
Kabar Utama
Waspadai Ledakan Kemiskinan
Angka kemiskinan masih bisa bertambah dan membawa Indonesia ke jurang resesi.
JAKARTA -- Kemiskinan di Indonesia kembali mengalami kenaikan setelah berhasil ditekan sejak 2017. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut tingkat kemiskinan naik karena pandemi Covid-19 berdampak pada ekonomi masyarakat.
BPS mencatat persentase penduduk miskin per Maret 2020 sebesar 9,78 persen atau naik dari posisi September 2019 sebesar 9,22 persen. Secara jumlah, penduduk miskin bertambah menjadi 26,42 juta orang. Jumlah itu naik 1,63 juta orang dibandingkan dengan September 2019.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, meminta pemerintah lebih memperhatikan persoalan kemiskinan ini. Pasalnya, angka kemiskinan masih dapat bertambah dan membawa Indonesia ke jurang resesi.
Yusuf mengatakan, berdasarkan kajian Core Indonesia, penduduk miskin Indonesia dalam skenario berat bisa tembus hingga 30 juta orang. Namun, hasil laporan BPS menunjukkan angka di bawah itu. Ia menilai angka kemiskinan yang dirilis BPS belum mencerminkan dampak pandemi sepenuhnya. Sebab, Indonesia baru terpapar Covid-19 pada awal Maret 2020.
"Angka yang diambil itu belum menggambarkan penambahan kemiskinan di bulan setelahnya. Padahal, kemungkinan ada peningkatan di bulan-bulan setelahnya karena virus korona menyebar di seluruh Indonesia," kata Yusuf kepada Republika, kemarin.
Kasus positif Covid-19 di Indonesia pertama kali terdeteksi pada 2 Maret. Saat itu, Covid-19 menginfeksi dua warga Depok, Jawa Barat. Adapun penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pertama kali diterapkan pada 10 April oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang kemudian diterapkan di daerah-daerah lain.
BPS sesuai jadwal bakal kembali merilis angka kemiskinan pada September mendatang. Tanpa langkah yang tepat, kata Yusuf, ledakan angka kemiskinan bisa terjadi. Oleh sebab itu, pemerintah harus lebih terfokus dalam mengurusi persoalan kemiskinan.
Menurut dia, program-program pemerintah untuk jaring pengaman sosial secara tertulis sudah cukup baik. Namun, implementasinya perlu diperbaiki. Sebab, anggaran yang berubah-ubah berdampak pada eksekusi di lapangan dan membuat masyarakat menunggu terlalu lama.
"Kesulitan juga terjadi karena data. Apalagi, pemerintah daerah hanya sedikit yang memperbarui DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) di tempat masing-masing," kata dia.
Pandemi mengganggu aktivitas ekonomi sehingga akhirnya memengaruhi pendapatan masyarakat.
Selain itu, berbagai insentif pemerintah untuk UMKM yang menampung banyak pekerja sektor informal perlu dipermudah. Prosedur yang sulit justru mengurungkan niat para pelaku usaha. "Bagi saya, yang penting dari itu semua, pemerintah harus mengantisipasi agar jumlah penduduk miskin tidak meledak dalam jumlah besar," katanya.
Kepala BPS Suhariyanto dalam paparannya menyampaikan, pandemi Covid-19 membawa dampak yang luar biasa. "Pandemi mengganggu aktivitas ekonomi sehingga akhirnya memengaruhi pendapatan masyarakat," kata Suhariyanto dalam konferensi pers virtual, Rabu (15/7).
Menurut catatan BPS, kenaikan tingkat kemiskinan terjadi di perkotaan dan perdesaan. Pada Maret, kemiskinan di perkotaan mencapai 7,38 persen, naik dibandingkan dengan September 2019 yang sebesar 6,56 persen. Sementara, di perdesaan kemiskinan mencapai 12,82 persen, mengalami kenaikan dari 12,6 persen.
Ia mengungkapkan, berdasarkan survei BPS, sebanyak 7 dari 10 orang masyarakat berpendapatan rendah atau pendapatan kurang dari Rp 1,8 juta per bulan mengalami penurunan pendapatan. Begitu pula untuk yang berpendapatan tinggi di atas Rp 7,2 juta per bulan, sebanyak 3 dari 10 orang mengaku mengalami hal yang sama. "Pandemi menghantam seluruh lapisan masyarakat. Dengan catatan, jauh lebih besar ke masyarakat lapisan bawah," kata Suhariyanto.
Dari hasil survei tersebut, maka pada Maret 2020, nominal pengeluaran yang menjadi batas garis kemiskinan sebesar Rp 454.652 per kapita atau Rp 2.118.678 per rumah tangga miskin. Suhariyanto menuturkan, peranan komoditas makanan terhadap garis kemiskinan tersebut lebih besar, yakni sebesar 73,86 persen. Sisanya, 26,14 persen disumbang komoditas makanan.
Secara wilayah, peningkatan kemiskinan tertinggi terjadi di DKI Jakarta yang naik naik 1,11 persen. Kendati demikian, terdapat pula daerah yang mengalami penurunan kemiskinan. Penurunan terbesar terjadi di Sulawesi Tengah, yakni 0,26 persen.
Ia menambahkan, bertambahnya tingkat kemiskinan juga diiringi peningkatan kedalaman serta keparahan kemiskinan. Indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan dan perdesaan naik sehingga indeks meningkat ke 1,61 poin dari posisi September 1,50 poin. Selanjutnya, indeks keparahan kemiskinan naik dari 0,36 poin menjadi 0,38 poin.
"Jadi, bisa kita lihat bahwa karena ada Covid-19, jumlah penduduk miskin dan persentasenya, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan juga meningkat," kata Suhariyanto.
Selain pandemi Covid-19 yang menekan aktivitas ekonomi, terdapat tiga faktor lain yang turut menyumbang angka kemiskinan, yakni pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga yang mengalami perlambatan, terpuruknya sektor pariwisata, serta harga eceran komoditas pokok yang naik.
Bisa kita lihat bahwa karena ada Covid-19, jumlah penduduk miskin dan persentasenya, indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan juga meningkat.
Ia menjelaskan, pandemi Covid-19 membuat harga sembako mengalami kenaikan. Pada periode September 2019-Maret 2020, harga eceran beberapa komoditas pokok mengalami kenaikan. Harga beras naik 1,78 persen, daging ayam ras 5,53 persen, minyak goreng 7,06 persen, telur ayam ras 11,10 persen, serta gula pasir 13,35 persen.
Selain persoalan harga sembako yang naik dan memberikan kontribusi besar pada profil kemiskinan nasional, sektor pariwisata ikut menyumbang tingkat kemiskinan Indonesia per Maret 2020. Ia menyampaikan, kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada Maret 2020 anjlok 64,11 persen dibandingkan dengan Maret 2019.
"Meskipun pemerintah resmi mengumumkan kasus Covid-19 pada bulan Maret, sektor pariwisata dan pendukungnya sudah mulai terdampak sejak Februari," katanya.
Suhariyanto menambahkan, rasio Gini atau tingkat ketimpangan masyarakat juga semakin tinggi. Rasio Gini pada Maret 2020 tercatat sebesar 0,381 poin atau naik tipis dari posisi September 2020 sebesar 0,380 poin. Ia juga menyampaikan, peningkatan rasio Gini tertinggi terjadi di DKI Jakarta dengan kenaikan 0,008 poin. Sedangkan, penurunan tertinggi terjadi di Kalimantan Timur yang sebesar 0,007 poin. Namun, secara umum, mayoritas provinsi di Indonesia mengalami kenaikan rasio Gini.

"Kenapa terjadi (kenaikan)? Karena pandemi Covid-19 membuat pendapatan seluruh lapisan masyarakat turun. Lapisan masyarakat bawah lebih tajam penurunannya dibandingkan dengan lapisan atas," kata Suhariyanto.
Sementara itu, BPS Jawa Timur mencatat jumlah penduduk miskin di Jawa Timur pada Maret 2020 mencapai 4,4 juta jiwa atau 11,09 persen dari total penduduk. Jumlah itu bertambah 363 ribu jiwa dibandingkan dengan kondisi September 2019 yang sebesar 4,05 juta jiwa atau setara 10,20 persen dari total penduduk.
"Selama periode September 2019-Maret 2020, persentase penduduk miskin Jawa Timur mengalami kenaikan sebesar 0,89 poin persen, yaitu dari 10,20 persen pada September 2019 menjadi 11,09 persen pada Maret 2020," kata Kepala BPS Jatim Dadang Hardiwan.
Di Provinsi Lampung, jumlah penduduk miskin mencapai 1,05 juta orang pada Maret 2020. Jumlah tersebut naik 12,34 persen atau 7,84 ribu orang dibandingkan pada September 2019 sebesar 1,04 juta orang. "Namun, jika dibandingkan dengan Maret tahun sebelumnya, jumlah penduduk miskin menurun sebanyak 14,34 ribu orang,” kata Kepala BPS Provinsi Lampung Faizal Anwar.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.