Pecel | Republika

Opini

Kenangan Pecel Ketika Nyantri di Gontor

Waktu kami nyantri di Gontor, makanan paling favorit santri adalah Pecel.

SHABAHUSSURUR SYAMSI

 

Pegiat dakwah

 

Destinasi wisata kuliner, Pecel Blitar, pagi ini, Ahad, 09 Agustus 2020, bukan tujuan. Wong hanya sepiring nasi ditambah campuran dedaunan, sambal kacang dengan bumbu khas, telor goreng plus tempe dan peyek kacang. Setiap keluarga di rumah bisa membuatnya. Apalagi resep makanan sekarang bisa didapat di Mbah Google. Cara membuat pun bisa di-download di youtube.

Tapi Pecel ternyata punya asal usul. Setidaknya menurut obrolan santai pagi ini. Ketika kelelahan gowes sepeda bersama kawan dekat. Sahabat dekat kampung, dekat rumah, dekat selera, dekat usia, dan dekat cita-cita. Ayah Najib, Pak Haji Umar, lurah desa Kranji, Lamongan, adalah guru ayah saya. Bahkan ketika di Pondok Gontor, kami satu angkatan, satu dapur, satu guru, dan satu kyai pastinya.

Sahabat dekat itu bernama Ahmad Najib. Menurut orang yg terlahir hidup sehat dengan tubuh tinggi, besar, subur raga dan jiwa ini, setidaknya ada dua makanan penting dari tradisi masyarakat yang diwarisi turun temurun dari dua kerajaan besar dalam sejarah Jawa, yaitu Mataram dan Mojopahit. Mataram meninggalkan Pecel. Mojopahit meninggalkan Rawon. Pecel tersebar di kawasan wilayah kekuasaan Mataram di kawasan  tengah hingga selatan Jawa. Rawon tersebar di wilayah kekuasaan Mojopahit di kawasan tengah hingga utara Jawa. Lamongan, daerah kami dilahirkan, karena posisi Jawa sebelah utara, lebih mengenal rawon daripada pecel.

Pecel Blitar yg kami nikmati pagi tadi berada di daerah Gaplek Ciputat. Pecel Blitar hanya salah satu jenis pecel di Jawa Timur Selatan. Masih banyak jenis pecel yang lain dengan sedikit perbedaan, seperti: Pecel Madiun, Pecel Magetan, Ngawi, Tulungagung, Pecel Malang, yang mempunyai racikan yang sedikit berbeda. Mereka yang kini tinggal di Jakarta, pasti tidak bisa begitu saja melupakan pecel khas daerahnya. Setidaknya akan bertanya saat menikmati, kembang turinya mana, daun keningkirnya mana. Bumbunya kurang pedas. Pecel ini lekoh. Peyeknya renyah. Tempenya asli banget. Komentar itu menggugah kenangan saat masa kecil di kampung. Saat bertengkar dengan saudara berebut peyek. Saat tertawa berkeringat, keluar ingus, kepedesan.

Dipastikan bahwa santri Gontor yang dari Lamongan, termasuk saya dan Najib, baru mengenal istilah Pecel dalam racikan di atas, ketika nyantri di Gontor. Pecel dalam pemahaman orang pesisir utara lebih akrab pada ikan laut atau sungai yang dipanggang atau digoreng, lalu dipenyet dengan sambal tomat pedas, seperti yang terkenal dengan pecel lele Lamongan, pecel dorang, pecel ikan Pe dll.

Waktu kami nyantri di Gontor, makanan paling favorit santri adalah Pecel. Populer dengan Pecel Madiun, Gontor Ponorogo masuk wilayah eks Karesidenan Madiun. Istilah Sanday morning, Ahad Pagi, menjadi terkenal karena pagi itu dapur santri Pondok menyuguhkan menu istimewa. Pecel. Saat-saat indah ketika santri berdiri berbaris panjang, ngantri giliran mendapatkan sepiring pecel. Kenangan Sunday Morning muncul saat menyantab Pecel Blitar pagi ini..

"Ayo menikmati hidup. Kapan lagi. Tidak perlu di restoran elit, waktu khusus, protokol ketat, dan duit tebal". Demikian komentar Najib ketika kami ngobrol berdua, saat duduk manis menanti racikan pecel yang dibuat. 

Kadang kita sibuk dengan pembicaraan berat tentang umat dan bangsa yg melelahkan, tapi lupa usia sudah menua. Sibuk berdebat tentang gerakan keumatan di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, tapi lupa tenaga berkurang. 

Di grup-grup WA dan medsos beraktraksi, bersitegang pertahankan argumentasi saling kuat adu nalar adu logika, merasa kuat perkasa. Sibuk menggapai cita-cita tapi tidak mampu menikmati yg kini di depan mata. 

Dulu tenaga dan waktu ada tapi uang tidak ada. Kini uang dan tenaga ada tapi waktu tidak ada. Besuk bisa jadi uang ada tapi tenaga dan waktu tidak ada. Bisa jadi nanti ada uang untuk beli pecel tapi perut tidak bisa menerima pedesnya pecel. 

Ayo menikmati dengan segenap kebersahajaan dan kelezatan. Makanan rakyat. Makanan nikmat. Pecel.

Nikmat Pecel itu ada pada keragaman racikan yang seimbang dan pas. Seimbang antara dedaunan, sambal, tempe, telur, peyek, dan nasi. Bila salah satu terlalu menonjol, terlalu berlebihan, atau terlalu kurang, akan menjadi tidak sedap dirasa. 

Mungkin saat ini kita berperan sebagai dedaunan dalam masyarakat yang majemuk layaknya pecel. Atau berperan sebagai sambal, tempe, peyek, telor, atau nasi. Pastikan kita tidak sangat dominan sehingga cenderung otoriter dan repressif sangat mencengkeram. Tapi jangan juga terlalu rendah dan lemah sehingga tidak punya pengaruh, dianggap tidak ada, terkucilkan, terabaikan dalam deras arus pembangunan peradaban yang sedang berkembang. 

Jadilah bagian dari adonan Pecel Masyarakat yang menyatu, lekoh, bersinergi saling menguatkan rasa dan identitas. Yang muncul tidak lagi tempe, sambal, dedaunan, peyek dan nasi. Yang muncul hanya satu nama. Pecel.

 

Sejarah pecel

Kuliner tradisional pecel biasanya selalu identik sebagai makanan khas masyarakat Pulau Jawa. Lalu benarkah demikian? Antropolog dari Universitas Brawijaya (UB), Ary Budiyanto mencoba mengulik sekilas sebaran kuliner pecel di Indonesia. Termasuk bagaimana perbedaan rasa pecel di satu wilayah dengan lainnya. Lalu juga terkait bumbu khas pecel di beberapa daerah.

Berdasarkan Centhini (1814), pecel sudah tersebar di hampir seluruh Pulau Jawa. Akan tetapi pecel di sini lebih menitikberatkan pada menu pecel ayamnya. "Namun, bisa dipastikan bahwa pecel sayur kini tersebar di mana ada etnis Jawa Tengahan dan Timuran berada," ujar Ary, sebagaimana diberitakan Republika pada 2019

Dari keterangan Centhini juga dapat dilihat bagaimana pecel sayuran ditemukan di Jawa Tengah Selatan. Lalu sepertinya mulai terus menyebar ke bagian tengah dan wilayah timur lainnya.

Di sisi lain, Ary berpendapat, pecel bisa jadi mulai tersebar pada masa pascaperang Diponegoro (1825 - 1830). Melalui laskar Diponegoro yang berpencar ke berbagai daerah, kuliner pecel nampaknya juga ikut menyebar di dalamnya. Kemudian berevolusi dengan selera dan cita rasa lokal daerah masing-masing. 

Di antara pecel khas di Pulau Jawa, Ary menilai, hanya bumbu Madiun yang tidak memakai terasi dan kencur. Pecel Madiun juga sepertinya dimasak secara khusus. Dalam hal ini caranya dengan menyangrai bumbu utama. "Yakni cabai rawit, daun jeruk dan bawang putih di atas cobek tanah," tambah Ary.

Sementara proses memasak kacang tanah, Ary mengungkapkan, sebagian besar orang Madiun biasanya mengupas kulit arinya terlebih dahulu. Lalu digoreng dan ditumbuk dengan garam serta gula merah. Bahkan, kemungkinan juga dengan mencampurkan asam jawa di dalamnya. 

"Hingga pada tahun-tahun 90-an akhir, cita rasa bumbu pecel Madiun cenderung pedas dan gurih (asin). Namun kini sepertinya berubah lebih manis," katanya.

Di sisi lain, Ary juga mencoba menjelaskan bagaimana bumbu pecel Jawa Timuran dan Tengahan lainnya. Sepengetahuannya, proses masak kacang tanah di wilayah ini seringkali digoreng dengan kulit arinya. 

Secara umum, kata Ary, cara memasak mereka lebih praktis dengan menggoreng seluruh bahan bumbu. Bahan seperti bawang putih, terasi, daun jeruk purut dan cabe ditumbuk hingga halus atau setengah halus. Selanjutnya, mencampur kacang tanah yang telah digoreng utuh dengan kulit arinya bersama asam Jawa. "(Lalu--red) gula merah dan garam secukupnya," tambah dia.

Sementara bumbu pecel daerah Jawa Tengah dan Timuran, Ary berpendapat, kebanyakan memakai asam jawa. Bumbu pecel jenis terakhir ini serupa dengan yang berada di Malang. Namun untuk lebih memastikannya secara detail, ini diperlukan penelitian lebih lanjut ke depannya.

Hal yang pasti, ia melanjutkan, bumbu kencur atau asam Jawa pada pecel Malang bukan suatu kekhasan dari daerah ini. Sebab, bumbu tersebut dipakai secara umum di Pulau Jawa. "Bumbu pecel Madiun bisa dipastikan yang paling khas, karena tanpa terasi dan kencur dan dengan teknik sangrai di atas cobek tanah," tutup Ary.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat