Kisah Mancanegara
Muslim Prancis: Marah dan Sedih
Pembunuhan Patty dan tiga orang di Nice menjadi kisah horor bagi Muslim Prancis.
OLEH YEYEN ROSTIYANI
The Conversation menyebutkan, jajak pendapat menunjukkan, 79 persen responden di Prancis merasa "Islam telah mendeklarasikan perang" terhadap Prancis dan negara republik mereka. Bahkan, lebih banyak lagi responden berpendapat bahwa langkah Prancis yang menerapkan sekularisme secara ketat kini terancam.
Jajak pendapat itu digelar setelah pembunuhan seorang guru, Samuel Paty, oleh seorang pemuda kelahiran Chechnya. Pelaku marah karena Paty menunjukkan kartun Nabi Muhammad di ruang kelasnya.
Bagi enam juta Muslim Prancis, tragedi beruntun telah menyeret mereka ke dalam ketakutan. Pembunuhan Paty pada 16 Oktober dan serangan yang menewaskan tiga orang di Nice pada Kamis (29/10) adalah tindakan memercikkan kemarahan
Satu dari 10 warga Prancis adalah imigran. Menjadi warga Prancis berarti harus bertindak-tanduk seperti halnya rakyat Prancis. Sekularisme berarti tidak ada tempat bagi warganya untuk menunjukkan identitas keagamaan di hadapan publik. The Conversation menyebutkan, kekecualian hanya berlaku jika mereka memiliki identitas keagamaan seperti umumnya warga Prancis, yaitu Katolik.
"Bagi Muslim Prancis, setiap serangan teror yang berbau Islam memicu gelombang baru publilk yang mempertanyakan loyalitas mereka kepada Republik (Prancis) dan nlai-nilainya," tulis the Conversation.
Laman Aljazirah menyebutkan, tragedi Patty dan tiga orang di Nice menjadi kisah horor bagi Muslim Prancis. Mereka mengatakan, aksi itu tak menggambarkan keyakinan ataupun nilai-nilai Islam.
Aktivis hak sipil Prancis, Yasser Louati, mengatakan pelaku pembunuhan tidak bisa membedakan antara Muslim dan Kristien. Sang pelaku, katanya, memiliki ideologi yang asing dari nilai-nilai Islam.
"Seorang wanita dibunuh dalam gereja, artinya pelaku ini tidak memegang nilai-nilai suci. Tidak ada batasan moral bagi mereka," kata Louati kepada Aljazirah, mengacu pada pembunuhan tiga orang di Nice.
Menurutnya, buktinya ada juga 750 Muslim yang juga tewas di masjid yang tersebar di seluruh dunia. Artinya, pelaku memang memiliki ideologi sendiri.
"Dukungan untuk keluarga para korban, juga orang-orang yang memiliki keyakinan. Prancis kini tenggelam ke dalam kegilaaan, kebencian, kemarahana, dan pembalasan dendam" kata Idriss Sihamedi, aktivis Barakacity, badan sosial yang baru saja dibubarkan Pemerintah Prancis atas tuduhan memantik kebencian. Shamedi mengecam keras penikaman di Nice.
Sedangkan Fatima Ouassak menyampaikan rasa simpati mendalam kepada keluarga para korban. Menurutnya, amatlah penting untuk menunjukkan solidaritas pada saat sekarang.
"Kami menentang orang penciptakan kebecian yang bertanggung jawab dalam lingkaran setan dan iklim teror tempat kita menjadi korban. Jadi, mari bersama! Solidaritas, kesetaraan, keadilan, dan menghormati martabat manusia," ujar dia yang dikutip Aljazirah.
Seorang pemandu acara televisi, Sebastien Abdelhamid, mengatakan kemaran dan rasa jijiknya pada tragedi di Nice. "Sungguh tindakan barbar... pelaku bukanlah manusia," ujarnya.
Sementara ada pula sosok yang menggunakan isu Islam dalam aksi politiknya. Hal ini dilakukan pemimpin kubu ekstrem kanan Prancis, Marie Le-Pen. "Begitu cepatnya tindakan yang dilakukan Islam dalam memerangi saudara kita sebangsa," ujarnya. "Diperlukan respons global untuk memberantas Islamisme."
Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmain, menyebut Muslim sebagai "musuh dalam selimut". Ia pun bertindak dengan menutup masjid dan mengajukan pelarangan sejumlah kelompok Muslim. Ia bahkan mempertimbangkan untuk menghapus pojok makanan etnis tertentu di pasar dan toko.
Laman the New York Times menuliskan analisis Vincent Geisser, ahli sosiologi University of Aix-Marseille. Sosiolog yang fokus pada Islam ini mengatakan, debat dan perang wacana saat ini menunjukkan kegagalan model integrasi ala Prancis.
Usai serangan, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengatakan, "Para pelaku kriminal, teroris, pembunuh berdarah dingin yang melakukan semua ini, tidak mewakili Islam".
Tinggalkan Prancis
Kejadian beberapa waktu belakangan juga membuat muslim Prancis mempertimbangkan meninggalkan negara itu. "Selama dua minggu terakhir, saya hanya memikirkan satu hal. Saya bertanya-tanya apakah saya harus meninggalkan Prancis?" ujar Mehdy Belabbas dilansir dari New York Times, Jumat (30/10).
Pikiran tersebut melintas begitu saja setelah berhari-hari kondisi di Prancis semakin memanas. Sebuah masjid bahkan telah ditutup menyusul penangkapan beberapa kelompok Muslim yang dianggap ekstremis oleh pemerintah, dan bahkan menyarankan mengosongkan rak-rak makanan berlabel halal di supermarket.
Seorang anggota LES Musulmans, sebuah asosiasi kelompok Muslim dan masjid, Naziha Mayoufi mengaku diliputi rasa ketakutan dan kesedihan yang tak terhingga kepada keluarga korban dan juga teman-teman Katoliknya. Peristiwa penyerangan di Gereja Nice semakin membawanya masuk dalam ketakutan yang lebih dalam.
Dia takut politisi dan berbagai pendapat akan semakin menganggap Islam sebagai musuh dari dalam. "Sebagai Muslim, kita juga membayar kerugian dari kedua bentuk ekstremisme itu," ucapnya.
Mohamed Akrid, Presiden Annour, sebuah organisasi pengawas pembangunan masjid, mengatakan pendapatnya. Menurutnya, semua muslim menjadi sasaran dan semua muslim akan dikaitkan dengan paradigma baru sparatisme dan akan selalu dicurigai.
Sejak 2004, Akrid mulai menceritakan, bahwa umat muslim di Ivry-sur-Seine harus puas dengan gym yang suram dan tenda yang dipinjamkan balai kota untuk menampung 2.000 orang yang menghadiri sholat Jumat di sana.
Menurutnya, Islam di Prancis telah dikalahkan oleh faksi radikal yang memiliki pengaruh kuat pada kaum muda, terutama di jejaring sosial. Namun dia menambahkan, tindakan keras Prancis baru-baru ini terhadap individu dan kelompok Muslim yang dituduh radikalisme, berisiko menciptakan lebih banyak kebingungan daripada melawan faksi radikal tersebut.
Pada minggu lalu, polisi melakukan 250 penggerebekan dan menangkap lusinan orang yang tidak selalu terkait dengan pemenggalan. Kemudian rencana aksi pengosongan rak-rak makanan yang berlabel halal, juga bisa memicu dan meradikalisasi kelompok tertentu, terutama anak muda.
"Kebingungan itu berbahaya, dalam arti bahwa apa yang Anda lakukan berisiko semakin meradikalisasi kelompok tertentu, terutama kaum muda, yang mungkin merasa ditolak," kata Claire Renklicay, pemilik restoran keturunan Kurdi.
Menurut Akrid, banyak anak muda yang tidak peduli tentang agama dan mereka akan mendidik diri mereka sendiri di jejaring sosial, dengan belas kasihan para manipulator.
Karenanya, ia sangat setuju dengan kebutuhan umat Islam untuk memasuki debat publik dan bekerja menuju pemahaman yang lebih baik tentang teks-teks agama. Namun dia menambahkan bahwa kebijakan asimilasi Prancis, yang cenderung menafikan perbedaan, dapat bertentangan dengan peran tersebut.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.