Kisah
Ulama ‘Buruan’ Dua Khalifah
Di Basrah, dimulailah kehidupan barunya sebagai 'buruan' penguasa.
OLEH HASANUL RIZQA
Sufyan ats-Tsauri merupakan seorang ulama yang masyhur pada masanya dan bahkan hingga saat ini. Pemilik nama lengkap Sufyan bin Sa'id bin Masruq bin Habib bin Rafi' bin Abdillah itu lahir di Kufah, Irak, pada 96 H atau 716 M. Kepakarannya dalam agama Islam meliputi bidang ilmu hadis, fikih, ushul fikih, dan lain-lain.
Umat mengenangnya sebagai sosok yang bukan hanya alim, tetapi juga wara, zuhud, dan selalu teguh berprinsip kebenaran. Keteguhan itulah yang menjadi momok bagi penguasa zalim pada zamannya.
Bertahun-tahun hingga wafatnya, Sufyan ats-Tsauri diburu dua orang khalifah yang bersikap semena-mena. Keduanya berasal dari Dinasti Abbasiyah, yakni Abu Ja’far al-Manshur (754-775 M) dan putranya, Abu Abdullah Muhammad alias al-Mahdi (775-785 M).
Sejarah mencatat Khalifah al-Manshur sebagai seorang despot. Di puncak kejayaannya, banyak ulama yang dipersekusi. Sebelum Sufyan ats-Tsauri, ada sosok Abu Hanifah. Sang pendiri mazhab fikih Hanafi itu mengalami berbagai penyiksaan ketika ditahan al-Manshur. Bahkan, Imam Hanafi meninggal dunia saat berada di dalam penjara.
Setelah Abu Hanifah wafat, Khalifah al-Manshur bukannya bertobat. Sultan Abbasiyah itu justru menyeru para bawahannya agar mendatangkan seorang alim terhormat lain untuk menggantikannya. Mereka lantas menyebut nama Sufyan ats-Tsauri. Sebab, reputasinya sebagai ahli hadis memang dikenal luas di seluruh Jazirah Arab dan sekitarnya. Khalifah itu pun lantas memerintahkan pasukannya untuk menemukan sang alim.
Mengetahui keinginan amirul mu'minin untuk memberikan jabatan mufti kepadanya, Sufyan menolak. Berkali-kali utusan khalifah datang menemuinya, ia bersikukuh tidak mau menerima tawaran tersebut. Al-Manshur pun mulai bertindak keras. Prajuritnya diperintahkan untuk menangkap dan membawa ulama tersebut ke istana.
Saat perintah itu dijatuhkan, ulama ini telah melarikan diri dari Kufah menuju Makkah. Dalam perjalanan, ia mendapati selebaran kerajaan yang berisi sayembara: “Barangsiapa bisa menangkap atau menghadirkan Sufyan ats-Tsauri, maka negara akan menghadiahkan uang sebesar 10 ribu dirham.” Ternyata, kabar kepergiannya ke Makkah pun sudah tersiar luas. Ia pun terpaksa berangkat ke Basrah. Tak ada siapapun kaum kerabat yang menerimanya di sana.
Dimulailah kehidupan barunya sebagai “buronan” penguasa. Di Basrah, Sufyan ats-Tsauri menyamar sebagai pencari kerja. Seorang pemilik kebun merekrutnya sebagai pemetik kurma. Salah seorang pakar hadis dalam sejarah peradaban Islam itu harus merasakan getirnya hidup sebagai buruh upahan hanya untuk menghindar dari kejaran khalifah.
Sufyan ats-Tsauri harus merasakan getirnya hidup sebagai buruh upahan hanya untuk menghindar dari kejaran khalifah.
Bulan berganti bulan, masyarakat setempat akhirnya mengenali identitas aslinya. Alih-alih menuruti sayembara penguasa, mereka justru menaruh respek dan simpati mendalam untuk sang alim.
Sufyan ats-Tsauri tak lagi dipekerjakan sebagai buruh, tetapi diberi rumah yang layak di tengah penduduk lokal. Tak mau membuat benturan antara masyarakat sipil dan penguasa, ia pun memutuskan untuk hijrah. Kali ini, tujuannya begitu jauh: negeri Yaman.
Lebih parah dari keadaannya di Basrah, sama sekali tidak ada yang mengenalnya di Yaman. Penduduknya juga tidak ramah. Bahkan, sekali waktu Sufyan ats-Tsauri dituduh sebagai pencuri. Beberapa warga menangkap dan membawanya ke hadapan gubernur saat itu, Ma’in. Untungnya, sang gubernur merupakan sosok pemimpin yang cerdas, berwibawa, dan berakhlak mulia.
“Siapa namamu?” tanya Ma’in.
“Abdullah bin Abdurrahman,” jawab Sufyan, masih menyembunyikan identitasnya.
“Atas nama Allah, aku memintamu agar menyebut silsilah nasabmu.”
“Aku Sufyan bin Sa’id bin Masruq,” kata Sufyan dengan jujur.
