IKHWANUL KIRAM MASHURI | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Sepuluh Tahun Revolusi Arab

Kemarahan rakyat melawan penguasa zalim itu dikenal dengan Revolusi Arab.

Oleh IKHWANUL KIRAM MASHURI

OLEH IKHWANUL KIRAM MASHURI 

Kebebasan, keadilan, roti, dan harga diri. Empat kata itu, 10 tahun lalu bagaikan ‘mantra’ yang mampu menggerakkan jutaan rakyat di sejumlah negara Arab turun ke jalan, menentang rezim penguasa zalim.

Kemarahan rakyat melawan penguasa zalim itu dikenal dengan Revolusi Arab. Pengamat Barat menyebutnya The Arab Spring. Media Arab latah menamainya al Rabi’ al Araby. Revolusi Arab mula-mula di Tunisia, negeri Afrika Utara berpenduduk 11 juta jiwa.

Seorang pemuda pedagang kaki lima, Muhammad Bouazizi, membakar diri pada 17 Desember 2010. Ia memprotes barang dagangannya disita Satpol PP yang disertai penghinaan. Pembakaran diri Bouazizi tersiar ke seantero negeri. Rakyat murka.

Unjuk rasa besar-besaran, menjelma revolusi rakyat. Bouazizi simbol rakyat, yang sumpek pada kondisi ekonomi buruk, kesewenangan rezim penguasa. Akhirnya, Presiden Tunisia Zainul Abidin bin Ali mundur pada 14 Januari 2011, mengakhiri 23 tahun kekuasaannya.

 
Hal menarik, negara yang diterjang revolusi bukanlah monarki, melainkan republik yang dipimpin presiden.
 
 

Ia dan keluarganya melarikan diri ke Arab Saudi, takut amuk massa. Revolusi rakyat Tunisia menjalar ke negara Arab lain. Di Mesir, amuk massa menjungkalkan Presiden Hosni Mubarak pada 11 Februari 2011 dan mengakhiri 30 tahun kekuasaannya.

Di Yaman, revolusi memaksa Presiden Ali Abdullah Saleh mundur setelah berkuasa 34 tahun. Di Libya, pemimpin besar Muammar Khadafi ditangkap dan dibunuh pada 20 Oktober 2011, menyusul huru-hara dan aksi unjuk rasa besar-besaran. Khadafi berkuasa 44 tahun.

Di Suriah, revolusi belum berhasil melengserkan Presiden Bashar al-Assad. Ia menghadapi aksi unjuk rasa dengan mengerahkan pasukan. Ia menolak mundur bahkan mengundang kekuatan asing untuk mendukungnya. Perang saudara tak terhindarkan.

Kondisi ini dimanfaatkan kelompok teroris. ISIS sempat menguasai wilayah luas di Suriah, sebelum dihancurkan pasukan asing. Hal menarik, negara yang diterjang revolusi bukanlah monarki, melainkan republik yang dipimpin presiden.

 
Kondisi ini dimanfaatkan kelompok teroris. ISIS sempat menguasai wilayah luas di Suriah, sebelum dihancurkan pasukan asing.
 
 

Namun, mereka berkuasa lebih lama dari raja, sultan, dan emir. Hosni Mubarak, Ali Abdullah Saleh, dan Muammar Khadafi berkuasa lebih dari 30 tahun. Bahkan, sebelum digulingkan, mereka merencanakan, menurunkan kekuasaan ke anak-anaknya.

Presiden Mubarak mengader anaknya, Gamal Mubarak. Khadafi menggadang-gadang putranya, Saiful Islam. Begitu juga Ali Abdullah Saleh dan Zainul Abidin bin Ali. Bashar al-Assad, putra almarhum Presiden Hafid al-Assad.

Assad sang bapak berkuasa 29 tahun, lalu Assad yang anak menggantikannya sejak 2000.

Kini 10 tahun revolusi Arab berlalu. Musim Semi Arab tampaknya masih ‘jauh panggang dari api’. Banyak rakyat Arab masih senasib Bouazizi. Di Suriah, rakyat bertambah sengsara. Bashar al-Assad masih mencengkeram kekuasaan.

Di Yaman, perang masih berlangsung, antara pemerintah yang didukung Saudi plus Uni Emirat Arab dan kelompok Houthi, yang disokong Iran. Di Libya, pemerintahan yang stabil belum terbentuk. Begitu juga di Mesir.

Hanya Tunisia yang dianggap berhasil menerapkan demokrasi, tetapi sangat gaduh. Saking gaduhnya, dalam 10 tahun sejak Revolusi 2011, sudah berganti lima presiden dan sembilan perdana menteri. Mereka tak mampu meyakinkan bahwa Tunisia akan lebih baik.

 
Hanya Tunisia yang dianggap berhasil menerapkan demokrasi, tetapi sangat gaduh.
 
 

Maka itu, bertepatan dengan 10 tahun revolusi, rakyat Tunisia memperingatinya dengan aksi unjuk rasa besar-besaran selama berhari-hari. Aksi unjuk rasa di ibu kota Tunis dan beberapa kota besar lainnya itu disertai kerusuhan dan kekerasan.

Mereka memprotes kondisi ekonomi yang memburuk dan pengangguran yang meningkat, sementara elite politik dan penguasa justru terasing dari rakyatnya. Para pendemo itu jelas membawa pesan, rakyat Tunisia kini apatis terhadap para politikus.

Menurut para pengamat setempat, persoalan Tunisia sekarang ini pada konstitusi yang tak memberi kewenangan jelas, baik kepada presiden, pemerintahan (PM), maupun parlemen.

Konstitusi yang dibuat setelah revolusi ini sebenarnya bertujuan baik: membatasi kekuasaan masing-masing lembaga negara agar tak terjadi kekuasaan mutlak. Namun, pembagian kekuasaan yang tidak jelas, justru memunculkan pertikaian politik.

Kasus terakhir terjadi pada PM Hichem Mechichi, yang menggantikan PM sebelumnya, Elyes Fakhfakh, yang mengundurkan diri karena diduga terlibat konflk kepentingan.

 
Revolusi rakyat 10 tahun lalu memang berhasil menjungkalkan rezim diktator. 
 
 

Yang menunjuk Mechichi jadi PM adalah Presiden Kais Saied, setelah partai pemenang pemilu di parlemen gagal berkoalisi membentuk pemerintahan. Namun, untuk membentuk kabinet, PM Mechichi harus mendapat persetujuan parlemen.

Setelah pemerintahan PM Mechichi berjalan beberapa bulan, muncul persoalan ketika ia ingin mengganti sejumlah menteri, untuk menjawab tuntutan pengunjuk rasa. Namun, Presiden Kais Saied menolak pergantian itu.

PM Mechichi meminta dukungan parlemen, tetapi sang presiden mengancam tak akan melantik menteri baru, yang disetujui parlemen. Kini, terjadi ‘adu kekuatan’ antara presiden, parlemen, dan PM.

Presiden dan anggota parlemen sama-sama dipilih rakyat, yang menjadi korban tetaplah rakyat yang justru memilih mereka. Revolusi rakyat 10 tahun lalu memang berhasil menjungkalkan rezim diktator. Penguasa berganti, yang tak berubah adalah nasib rakyat. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat