Opini
Banpres Usaha Mikro
Ada banyak hal yang membuat pelaku usaha mikro dan kecil tetap rawan kolaps.
BAGONG SUYANTO, Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga
Pemerintah terus mengembangkan berbagai program untuk mencegah dampak pandemi Covid-19 tidak makin melebar. Program terbaru, untuk membantu pelaku usaha mikro dan kecil agar dapat bangkit kembali dari imbas krisis yang dipicu Covid-19.
Program itu adalah Bantuan Presiden Produktif Usaha Mikro (Banpres PUM), yang dimulai 17 Agustus. Dalam tempo secepatnya, pemerintah menargetkan 9,1 juta pelaku usaha mikro dan kecil menerima bantuan berupa modal tunai Rp 2,4 juta.
Pemerintah menyiapkan Rp 22 triliun dan membagikan modal kerja darurat untuk masing-masing pelaku usaha mikro dan kecil. Presiden Joko Widodo menegaskan, bantuan modal ini nantinya akan dibagikan kepada 12 juta pelaku usaha mikro dan kecil.
Disadari pemerintah, imbas pandemi Covid-19 tidak hanya memukul kelangsungan usaha berskala besar, tetapi juga menyebabkan banyak pelaku usaha mikro dan kecil kesulitan karena penurunan daya beli masyarakat.
Jangankan mempertahankan kelangsungan usahanya, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi para pelakunya saja sudah nyaris mustahil dilakukan.
Dengan bantuan modal darurat, pemerintah berharap, pelaku usaha mikro dan kecil kembali meningkatkan kapasitas produksi. Selain itu, pemerintah berharap, hasilnya menekan tingkat pengangguran dan mencegah penurunan daya beli masyarakat.
Di berbagai daerah, banyak usaha mikro dan kecil terancam gulung tikar. Jangankan mempertahankan kelangsungan usahanya, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi para pelakunya saja sudah nyaris mustahil dilakukan.
Meski sebelumnya pemerintah mengucurkan berbagai bantuan kepada UMKM, seperti subsidi bunga pinjaman, insentif pajak, penjaminan kredit modal kerja baru, Banpres PUM merupakan program tambahan untuk melengkapi insentif sebelumnya.
Banpres PUM difokuskan bagi yang belum mendapatkan pembiayaan perbankan. Dari aspek pemenuhan kebutuhan modal usaha, seberapa pun bantuan modal, niscaya memperpanjang napas dan fungsional untuk menopang keberlanjutan usaha.
Banyak bukti memperlihatkan, walaupun diberi bantuan modal usaha ringan, ternyata ada banyak hal yang membuat pelaku usaha mikro dan kecil tetap rawan kolaps.
Namun masalahnya, apakah pemberian bantuan modal usaha ini mampu menjamin pelaku usaha mikro dan kecil bertahan dan keluar dari situasi krisis yang dialaminya? Pertanyaan ini penting dikaji.
Banyak bukti memperlihatkan, walaupun diberi bantuan modal usaha ringan, ternyata ada banyak hal yang membuat pelaku usaha mikro dan kecil tetap rawan kolaps. Ada sejumlah faktor yang menjadi kendala pemberdayaan usaha mikro dan kecil.
Pertama, berkaitan dengan masalah dan kebutuhan utama yang dihadapi pelaku usaha mikro dan kecil.
Dari berbagai program bantuan modal yang dikucurkan, diakui atau tidak, semuanya cenderung rawan dialokasikan untuk kepentingan lain, terutama kebutuhan konsumtif masyarakat.
Di tengah kondisi ekonomi keluarga pelaku usaha mikro dan kecil yang serbakekurangan, tentu tak bisa dipastikan bantuan modal usaha yang dikucurkan pemerintah dimanfaatkan sepenuhnya untuk modal merevitalisasi usaha mereka yang kolaps.
Namun masalahnya, bagaimana memastikan meningkatnya kembali produksi diimbangi meningkatnya daya beli masyarakat.
Survei yang dilakukan Pricewaterhouse Coopers melaporkan, sekitar 74 persen UMKM di Indonesia belum mendapatkan akses pembiayaan. Dengan dibantu kucuran modal usaha dari pemerintah tentu melegakan, minimal untuk sesaat.
Namun masalahnya, bagaimana memastikan meningkatnya kembali produksi diimbangi meningkatnya daya beli masyarakat. Seberapa pun kegiatan produksi berhasil didongkrak, kalau permintaan tetap lesu, usaha mikro dan kecil rawan kolaps.
Kedua, terkait kurangnya pemahaman dan pemanfaatan teknologi informasi serta transaksi digital. Dari 12 juta usaha mikro dan kecil yang mendapatkan kucuran dana pemerintah, kemungkinan tak lebih dari 10 persen yang melek teknologi informasi.
Di atas kertas, era digital membuka peluang pelaku usaha mikro dan kecil untuk memasarkan produk menembus pangsa pasar lebih luas. Cuma, masalahnya karena kesenjangan digital, peluang mereka bersaing dengan usaha di atasnya menjadi rendah.
Alih-alih produktivitas pelaku usaha mikro dan kecil makin mudah dan efisien berkat perkembangan teknologi, justru pelaku usaha berskala besar mulai menyapu pangsa pasar usaha mikro dan kecil untuk memperluas pangsa pasar mereka yang makin kompetitif.
Kreatif
Bagi pelaku usaha mikro dan kecil, dukungan modal usaha dewasa ini sangat dibutuhkan. Namun, kunci untuk memastikan bantuan itu tidak bersifat sesaat, yang dibutuhkan sesungguhnya adalah daya tahan dan kreativitas mereka.
Tujuannya, untuk mencari dan mengembangkan celah bagi kelangsungan usaha mereka pada masa depan. Usaha mikro dan kecil yang konvensional, niscaya bangkrut tidak lebih dari hitungan bulan.
Pelaku usaha mikro dan kecil yang hanya ikut-ikutan dan tidak mengembangkan diversifikasi produk sesuai selera pasar, jangan heran jika mereka cepat kolaps.
Selama pandemi Covid-19 masih belum teratasi, harus diakui sulit bagi pemerintah meminta pelaku usaha mikro dan kecil mampu mengembangkan usahanya. Bisa bertahan hidup hingga enam bulan sampai satu tahun saja sudah menggembirakan.
Saat ini, pemerintah hanya bisa berharap, di tengah musibah yang menekan seperti sekarang ini, lahir pelaku usaha mikro dan kecil yang kreatif dan memiliki daya tahan yang kenyal. Semoga.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.