Kisah Mancanegara
PBB Mendayung di Tengah Polarisasi
Sekjen PBB menekankan pandemi Covid-19 telah menyibakkan kerapuhan dunia.
OLEH LINTAR SATRIA
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berulang tahun ke-75 di tengah deraan pandemi Covid-19 dan dan ketegangan Cina dan Amerika Serikat (AS). Dalam peringatan yang dirayakan Senin (21/9), PBB mendesak pemimpin-pemimpin di seluruh dunia yang terpolarisasi dan berjalan masing-masing untuk bekerja sama. Ini tugas lama yang seharusnya tidak lagi menjadi pokok perhatian organisasi internasional terbesar di dunia itu.
Namun, tahun ini PBB terpaksa meminta negara anggotanya untuk kembali menjunjung tinggi tujuan utama organisasi internasional itu dibentuk. Yakni menghindari konfrontasi militer antar kekuatan besar dunia.
Desakan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres yang meminta negara anggota kembali pada prinsip dasar multikulturalisme diamini oleh negara-negara kecil, besar, kaya maupun miskin. Sebagian besar pidato yang disampaikan di Pertemuan Tingkat Tinggi Sidang Majelis Umum (SMU) Senin (21/9) bernada positif.
Namun, tak dapat dipungkiri masyarakat internasional masih menghadapi berbagai tantangan besar. Tantangan besar itu antara lain pandemi, konflik di Timur Tengah hingga Afrika, dan belum tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) seperti menurunkan angka kemiskinan ekstrim dan target pelestarian lingkungan 2030.
"Tantangan multilateral kami hari ini surplus dan solusi multilateral defisit," kata Guterres.
Sekjen PBB menekankan pandemi Covid-19 telah menyibakkan kerapuhan dunia yang hanya bisa diatasi bila negara anggota bersatu. Guterres juga mengungkapkan tantangan-tantangan lain yang dihadapi masyarakat internasional.
"Bencana iklim membayangi, keanekaragaman hayati runtuh, (angka) kemiskinan meningkat, kebencian menyebar, ketegangan geopolitik memanas, ancaman senjata nuklir masih hanya sehelai rambut," tambah Guterres.
Ia menyerukan masyarakat sipil, kota-kota, pengusaha, pemerintah dan anak muda untuk terjun ke multilateralisme baru. "Tidak ada yang menginginkan pemerintahan dunia tapi kita harus bekerja sama untuk memperbaiki pengelolaan dunia," katanya.
SMU yang digelar secara virtual itu memperlihatkan betapa pentingnya peran PBB yang menaungi 193 negara anggota itu selama lebih dari tujuh dekade terakhir. Acara ini berlangsung lama karena banyak kepala negara berbicara lebih lama dibandingkan waktu yang diizinkan yakni tiga menit.
Dalam kesempatan ini Indonesia melalui Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi hanya mengatakan dunia semakin berharap pada PBB. Ia meminta organisasi internasional tidak terjebak pada retorika semata.
“Ekspektasi dunia terhadap PBB makin meningkat untuk dapat memperkuat kepemimpinan global dan membawa manfaat nyata bagi masyarakat luas,” kata Retno dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Senin.
Dalam nada yang lebih keras Presiden Cina Xi Jinping menekankan pentingnya multilateralisme. Namun, Xi tampaknya memperingatkan AS untuk tidak merundung negara lain. Xi mengatakan Beijing tidak akan membiarkan ada negara mengendalikan nasib negara lain.
"Bahkan seharusnya tidak satu pun yang diizinkan melakukan apa pun yang ia suka dan menghegemoni, merundung atau bertindak sebagai bos di dunia," kata Xi, dilansir Anadolu Agency.
Media Cina, Global Times, melaporkan Xi mengatakan tidak boleh ada negara yang memiliki hak untuk mendominasi urusan global. "Mereka tidak boleh dikuasai oleh mereka yang mengacungkan tinju keras ke pihak lain," kata Xi.
Ia menambahkan hubungan dan koordinasi kepentingan antar negara harus berdasarkan peraturan dan institusi. Xi menekankan PBB harus gencar mempromosikan kerja sama antar negara.
"Mentalitas Perang Dingin, zero-sum game (persaingan, Red), dan garis ideologi bukan solusi bagi sebuah negara apalagi untuk umat manusia," kata Xi. "Untuk mempraktekkan prinsip-prinsip multilateralisme, kita harus bertindak, tidak hanya berbicara, harus ada obatnya, tidak hanya terapi," kata Xi.
Hingga berita ini ditulis, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump masih menanti giliran menyampaikan paparannya. Namun, ia diyakini mengirimkan pesannya kepada Cina.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.