Kabar Utama
Cina Hendak Mediasi Israel-Palestina
Palestina menyambut baik tawaran Cina sebagai juru damai.
BEIJING — Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) dilaporkan akan mengambil inisiatif perdamaian Palestina-Israel. Kedua pihak akan diundang ke Cina untuk membicarakan prospek perdamaian ke depannya.
Hal tersebut disampaikan Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi dalam wawancaranya dengan saluran televisi Dubai, al-Arabiya, kemarin. Wawancara itu dilangsungkan seturut agenda kunjungan Wang ke Timur Tengah pekan ini.
"Kami akan mengundang tokoh dari Israel dan Palestina untuk melakukan pembicaraan di Cina," kata Wang Yi dalam wawancara tersebut. Pejabat Cina itu tidak memberikan perincian lebih lanjut tentang rencana Beijing untuk mengadakan pembicaraan mengenai masalah Palestina dan Israel.
Wang memulai tur Timur Tengah dan dijadwalkan mengunjungi Arab Saudi, Turki, Iran, UEA, Bahrain, dan Oman.
Sejauh ini, menurut the Jerusalem Post, Wang Yi belum melayangkan permohonan resmi terkait rencana itu ke pihak Israel. Baik Kantor Perdana Menteri Israel maupun Kementerian Luar Negeri Israel menyatakan belum menerima informasi tersebut.
Meski begitu, pihak Palestina menyambut baik penawaran Cina untuk menjadi tuan rumah yang akan mempertemukan para pemimpin Palestina dan Israel. Anggota Komite Eksekutif Organiasasi Pembebasan Palestina, Wasel Abu Yousef, memuji posisi resmi Cina dalam masalah Palestina.
Berbicara kepada Anadolu Agency, Yousef memuji Beijing karena mendukung pembentukan negara Palestina di tanah yang diduduki Israel sejak 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Namun, Yousef menekankan, prioritas kepemimpinan Palestina adalah mengadakan konferensi internasional untuk perdamaian berdasarkan legitimasi dan resolusi internasional.
Negosiasi antara Palestina dan Israel telah terhenti sejak April 2014. Negosiasi terhenti karena Israel menolak untuk membebaskan tahanan Palestina, menghentikan kegiatan pembangunan permukiman ilegal di wilayah pendudukan, dan menerima perbatasan sebelum perang Juni 1967 sebagai dasar untuk solusi dua negara.
Sementara, para pemimpin Palestina telah berulang kali menyuarakan penentangan terhadap upaya mediasi yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS). Penolakan ini disebabkan sikap bias Washington terhadap Israel, utamanya setelah Presiden Donald Trump memindahkan Kedutaan Besar AS untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem pada 2017 lalu. Pemindahan kedutaan besar itu memicu aksi unjuk rasa yang berujung gugurnya puluhan syuhada dari kubu Palestina.
Selain pemindahan kedutaan besar tersebut, posisi Amerika Serikat sebagai penengah juga tercoreng selepas negara itu berhasil mendorong normalisasi hubungan antara Israel dengan sejumlah negara Arab, seperti Bahrain, UEA, serta Sudan tahun lalu. Normalisasi itu dinilai menyalahi kesepakatan Liga Arab bahwa hubungan diplomatik dengan Israel hanya bisa dipulihkan setelah Palestina merdeka.
PBB, Amerika Serikat, Rusia, dan Uni Eropa sebeumnya juga telah bertemu secara virtual, Selasa (23/3). Mereka membahas kemungkinan untuk mengaktifkan kembali perundingan damai Israel dan Palestina yang terhenti sejak 2014.
Empat pihak yang dikenal sebagai mediator kuartet ini menyatakan, para utusan membahas kembalinya perundingan yang berarti yang akan mengarah pada solusi dua negara, termasuk langkah nyata mencapai kebebasan, keamanan, dan kesejahteraan bagi rakyat Palestina dan rakyat Israel.
Pada Januari 2021, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sempat mengatakan, ada harapan untuk mengakhiri konflik Israel dan Palestina, setelah sekian lama buntu. Tanpa menyebut pemerintahan AS saat di bawah mantan presiden Donald Trump, Guterres mengatakan, “Kita sebelumnya terkunci dalam situasi tanpa melihat adanya kemajuan.”
Kondisi sulit
Sementara, Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh mengatakan, hasil awal dari jajak pendapat parlemen Israel tidak menunjukkan prospek perdamaian antara Palestina dan Israel. Shtayyeh juga mengatakan bahwa hasil jajak pendapat menunjukkan dominasi sayap kanan dalam politik Israel.
"Agenda politik dari partai-partai pemenang dalam pemilihan Israel menunjukkan bahwa tidak akan ada mitra politik untuk Palestina dalam proses perdamaian," ujar Shtayyeh, dilansir Anadolu Agency, Kamis (25/3).
Menurut hasil awal yang diumumkan media Israel Selasa (23/3) malam, Partai Likud yang dipimpin oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memenangkan 30 kursi di parlemen. Jajak pendapat menunjukkan bahwa kubu Netanyahu, yang terdiri dari Partai Likud dan sekutu, gagal memenangkan 61 kursi di Knesset yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan. Partai Likud hanya mampu mengamankan 59 kursi di Knesset.
Shtayyeh meminta komunitas internasional untuk menghentikan serangan Israel di atas tanah dan properti Palestina. Dia menegaskan, Palestina siap menjadi mitra dalam proses perdamaian yang serius dan nyata.
Laporan the Jerusalem Post menyebut, sebanyak dua dari tiga jajak pendapat menunjukkan bahwa blok Likud, Shas, United Torah Yudaism (UTJ), dan Partai Zionis Religius menerima cukup dukungan bersama dengan Partai Yamina milik Naftali Bennett.
Netanyahu menyatakan di Twitter bahwa dia telah memperoleh kemenangan besar. Dia menelepon Naftali Bennett yang mengatakan kepadanya bahwa sedang menunggu hasil akhir.
Sumber di Partai Likud mengatakan, Netanyahu akan mencoba membentuk pemerintahan secepat mungkin. Netanyahu juga memanggil para pemimpin lain di kamp politiknya dan meminta mereka untuk bergabung dengan pemerintah sayap kanan yang kuat.
Tingkat partisipasi pemilih hanya 67,2 persen, turun 4,3 persen sejak pemilu Maret lalu. Pada kesempatan itu, warga Israel yang memberikan suara mencapai 71,5 persen dan terendah dari empat pemilu dalam dua tahun terakhir.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.