Tema Utama
India di Mata al-Biruni
Menurut al-Biruni, ilmuwan Muslim abad pertengahan ini, India memiliki khazanah peradaban yang kaya.
OLEH HASANUL RIZQA
Kajian yang dilakukan Abu Rayhan al-Biruni (973-1050) mengenai India terangkum dalam karya monumentalnya, Kitab fii Tahqiq maa li’l Hind min Ma’qulatin Maqbulatin fil ‘Aql aw Mardhula. Kitab al-Hind, demikian singkatnya, ditulis berdasarkan pengalaman dan pengamatannya langsung tatkala menetap di India selama beberapa tahun.
Pada waktu itu, dirinya turut serta dalam rombongan Sultan Mahmud al-Ghaznawiyah, sang raja Muslim yang berhasil menaklukkan sebagian Anak Benua India pada awal abad ke-11.
Hingga 800 tahun sejak pertama kali diterbitkan, Kitab al-Hind menjadi satu-satunya buku yang secara gamblang, ilmiah, dan lengkap mendeskripsikan India. Karya tersebut mulai diterima secara luas masyarakat Eropa sejak diterjemahkan oleh seorang orientalis, Edward C Sachau, ke dalam bahasa Jerman dan kemudian Inggris pada akhir abad ke-19.
Kalangan orientalis itu mendapati, cara penulisan yang dipakai al-Biruni tak ubahnya metode ilmiah umumnya sejarawan era modern. Artinya, sang sarjana Muslim dapat dikatakan telah mendahului zamannya.
Kalangan orientalis itu mendapati, cara penulisan yang dipakai al-Biruni tak ubahnya metode ilmiah umumnya sejarawan era modern.
Vinay Kumar Gupta dalam artikelnya, “India as Described by al-Biruni” (2015) menjelaskan, al-Biruni dapat berkomunikasi dengan banyak bahasa, termasuk Sanskerta. Alhasil, ilmuwan dari masa keemasan Islam itu bisa mengakses berbagai teks dari manuskrip-manuskrip kesusastraan India klasik, seperti Bhagavad Gita, Puranas, Sank, dan Patangal. Berbagai kutipan yang berasal dari teks-teks tersebut bertebaran dalam Kitab al-Hind karyanya.
Gupta mengatakan, al-Biruni “hanya” mengunjungi daerah-daerah di India utara yang telah dikuasai Raja Mahmud. Luasnya mencakup wilayah yang kini menjadi Pakistan modern.
Memang, bagi bangsa Arab dan Persia terminologi al-Sind merujuk pada daerah sekitar aliran Sungai Indus, yang membelah India utara dan Pakistan. Bagaimanapun, deskripsi yang disajikan dalam Kitab al-Hind cukup komprehensif.
Sebagai contoh, di dalamnya sang penulis menyebut sejumlah distrik, yakni Vanga, Pragjyotisha, dan Lohita—yang berturut-turut adalah Bengal, Assam, dan Arunachal Pradesh kini. Ia memastikan, ketiganya sebagai bagian dari keseluruhan Anak Benua India. Bahkan, al-Biruni tak melewatkan penjelasan mengenai India selatan, termasuk negeri Sri Lanka yang terletak di Pulau Sailan.
Untuk menyelesaikan bukunya, sosok yang namanya kini diabadikan sebagai sebuah kawah di bulan itu mengandalkan para informan, yakni tokoh-tokoh setempat atau warga lokal yang ditemuinya. Ia pun mendapatkan beragam narasi berdasarkan informasi yang diperolehnya. Dari situ, al-Biruni lebih lanjut memilah, mana informasi-informasi yang memang faktual dan mana yang sangat kental nuansa fiktifnya.
Sebagai contoh, dalam Kitab al-Hind, dijelaskan fakta historis bahwa dahulu pengaruh agama Buddha cukup pesat di utara India. Syiar agama yang dicetuskan Siddhartha Gautama (lahir sekira abad keenam sebelum Masehi) itu pada masa lalu sampai di Mesopotamia, Khurasan, dan bahkan perbatasan Suriah.
Namun, pada akhirnya pengaruh Buddha terkalahkan oleh datangnya agama baru, yakni Majusi atau Zoroastrianisme. Sejak penguasa Persia memeluk Majusi, persebaran agama Buddha pun terus menyusut di Asia Barat hingga terhenti di sekitaran timur Balkh (Afghanistan) saja.
‘Tuhan Yang Satu’
Istilah Hindu pada mulanya merujuk pada situasi geografis semata, yakni kawasan di seberang timur Sungai Indus. Dikatakan “timur” karena pemakai terminologi itu adalah bangsa Persia yang menghuni Dataran Tinggi Iran khususnya pada abad keenam SM. Bila dilihat dari Iran, maka India terletak di sebelah timurnya.
Berabad-abad kemudian, konotasi Hindu mulai melebar, yakni istilah yang merujuk pada “kepercayaan” masyarakat India. Mereka, secara garis besar, terpilah antara yang terpelajar—bisa membaca dan menulis—dan yang awam. Kaum terpelajarnya mengkaji teks-teks rapalan. Pemaknaan atas teks itu melahirkan tradisi religiositas turun-temurun.
Al-Biruni menyebut golongan terpelajar itu sebagai kaum Brahmana. Ia menemukan bahwa masyarakat India memberlakukan sistem kasta. Ada empat kasta utama, yakni—mulai dari yang tertinggi hingga terendah—Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.
Di bawah Sudra, terdapat kelompok Antyaja yang terbagi lagi ke dalam delapan kelas berdasarkan mata pencahariannya: tukang tempa, tukang sepatu, penghibur, pembuat perkakas rumah tangga, pelaut, nelayan, tukang jahit, dan pemburu.
Al-Biruni juga menegaskan, kasta Brahmana yang diamatinya itu sesungguhnya mengimani Tuhan yang satu.
Al-Biruni juga menegaskan, kasta Brahmana yang diamatinya itu sesungguhnya mengimani Tuhan yang satu, bukan politeisme atau banyak dewa-dewi sebagaimana keyakinan kasta-kasta di bawahnya. Kesimpulan itu diambilnya berdasarkan pembacaan atas teks-teks Sanskerta yang ditelitinya serta observasinya terhadap kaum Brahmana sendiri. Bahkan, teks-teks Hindu itu kemudian diterjemahkannya ke dalam bahasa Arab dan Persia.
Dalam menuturkan tentang komunitas itu, dirinya cenderung menghindari pendekatan polemis, melainkan simpatik terhadap mereka. Caranya dengan membandingkannya dengan perspektif Islam.
Alquran berulang kali mengajak atau bahkan menyuruh umat manusia untuk menggunakan akal dan pikirannya, merenungi luasnya alam semesta dan diri mereka sendiri. Kemampuan—atau kemauan—untuk merenung itu, menurut al-Biruni, hanya dilakukan segelintir orang dalam sebuah kaum atau bangsa. Mereka itulah yang disebut kalangan terpelajar.
Ia menemukan, di India kaum Brahmana berbeda daripada kasta-kasta di bawahnya. Mereka berpikir melampaui materi atau apa-apa yang terdeteksi oleh panca-indra. Dengan perkataan lain, mereka meyakini eksistensi Yang Gaib, Sang Pencipta segalanya. Iman kepada Yang-Tak-Terindra itu tidak dapat meresap pada diri kolektif orang-orang awam, yakni tiga kasta di bawahnya. Dan, itu pula yang mengawali penyembahan terhadap berhala-berhala.
Masih terkait kaum Brahmana, al-Biruni meneliti teks-teks tertulis cerita kuno setempat atau yang disebut sebagai purana. Minatnya juga besar dalam mengkaji teks dengan sosok penulis yang jelas (non-anonim), yakni smriti. Ada sebanyak 18 purana dan 20 smriti yang dijelaskannya dalam Kitab al-Hind.
Peradaban tinggi
Menurut Gupta, ada satu hal menarik dari tulisan al-Biruni. Sebab, sarjana Muslim abad pertengahan itu juga menyebut naskah purana berjudul Brahmavaivarta dan Varaha. Padahal, keduanya dianggap para peneliti kesusastraan India sebagai komposisi yang muncul belakangan, yakni abad ke-16.
Maka, kemunculan nama dua naskah tersebut masih menjadi tanda tanya bagi para peneliti kini. Tentunya, al-Biruni juga menjelaskan secara detail epos Mahabharata. Ia mengatakan, teks tersebut terdiri atas 100 ribu sloka yang kemudian terbagi lagi dalam 18 bagian (parva).
Al-Biruni memuji India sebagai sebuah negeri dengan peradaban yang tinggi. Pelbagai khazanah keilmuan dapat dijumpai di sana. Ilmuwan kelahiran Khwarezm (Uzbekistan) itu menjelaskan beberapa disiplin yang dikembangkan para terpelajar setempat.
Al-Biruni memuji India sebagai sebuah negeri dengan peradaban yang tinggi. Pelbagai khazanah keilmuan dapat dijumpai di sana.
Terkait astronomi, misalnya, ia menyebutkan naskah Surya-siddhanta yang berasal dari abad keenam SM. Manuskrip yang belakangan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Ebenezer Burgess pada 1860 itu menyatakan bahwa alam semesta berbentuk bola. Namun, berbeda dengan realitas faktual, Surya meyakini bahwa matahari berputar mengitari bumi.