“Ats-Tsauri?” tanya Ma’in penuh selidik.
“Ya.”
“Sungguh, khalifah sedang memburumu!” seru Ma’in.
“Benar.”
Gubernur Yaman itu lantas menundukkan kepalanya dan berkata, “Tuan dapat tinggal di sini dan pergi kapan saja engkau mau. Demi Allah, aku akan melindungimu sekuat kemampuan!”
Maka Sufyan ats-Tsauri pun menetap untuk beberapa bulan di negeri tersebut.
Kemudian, datanglah musim haji. Sufyan pun berangkat ke Tanah Suci, menuntaskan kerinduannya pada Baitullah. Namun, tak disangka Khalifah al-Manshur pun dalam perjalanan hendak melaksanakan ibadah haji pada waktu yang sama.
Dari para informannya, al-Manshur mendapatkan kabar bahwa Sufyan sedang berada di Makkah. Penguasa ini pun menyuruh bawahannya agar segera mencari, menangkap, dan menyalib ulama tersebut. Perburuan pun dimulai lagi.
Murid-murid Sufyan ats-Tsauri mengabarkan hal itu kepadanya. Di dekat Ka’bah, Sufyan pun memanjatkan doa yang disertai sumpah. Munajat itu ternyata diijabah Allah SWT. Atas takdir-Nya, Khalifah al-Manshur terjangkit penyakit sehingga meninggal dunia sebelum sampai ke Makkah.
Mendapati kabar itu, Sufyan ats-Tsauri merasa tenang. Sebab, ia merasa tak ada lagi penguasa yang memaksanya untuk menjabat sebagai hakim di istana. Demikianlah prinsipnya. Ia lebih memilih menjadi buronan daripada harus menuruti kemauan despot.
Ia merasa tak ada lagi penguasa yang memaksanya untuk menjabat sebagai hakim di istana.
“Apabila aku menyaksikan suatu kemungkaran dan aku tidak melakukan apa-apa (mendiamkannya), niscaya aku mengeluarkan kencing darah saking mendalamnya kesedihanku,” katanya.
Allah berkendak lain. Sesudah kematian al-Manshur, putranya naik menggantikannya. Ternyata, Khalifah al-Mahdi meneruskan upaya pemburuan terhadap Sufyan ats-Tsauri. Sang imam yang sempat mengira bahwa cobaan yang menimpanya sirna, akhirnya berstatus pelarian lagi. Padahal, waktu itu dirinya sudah kembali mengajar di Kufah.
Sebelum melarikan diri, Sufyan ats-Tsauri sempat memenuhi undangan al-Mahdi di istana, dan terjadilah dialog berikut.
“Wahai Abu Abdillah! Aku angkat engkau menjadi mufti kerajaanku!” kata sultan.
“Wahai amirul mu`minin, izinkanlah aku berbicara, tetapi terlebih dahulu engkau harus memberiku jaminan keamanan,” ujar Sufyan.
“Tentu,” jawab al-Mahdi singkat.
“Janganlah mengirim utusan kepadaku sebelum aku sendiri yang menemui engkau. Dan janganlah memberiku sesuatu sebelum aku memintanya.”
Mendengar itu, muka al-Mahdi memerah karena menahan amarah. Nyaris saja tangannya memukul sang alim, tetapi juru tulisnya mengingatkan, “Bukankah engkau telah memberi jaminan keamanan untuknya?”
Dengan kesal, al-Mahdi kembali ke singgasananya. Tanpa persetujuan Sufyan ats-Tsauri, khalifah tersebut lantas menetapkan ulama itu sebagai mufti negara. Salinan surat penetapan itu diserahkan kepada Sufyan.
Dalam perjalanan pulang, Sufyan mencampakkan surat yang diterimanya dari sang sultan itu ke Sungai Tigris. Murid-muridnya memintanya untuk tidak melakukan hal tersebut, tetapi ats-Tsauri menilai saran mereka tidak berasal dari pemikiran mendalam.
Dalam perjalanan pulang, Sufyan mencampakkan surat yang diterimanya dari sang sultan itu ke Sungai Tigris.
Sebagai buronan penguasa, Sufyan ats-Tsauri awalnya bersembunyi di rumah ahli hadis Yahya bin Sa’id al-Qaththan. Setelah meninggalkan Bashrah, dirinya menumpang di kediaman Abdurrahman bin Mahdi.
Meniru bapaknya, Sultan al-Mahdi mengumumkan sayembara berhadiah 100 ribu dirham bagi siapa pun yang dapat menghadirkan sang imam kepadanya. Pengejaran semakin berlangsung gencar sejak surat yang berstempel istana ditemukan di tepi Sungai Tigris.
Sufyan ats-Tsauri terus menjadi buronan dari satu wilayah ke wilayah lain di Negeri Abbasiyah. Dua tahun sebelum ajal menjemputnya, demikianlah nasibnya yang selalu diburu penguasa zalim.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.