Polisi menunjukkan barang bukti saat ungkap kasus perdagangan benih Lobster ilegal di Polda Jawa Timur, Surabaya, Jawa Timur, Senin (2/12/2019). | Didik Suhartono/ANTARA FOTO

Kabar Utama

Tarik-Ulur Benih Lobster

Ada sekitar 12,35 miliar benih lobster tersedia di seluruh perairan Indonesia per tahun yang bisa dipanen.

OLEH MUHAMMAD NURSYAMSI, FITRIYAN ZAMZAMI

Pada Februari 2020, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melansir prakiraan soal potensi benih lobster alias benur di Indonesia. Jumlahnya tidak main-main. Menurut Wakil ketua Bidang Riset dan Pengembangan KP2 KKP Bayu Priambodo, ada sekitar 12,35 miliar benih lobster tersedia di seluruh perairan Indonesia per tahun yang bisa dipanen.

Harga per benur tersebut dari nelayan, menurut ketetapan KKP, minimal Rp 5.000 sampai Rp 10 ribu. Kesatuan Tani dan Nelayan Indonesia (KTNI) mencatat, nominal itu bisa melonjak jika benih di ekspor, mencapai Rp 170 ribu. Harga itu belum seberapa jika dibandingkan nilai jual lobster dewasa. Lobster mutiara, misalnya, harga per ekornya bisa mencapai Rp 5 juta. 

Perhitungan soal keuntungan itu yang kemudian menimbulkan perbedaan kebijakan antara dua menteri kelautan dan perikanan pada masa Presiden Joko Widodo. Susi Pudjiastuti, menteri pada periode pertama, yakin nelayan akan jauh lebih untung jika menunggu lobster dewasa. Hal itu juga dinilai sekaligus bisa menjaga kelestarian hewan laut itu. 

"Bener kita harus ekspor bibitnya? Apa tidak lebih baik tunggu besar dan jual dengan harga lebih dari 30 kalinya?" ujar Susi sekali waktu. Dengan alasan itu, ia menerbitkan regulasi pelarangan ekspor benur pada 2016. Ia juga melarang budi daya benur tangkapan.

Pertimbangan lainnya, kala itu, ekspor benih lobster hanya akan menguntungkan negara pengimpor, seperti Vietnam, yang mendapat untung berlipat dari menjual lobster dewasa. Kebijakan impor benih selama ini juga berhasil membuat Vietnam unggul sebagai negara pengimpor benih terbesar meski wilayah laut dan potensinya jauh dari Indonesia.

Sementara itu, Menteri Edhy Prabowo yang menjabat kemudian berdalih nelayan akan lebih lekas mendapat untung bila benih lobster boleh diekspor. Rencana pencabutan larangan ekspor telah Edhy sampaikan tak lama sejak menjabat sebagai menteri KP pada Oktober 2019. 

Saat itu, Edhy menyebut pelarangan ekspor benih lobster dilakukan semata-mata untuk mengendalikan penyelundupan ekspor benih lobster ke negara-negara lain. "Pasalnya, nilai jual benih lobster sangat rendah dibandingkan lobster dewasa sehingga negara pun kehilangan nilai tambah devisa ekspor," kata Edhy.

Sejumlah pihak kala itu meminta Edhy jangan tergesa-gesa mencabut pelarangan. Lembaga pemerhati lingkungan, Blue Green Indonesia, menilai Edhy semestinya memperbanyak kunjungan ke beberapa daerah terlebih dahulu untuk menemui para nelayan dan masyarakat. "Wacana keputusan ini sangat jauh dari ekspektasi kami terhadap Pak Edhy," ujar Ketua Umum Blue Green Indonesia Dian Sandi Utama.

Derasnya kritikan tak mengendurkan semangat Edhy untuk tetap mencabut larangan ekspor benih lobster. Edhy menilai sektor benih lobster menyimpan potensi besar. 

Sembari terwujudnya program budi daya, Edhy mengingatkan, ada masyarakat yang selama ini hidupnya bergantung pada penangkapan benih lobster. “Kita kasih kuota (ekspor) sampai waktu tertentu boleh ekspor. Banyak komoditas lain yang dilakukan seperti itu, pasir besi, nikel," kata Edhy, akhir 2019 lalu. 

Di kalangan pemerintahan, sikap Edhy tersebut didukung Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan. Luhut menilai pelonggaran larangan eskpor penting untuk mengurangi penyelundupan benur yang merugikan negara. Sebelumnya, Luhut memang sudah kerap mengkritisi kebijakan Susi tentang pelarangan ekspor benur.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo mengambil sikap di tengah-tengah. “Keseimbangan itu paling penting, bukan hanya bilang jangan ekspor. Tetapi, jangan juga semua diekspor, enggak benar,” kata Jokowi di Kalimantan Timur, akhir tahun lalu. 

Akhirnya, pada Mei tahun ini, Edhy meneken Peraturan Menteri KP Nomor 12 Tahun 2020 yang membatalkan kebijakan sebelumnya. Kementerian Kelautan dan Perikanan kemudian melansir, ada sebanyak 26 perusahaan diberi ijin ekspor dari 31 yang melayangkan proposal pada Juni 2020.

Sempat beredar kabar bahwa ada kader partai politik sebagai pemilik salah satu perusahaan tersebut. " Tidak benar itu. Sudah ada timnya. Tim budi daya, tim perikanan tangkap, karantinanya, termasuk saya libatkan irjen. Semuanya terlibat ikut turun tangan," ucap Edhy di depan anggota dewan dalam rapat dengar pendapat di DPR, Juli lalu.

Selepas pencabutan pelarangan tersebut, angka ekspor benur memang melonjak. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, komoditas ekspor dengan kode HS 03063110 itu mencapai nilai ekspor 3,67 juta dolar AS pada Juli 2020. Jumlah itu melonjak tajam dari nilai ekspor pada Juni 2020 yang sebesar 112,900 dolar AS.

photo
Warga menunjukkan lobster hasil tangkapan nelayan di pesisir Pantai Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Rabu (19/2). Nelayan lobster di kawasan itu mengaku, dalam sehari mampu mengumpulkan dan menangkap lobster sebanyak dua sampai lima kilogram yang kemudian dijual dengan harga Rp 170 ribu sampai Rp 220 ribu per kilogram tergantung jenis dan ukuran. - (SYIFA YULINNAS/ANTARA FOTO)

Pada Agustus, nilainya melonjak lagi hampir dua kali lipat jadi sekitar 6,5 juta dolar AS. Ke mana benih-benih itu diekspor? Tak lain dan tak bukan ke Vietnam, sang produsen lobster terbesar di dunia.

Terlepas dari capaian ekonomis tersebut, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati mengatakan, praktik ekspor benih lobster belakangan menunjukkan banyak ketakberesan. "Banyak hal yang tidak transparan dan akuntabel dalam kebijakan ekspor benih lobster ini," ujar Susan dalam keterangannya, Rabu (25/11).

Pertama, kebijakan itu dikeluarkan tanpa kajian ilmiah yang melibatkan Komisi Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnas Kajiskan). Pembahasannya juga tidak melibatkan nelayan penangkap dan pembudi daya lobster. 

Selanjutnya, penetapan kebijakan ekspor benih lobster tidak mempertimbangkan kondisi sumber daya ikan Indonesia yang telah dinyatakan terlampau tereksploitasi. Penetapan perusahaan pengekspor, menurut dia, juga hanya menempatkan nelayan penangkap dan pembudi daya lobster sebagai objek pelengkap semata. 

Ia juga mengutip kesimpulan Ombudsman Republik Indonesia yang menyebut terdapat banyak potensi kecurangan dalam mekanisme ekspor benih lobster. "Keterlibatan sejumlah nama politisi partai politik di balik perusahaan ekspor benih lobster membantah klaim Edhy yang selalu mengatasnamakan kesejahteraan masyarakat," ungkap Susan. 

Menurut dia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU telah menemukan praktik persaingan usaha yang tidak sehat dalam bisnis ekspor benih lobster. Salah satu temuan penting KPPU adalah pintu ekspor dari Indonesia ke luar negeri hanya dilakukan melalui Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng. 

Padahal, mayoritas pelaku lobster berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Sumatra. Selain itu, Keputusan Kepala BKIPM Nomor 37 Tahun 2020 tentang Tempat Pengeluaran Khusus Benih Lobster dari Wilayah Negara RI telah menetapkan enam bandara yang direkomendasikan untuk pengiriman benih lobster ke luar negeri. Keenamnya ialah Bandara Soekarno-Hatta, Bandara I Gusti Ngurah Rai (Denpasar), Bandara Juanda (Surabaya), Bandara Internasional Lombok, Bandara Kualanamu (Medan), dan Bandara Hasanuddin (Makassar).

Penangkapan yang dilakukan KPK pada Rabu (25/11) dini hari pada akhirnya menguatkan kecurigaan-kecurigaan tersebut. "KPK harus mengusut tuntas korupsi ini sampai ke akar-akarnya. Seluruh jaringan yang terlibat perlu dibongkar dan diberikan sanksi sesusai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia," kata Susan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat