sekadar menginformasikan prakiraan dan peringatan dini tetapi juga menghitung potensi keterpaparan dan kerentanan wilayah terdampak.
Berbagai aspek di atas tidak bisa dilakukan dengan pengamatan manual.
Prinsip-prinsip penanggulangan bencana, antara lain, cepat dan tepat, prioritas, koordinasi dan keterpaduan, berdaya guna dan berhasil guna.
Penanganan bencana merupakan tanggung jawab dari pemerintah pusat dan daerah. Prinsip-prinsip penanggulangan bencana, antara lain, cepat dan tepat, prioritas, koordinasi dan keterpaduan, berdaya guna dan berhasil guna.
Menurut UU No 24 Tahun 2007 tujuan utama penanggulangan bencana adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana dan menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh.
Pelaksana penanggulangan bencana menurut UU adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Badan ini butuh data akurat saat bencana terjadi agar bisa melakukan penanggulanan cepat, tepat, terkoordinasi dengan lembaga pemerintah terkait.
Bencana alam yang terus terjadi merupakan peringatan agar kita selalu menyempurnakan sistem mitigasi dan mekanisme tanggap darurat secara cepat dan tepat dengan bantuan teknologi terkini.
Teknologi big data semakin dibutuhkan guna memperkuat mitigasi bencana berdasarkan dampak dan peringatan berdasarkan risiko. Big data adalah kumpulan data berukuran sangat besar yang akan dianalisis atau diolah lagi untuk keperluan tertentu.
Teknologi big data semakin dibutuhkan guna memperkuat mitigasi bencana berdasarkan dampak dan peringatan berdasarkan risiko.
Misalnya, membuat keputusan, prediksi, dan lainnya. Big data juga membantu inisiatif untuk menyediakan open data yang mendukung mekanisme mitigasi dan penanganan pascabencana. Ini jadi salah satu alat guna membantu para relawan tanggap darurat.
Dengan memberikan informasi geospasial terkini dan akurat, program tanggap darurat dan rekonstruksi pascabencana bisa dilakukan dengan baik.
Platform data geospasial semacam OpenStreet Map, yaitu proyek pemetaan yang bersifat open source memungkinkan untuk memperkirakan tingkat kerusakan dengan cepat dan memonitor pelaksanaan penanggulangan bencana.
Kompleksitas penanganan bencana alam yang terjadi di Tanah Air membutuhkan sistem informasi dan ketersediaan peta bencana, berbasis sistem informasi geografis (SIG) serta terintegrasi dengan sistem e-government pemda.
Terhambatnya arus informasi di daerah bencana bisa menyebabkan data korban simpang siur, informasi kebutuhan pengungsi tidak jelas, tindakan medis terhadap korban terlambat, dan penyaluran bantuan menjadi kalang kabut.
Sistem informasi bencana alam harus terpadu dengan sistem e-government pemda dan memenuhi ketentuan International Strategy for Disaster Reduction (ISDR), dengan empat tahapan, yakni tahap tanggap darurat, rekonstruksi dan rehabilitasi, preventif dan mitigasi, dan tahap kesiapsiagaan.
Untuk mewujudkan mitigasi 4.0 diperlukan sinkronisasi dengan sistem data kependudukan dan permukiman.
Kepala daerah sebagai penanggung jawab penanganan bencana, mestinya memiliki sistem pendukung pengambilan keputusan alias decision support system (DSS) bencana alam.
Dukungan sistem informasi pascabencana alam sangat diperlukan untuk memperlancar identifikasi korban, juga kerugian materi dan infrastruktur. Ini juga bisa menjadi suatu pertimbangan pengambilan keputusan guna langkah merehabilitasi pascagempa.
Untuk mewujudkan Mitigasi 4.0 diperlukan sinkronisasi dengan sistem data kependudukan dan permukiman, seperti jumlah rumah, data infrastruktur, dan kawasan di daerah tersebut.
Nantinya, dapat dibuat sistem informasi geografis informasi sebelum dan sesudah bencana dengan melakukan overlay sehingga dengan tepat dan cepat jumlah kerugian jiwa, materi, dan sarana-prasarana di daerah bencana dapat ditentukan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.