Yang fenomenal, naskah dari peradaban India itu menghitung diameter bumi sebesar 8.000 mil, sedangkan perhitungan modern menemukan angkanya yakni 7.928 mil. Al-Biruni sendiri terkenal sebagai ilmuwan pertama yang secara presisi menghitung keliling bumi.
Menurutnya, jari-jari bumi itu mencapai 6.339,6 kilometer. Hasilnya itu hanya kurang 16,8 kilometer dari nilai perkiraan ilmuwan modern. Untuk sampai pada kesimpulannya, ia menggunakan perhitungan trigonometri yang didasarkan pada sudut antara daratan si pengamat dan puncak gunung.
Dalam Kitab al-Hind, ia juga menyebut pencapaian peradaban India dalam bidang kesehatan. Contohnya adalah kitab yang disusun Charaka. Sosok India yang lahir 100 tahun SM itu turut berkontribusi dalam menyusun Ayurveda, yakni sistem pengobatan tradisional India Kuno.
Karyanya termaktub dalam Charaka Samhita. Masih banyak lagi bidang-bidang lain yang diceritakannya sebagai produk kebudayaan India. Satu di antaranya adalah kisah Pancatantra yang secara harfiah berarti ‘lima ajaran’. Ciri khasnya adalah pengisahan disampaikan dalam bentuk cerita berbingkai dan banyak mengandung fabel-fabel.
Sistem Bilangan India Kuno
Hingga akhir hayatnya, al-Biruni merupakan seorang ilmuwan yang produktif menulis. George Saliba dalam Dictionary of the Middle Ages (1980) menyatakan, ada 95 buku yang dapat dipastikan sebagai karya sarjana Muslim berkebangsaan Persia itu. Berbagai topik dibicarakannya dalam buku-buku buah tangannya itu. Salah satu fokus kajiannya adalah matematika.
Saat berkesempatan menjelajahi India, ia menemukan bahwa masyarakat setempat memiliki tradisi ilmu pengetahuan yang luar biasa. Bahkan, peradaban India telah memiliki sistem bilangan tersendiri yang lebih praktis daripada, umpamanya, sistem angka Romawi. Pembicaraan tentang itu dijelaskannya dalam dua karyanya, Kitab al-Arqam dan Tazkira fii al-Hisab wa al-Madd bi al-Arqam al-Sind wa al-Hind.
Ia menemukan bahwa bangsa India menggunakan cara berhitung yang disebut sebagai anka. Itu umumnya dipakai kaum Brahmana, sebagai golongan terpelajar dan kasta tertinggi di tengah penduduk lokal.
Mereka memiliki simbol-simbol tersendiri untuk menjelaskan makna 'satu' hingga 'sembilan'. Begitu pula dengan 'sepuluh', 'dua-puluh', 'tiga-puluh', dan seterusnya bilangan dengan kelipatan 10.
Sistem anka dinilai praktis karena mengandalkan urutan penulisan untuk menunjukkan makna bilangan tertentu. Sebagai contoh, untuk menyimbolkan makna 'dua ratus lima puluh enam', maka angka 200, 50, dan enam mesti diletakkan secara berurutan dari kiri ke kanan. Penggunaan sistem bilangan itu dapat dijumpai, umpamanya, pada berbagai tugu batu yang didirikan di Sahasram pada zaman Raja Ashoka (meninggal 232 SM).
Dan, peradaban India pun termasuk yang paling awal—kalau bukan yang terawal—dalam menggunakan angka nol dalam sistem bilangan desimal. Sebelum al-Biruni, ada sarjana Muslim Muhammad bin Musa al-Khwarizmi (750-850) yang membicarakan kontribusi India untuk matematika itu.
Sejak kapan simbol 'nol' muncul di India? Pada mulanya, para saintis dan arkeolog modern meyakini bahwa Brahmasphutasiddhanta karya astronom India Brahmagupta sebagai naskah pertama di India yang menyebut simbol ‘nol’. Teks itu ditulis pada awal abad ketujuh.
Namun, belakangan ada penemuan penting di Desa Bakhshali, dekat Kota Peshawar, Pakistan, pada 1881. Temuan naskah setempat memuat adanya simbol titik-titik yang akhirnya diketahui merujuk pada makna ‘nol’.
Hasil uji radiokarbon atas naskah Bakhshali menunjukkan, manuskrip tersebut diketahui berasal dari masa sekitar tahun 224-383 M. Artinya, usianya jauh lebih tua daripada karya Brahmagupta.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.