Opini
Solusi Kisruh POP
Efek dari kisruh POP sudah mulai banyak orang yang beropini terutama di media sosial.
RIDWAN HASAN SAPUTRA, Presdir Klinik Pendidikan MIPA
Mundurnya Ormas Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dari Program Organisasi Penggerak (POP) membuat banyak kalangan bertanya ada apa dengan POP. Ketiga ormas ini sudah mempunyai jejak sejarah yang kuat dan tak terbantahkan dalam bidang pendidikan. Ketidakhadiran ketiga ormas ini di dalam POP menunjukkan kurangnya legitimasi dari POP.
Banyak alasan yang disampaikan oleh para pimpinan ketiga ormas ini sehingga memutuskan untuk mundur. Di antara alasan tersebut adalah adanya lembaga-lembaga CSR, adanya lembaga yang tidak jelas kiprahnya di dunia pendidikan, mekanisme seleksi yang tidak jelas, dan banyak lagi alasan yang tidak bisa dituliskan di sini.
Efek dari kisruh POP sudah mulai banyak orang yang beropini terutama di media sosial bahwa Mas Nadiem harus di-reshuffle. Secara pribadi penulis tidak setuju kalau Mas Nadiem di-reshuffle. Hal ini karena Mas Nadiem adalah generasi milenial yang potensial dan sudah terbukti mendirikan Gojek yang berkontribusi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Penulis yakin “pasti ada jalan” buat Mas Nadiem menyelesaikan kekisruhan tentang POP dan menyelesaikan masalah pendidikan yang ada di Indonesia.
Tulisan ini tidak untuk membela Mas Nadiem, tetapi untuk memberi solusi dari masalah yang ada, sekaligus untuk membuat kita lebih bersabar dan memberikan kesempatan Mas Menteri bisa segera menunjukkan kualitas dirinya yang sesungguhnya. Penulis berpikir niat beliau menjadi Mendikbud murni untuk kemajuan bangsa dan tidak ada niat untuk mengambil keuntungan materi, baik untuk dirinya maupun untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga beliau berusaha untuk membuat inovasi-inovasi yang belum pernah ada sebelumnya guna memecah kebuntuan di dunia pendidikan.
Penulis berpikir Mas Nadiem harus diberi kesempatan lebih untuk menunjukkan kinerjanya sebagai Mendikbud. Walaupun selama ini kita sering mendengar berita-berita yang kontroversial dari kebijakan Mas Nadiem, dari mulai banyaknya pejabat eselon 1 dan eselon 2 Kemendikbud yang di-plt-kan dan sekarang sudah diganti dengan orang-orang baru. Kemudian kontroversi tentang hak atas kekayaan intelektual (HAKI) dari semboyan "Merdeka Belajar" yang ternyata dimiliki PT Sekolah Cikal, dan terakhir adalah kisruh mengenai POP.
Kembali ke masalah POP, penulis memahami mundurnya Muhammadiyah, NU, dan PGRI dalam Program Organisasi Penggerak karena sangat tidak pantas ketiga ormas ini dibandingkan dengan ormas-ormas yang mungkin baru dibentuk, belum lama dan belum teruji oleh sejarah. Penulis pun memandang wajar mengapa Mas Nadiem sampai lupa untuk memosisikan Muhammadiyah, NU, dan PGRI dalam posisi yang berbeda dengan lembaga-lembaga lain.
Penulis pun memandang wajar mengapa Mas Nadiem sampai lupa untuk memosisikan Muhammadiyah, NU, dan PGRI dalam posisi yang berbeda dengan lembaga-lembaga lain.
Sebab, beliau adalah orang yang hidupnya lama mengenyam pendidikan di luar negeri. Sehingga intuisi untuk mengistimewakan NU, Muhammadiyah, dan PGRI masih belum kuat.
Semoga dengan kasus ini Mas Nadiem bisa lebih mengenal NU, Muhammadiyah, dan PGRI yang merupakan ormas-ormas yang berjuang di bidang pendidikan sebelum dan di awal Indonesia merdeka. Di sinilah alasan penulis mengapa Mas Nadiem harus diberi kesempatan karena beliau harus perlu banyak belajar tentang hal ini dan pasti mudah dilakukan karena beliau orang yang cerdas.
Hasil seleksi yang menuai kontroversi ini sebenarnya bukan salahnya Mas Nadiem, tetapi karena lemahnya eksekutor di Kemendikbud, mungkin karena di-plt-kannya para pejabat eselon 1 dan eselon 2 sehingga pejabat yang baru belum mumpuni untuk melakukan eksekusi dari ide-ide Mas Nadiem. Hal ini masih wajar karena para pejabat baru ini masih dalam masa adaptasi.
Sekarang mari kita fokus ke solusi. Solusi pertama dalam masalah POP ini adalah Mas Nadiem dan pihak Kemendikbud bersilaturahim ke PP Muhammadiyah, PBNU, dan PGRI. Seharusnya untuk program POP, tiga lembaga ini diberikan dana dalam bentuk penunjukan tanpa melalui proses seleksi.
Khusus kepada lembaga NU dan Muhammadiyah sebagai ormas berbasis agama, maka harus ada program yang tujuannya meningkatkan kemampuan guru mengaji atau ustaz karena di NU dan Muhammadiyah banyak sekolah berbasis pesantren.
Khusus kepada lembaga NU dan Muhammadiyah sebagai ormas berbasis agama, maka harus ada program yang tujuannya meningkatkan kemampuan guru mengaji atau ustaz.
Solusi kedua, Kemendikbud harus memberikan penjelasan mengapa The SMERU Research Institute dipilih sebagai pihak ketiga yang menyeleksi peserta Program Organisasi Penggerak. Rekam jejak lembaga ini di bidang pendidikan perlu dibuka kepada supaya publik percaya bahwa lembaga ini layak untuk melakukan seleksi peserta POP.
Solusi ketiga, Kemendikbud harus mengadakan kajian kembali program yang diusulkan lembaga-lembaga yang sudah terpilih. Jika program yang diajukan lembaga-lembaga ini tidak bisa direalisasikan di masa pandemi Covid-19 ini, maka lebih baik lembaga tersebut tidak jadi dipilih. Sebab, jika dipaksakan akan membuka peluang terjadinya manipulasi atau korupsi.
Solusi keempat, pihak Kemendikbud memberikan kesempatan kepada anggota masyarakat untuk memberi informasi jika ada lembaga yang tidak layak untuk mendapatkan dana hibah POP. Kemudian Kemendikbud melakukan pengecekan secara langsung ke tempat lembaga-lembaga yang terpilih sebagai pemenang POP.
Jangan sampai dana POP ini diberikan kepada lembaga yang sebenarnya adalah makelar proyek atau sudah punya suntikan dana besar dari perusahaan. Jika informasi anggota masyarakat terbukti benar, maka anggota masyarakat tersebut harus diberi hadiah karena turut membantu menyelamatkan uang negara.
Jangan sampai dana POP ini diberikan kepada lembaga yang sebenarnya adalah makelar proyek atau sudah punya suntikan dana besar dari perusahaan.
Solusi kelima, Kemendikbud bisa membuka ulang pendaftaran POP karena masih banyak lembaga yang lebih pantas untuk mendapatkan dana POP daripada lembaga-lembaga yang sudah terpilih. Sebab, sepertinya sosialisasi POP ini kurang begitu gencar.
Solusi keenam, sejatinya organisasi penggerak adalah diisi relawan-relawan yang rela berkorban demi kemajuan pendidikan, bukan mereka yang bergerak karena adanya dana besar. Oleh karena itu, saran yang sangat signifikan adalah Kemendikbud menunda pemilihan POP ini sampai satu tahun ke depan. Kemendikbud menunggu semua lembaga-lembaga yang dianggap organisasi penggerak ini bergerak terlebih dahulu tanpa bantuan pemerintah dan memberikan laporan kegiatannya secara rutin kepada Kemendikbud.
Organisasi yang konsisten melakukan gerakan pembinaan guru dengan laporan yang jelas, maka lembaga tersebut layak terpilih sebagai organisasi penggerak dan berhak untuk mendapat kucuran dana, baik Kijang, Macan atau Gajah. Contoh organisasi penggerak sesungguhnya adalah NU, Muhammadiyah, dan PGRI karena ketiga organisasi ini akan tetap membina guru walau tanpa dana POP.
Solusi ketujuh, berdasarkan logika solusi keenam, maka lembaga yang layak mendapatkan hibah POP tahun ini adalah NU, Muhammadiyah, dan PGRI. Ketiga ormas ini sangat pantas mendapatkan sebagian besar dana hibah POP tahun ini mengingat jasa ketiga ormas ini kepada Indonesia.
Jika masih ada sisa, dana tersebut bisa diberikan kepada organisasi-organisasi pendidikan yang umurnya setua atau lebih tua dari Indonesia seperti Taman Siswa dan Majelis Pendidikan Katolik.
Penulis yakin Mas Nadiem “pasti menemukan jalan”.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.