Internasional
India Temukan Penyebab Ledakan Kasus Covid-19
Ahli mengingatkan, kasus kemiskinan terburuk akibat pandemi masih belum mencapai puncak.
NEW DELHI -- Penelitian di India menemukan, saat awal pandemi Covid-19 mulai merebak, untuk setiap kasus yang terdeteksi ada 82 hingga 130 kasus ikutan yang luput dari pemantauan. Para ahli yakin, kasus-kasus yang luput tersebut menjadi penyumbang bagi penularan kasus Covid-19.
Pada tahap awal itu, India mengonfirmasi ada sekitar 35 ribu kasus dan lebih dari 1.000 kematian. Saat hasil penelitian itu dirilis pada Kamis (10/9) dan diperkirakan sudah ada 6,4 juta jiwa yang terinfeksi. Virus sudah menyebar ke desa-desa di India dan membebani sistem kesehatan yang rapuh.
Menurut para ahli, hasil penelitian ini membuktikan bahwa keterbatasan pengetesan di India menutupi jumlah kasus sebenarnya. Hal lainnya, lockdown atau penguncian wilayah di India dinilai hanya mampu memperlambat penyebaran virus, bukan memutus rantai penyebarannya.
Penelitian itu melibatkan 28 ribu orang di desa dan kota yang tersebar di 70 distrik di 21 negara bagian India. Penelitian dilakukan pada periode antara 11 Mei dan 14 Juni.
Sekitar 70 persen dari orang yang terbukti positif selama masa penelitian dilakukan adalah mereka yang berasal dari desa-desa. Ini menunjukkan, lockdown tidak mampu menghentikan laju virus memasuki kawasan perdesaan.
Penelitian juga menunjukkan, sebanyak 16 persen orang yang terinfeksi adalah mereka yang tinggal di daerah kumuh perkotaan. Sisanya adalah warga yang tinggal di daerah lain di perkotaan.
Hasil lainnya menunjukkan, ada sejumlah orang di wilayah tertentu yang memiliki antibodi. Orang-orang tersebut tinggal di distrik-distrik yang belum melaporkan adanya kasus Covid-19. Mereka juga tidak memiliki laboratorium untuk melakukan pengujian.
India melakukan lockdown pada populasinya yang mencapai 1,3 miliar jiwa. Jutaan orang kemudian kehilangan pekerjaan dan ribuan orang yang diperkirakan menderita kelaparan, akhirnya pulang ke kampung halaman mereka. Perekonomian merosot hingga 24 persen pada kuartal terakhir, meski ini pun terjadi pada sebagian besar negara di dunia.
Penularan virus di wilayah perdesaan dan kota kecil pada awal Mei menunjukkan, lockdown ternyata "bocor" atau gagal diberlakukan. Ahli virus dan spesialis anak, Dr T Jacob John, menyalahkan Pemerintah India tidak segera bergerak dari strategi lockdown nasional ke pendekatan yang lebih bersifat setempat. Padahal, pendekatan yang lebih lokal memungkinkan keseimbangan antara mengelola penyakit dan menjaga perekonomian tetap berjalan.
Kini, proses penularan sudah terlalu jauh terjadi. Menurut John, India kini harus fokus pada upaya mengurangi kematian sambil mencoba untuk memercikkan kembali perekonomian.
"Kini kuda sudah telanjur ada di luar kandang, mengunci pintu kandang tidak akan membantu," katanya dengan menggunakan perumpamaan.
Saat berita ini ditulis, berdasarkan data Johns Hopkins University, ada lebih dari 28,2 juta kasus Covid-19 secara global dengan jumlah kematian lebih dari 910 ribu orang. Kasus terbanyak dihadapi Amerika Serikat (AS), yaitu pada kisaran 6,4 juta kasus dan lebih dari 191 ribu kematian.
Saat ini India berada di urutan kedua dan menghadapi lebih dari 4,5 juta kasus positif, dengan lebih dari 76 ribu pasien meninggal dunia. Saat pencatatan, ada 96.551 kasus baru dalam 24 jam.
Sementara itu, para ahli independen PBB yang khusus menangani kemiskinan memperingatkan, kasus kemiskinan terburuk akibat pandemi masih belum mencapai puncak. Langkah-langkah yang diambil pemerintah di berbagai negara juga dinilai belum memadai.
"Jaring keamanan sosial yang diberlakukan saat ini memiliki banyak celah," ujar Olivier De Schutter, ahli hukum Belgia yang ditunjuk menjadi pelapor kemiskinan dan hak asasi manusia. "Langkah-langkah saat ini umumnya berjangka pendek, dananya tidak memadai dan banyak orang akhirnya jatuh ke dalam celah jurang," katanya, Jumat.
Laporan ini terutama ditujukan pada para pemimpin dunia yang akan hadir dalam Sidang Majelis Umum PBB bulan ini. Ia menyerukan agar ada langkah lebih tegas untuk memberantas kemiskinan dan mengurangi ketimpangan.
Tragedi 11 September
Peringatan 19 tahun tragedi 11 September di New York, AS, berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Selain didera krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19, AS juga menghadapi letupan protes akibat ketidakadilan rasial dan pemilihan presiden.
Sejumlah peringatan dibatalkan akibat pandemik. Beberapa komunitas lain memilih untuk melanjutkan rencana peringatan, tetapi dengan sejumlah penyesuaian agar sejalan dengan protokol kesehatan.
Acara di New York pun mengubah tradisi dari tahun sebelumnya, yang biasa dilakukan dengan cara anggota keluarga membacakan nama korban tragedi. Kali ini, mereka mendengarkan rekaman nama-nama tersebut diputar di seantero plaza peringatan di Ground Zero. Semua itu dilakukan untuk menghindari kontak fisik.
Keluarga dari para korban merasa tragedi yang menewaskan hampir 3.000 orang itu tetap layak dikenang. Tragedi itu telah mengubah peta kebijakan AS, persepsi akan keselamatan, dan kehidupan sehari-hari di berbagai tempat, mulai dari bandara hingga gedung perkantoran.
"Saya tahu, jantung Amerika berdetak pada 11 September dan tentu saja, berpikir tentang hari yang tragis itu. Saya yakin orang tidak akan lupa," kata Anthoula Katsimatides, yang kehilangan kakaknya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.