Opini
Mengambil Hikmah dari Kerugian Bisnis Miras di Inggris
Biaya risiko lebih besar dibandingkan keuntungan bisnis miras. Negara merugi akibat miras.
ROYYAN R DJAYUSMAN; PhD Student Kingston University London, Awardee Beasiswa 5000 Doktor Kemenag RI, Dosen Universitas Darussalam Gontor
Pada Februari lalu peluang investasi minuman keras (miras) melalui terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal ramai dibicarakan. Pemerintah menargetkan beberapa provinsi menjadi objek investasi bisnis minuman haram tersebut, seperti Bali, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, dan Papua.
Namun, masyarakat berbondong-bondong menolak kebijakan yang dianggap sebagai pembuka gerbang dosa dan berpotensi menghancurkan moral bangsa. Bahkan masyarakat Papua, provinsi yang menjadi sasaran investasi Miras, menolak keras kebijakan ini, karena dinilai sangat merugikan mereka.
"Kami menolak dengan tegas. Jika mau investasi di Papua, silakan, tapi bawa yang baik-baik. Jangan bawa yang membunuh generasi muda Papua," kata anggota Kelompok Kerja Agama MRP, Dorius Mehue, yang juga ketua Persekutuan Wanita Gereja Kristen Indonesia (PW GKI) Papua, sebagaimana diberitakan Republika pada Jumat (26/2). MRP adalah majelis yang diamanatkan UU Otonomi Khusus Papua dan harus dimintai persetujuannya terkait kebijakan-kebijakan di Papua.
Mengetahui penolakan datang bertubi-tubi, Presiden Joko Widodo merespons dengan mencabut aturan investasi minuman keras miras dalam peraturan yang dibuatnya tadi. "Saya putuskan, lampiran perpres terkait pembukaan investasi baru dalam industri minuman keras yang mengandung alkohol saya nyatakan dicabut," ujar Jokowi dalam keterangannya, sebagaimana diberitakan Republika pada 2 Maret 2021.
Sekarang kita perlu mengungkap motivasi bisnis miras berikut pertimbangan kemungkinan beban biayanya. Hal ini berdasarkan pengalaman negeri yang menghalalkan bisnis ini: Inggris, bagian dari Eropa, benua yang menjadi tempat miras diproduksi dan dijual bebas.
Motivasi utama, yang tampaknya 'resmi', dan terucap adalah peningkatan daya saing investasi. Artinya, investasi akan menstimulus bidang usaha baru (miras), membuka lapangan pekerjaan, meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB), dan menambah pemasukan negara. Hal ini mungkin tampak rasional dan cukup beralasan, mengingat kas negara yang semakin menipis, sehingga perlu segera mencari ‘tambahan’. Inilah yang dijadikan kesempatan bagi para pendukung industri miras (iras).
Sebagai calon pendatang baru, Indonesia perlu melakukan studi banding ke negara yang lebih berpengalaman. Salah satunya, Inggris yang 2,5 persen PDB-nya disumbang dari bisnis miras, menurut laporan riset Institute of Alcohol Studies UK tahun 2017. Angka ini menunjukkan potensi profit dan pemasukan negara dari industri miras.
Porsi ini, jika dibandingkan dengan PDB Indonesia, hampir setara porsi industri jasa akomodasi, dan makan minum, sekitar 2,6 persen pada tahun 2020 (Badan Pusat Statistik). Artinya, secara kasat mata, kemudahan mendapatkan miras di Inggris dapat diibaratkan hampir sama dengan menemukan hotel, restoran dan rumah makan di Tanah Air.
Namun, perbandingan yang juga menarik adalah hitungan biaya risiko miras. Laporan resmi pemerintah Inggris yang diterbitkan oleh Public Health of England, yang berjudul ‘The Public Health Burden of Alcohol and the Effectiveness and Cost-Effectiveness of Alcohol Control Policies’ tahun 2018, menyebutkan estimasi biaya untuk menanggulangi dampak negatif konsumsi miras yaitu sekitar 1,3-2,7 persen dari PDB. Angka ini hampir imbang yang disumbang oleh sektor ini sebesar 2,5 persen.
Beban biaya tersebut dihitung berdasarkan estimasi biaya pengobatan penyakit akut akibat miras, biaya penanganan kriminal, penyimpangan sosial, kerugian atas berkurang/hilangnya produktifitas di dunia kerja, dan permasalahan/kekerasan di rumah tangga. Semua ini menunjukkan potensi beban biayanya adalah hampir setara bahkan berpotensi lebih besar daripada kontribusi 'ekonomi' yang disumbangkan pada PDB.
Penghitungan di atas belum termasuk biaya sosial lainnya seperti pengangguran dan kematian, yang tentunya tak ternilai. Selain itu, berdasarkan laporan yang sama, kecanduan alkohol merupakan penyebab kematian tertinggi pada usia produktif 15-49 tahun di Inggris. Jadi, beban biaya kerugian negara tidak hanya atas risiko di atas, tapi juga atas kehilangan daya saing dan masa depan generasi mudanya.
Kecanduan alkohol merupakan penyebab kematian tertinggi pada usia produktif 15-49 tahun di Inggris.
Jadi, utilitas (kepuasan) dari investasi miras adalah satu minus lima (1-5). Artinya, satu poin dampak positif, yaitu pertumbuhan ekonomi, dan minus lima poin untuk efek negatif pada kesehatan, kriminalitas, pengangguran, kekerasan rumah tangga, dan yang tak ternilai, risiko kehidupan. Sehingga hasilnya mungkin tidak lagi minus empat (-4), bahkan menjadi minus 'tak terhingga' (∞) karena risiko kehilangan nyawa belum dapat dihitung dengan kurs apapun, termasuk bitcoin.
Maka dari itu, motivasi ekonomi atas investasi miras yang awalnya, tampak rasional, mungkin akan menjadi irasional (iras-ional, red) setelah menghitung biaya risiko di atas.
Ketika negara Barat yang telah jauh lebih dahulu bergelut dengan industri miras, tampak mulai bingung dan 'kewalahan' menanggung tingginya beban biaya dari 'bencana' sosialnya. Negara kita: Indonesia sudah tepat dan tidak perlu terpukau, mengikuti negara lain yang menggencarkan investasi miras: investasi yang membayakan rakyatnya. Investasi semacam ini adalah jalan fatamorgana, yang justru 'sebenarnya' telah terbukti berujung semu, bahkan buntu.
Kebijakan menolak investasi miras harus terus diawasi. Kita semua dengan dukungan tokoh agama, ulama, pemerintah, dan pengusaha, yang memedulikan nasib dan akhlak, harus menjaga keberlangsungan bangsa ini, dari investasi miras yang terkutuk.
Lihat postingan ini di Instagram
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.