Opini
Bertani di Pekarangan
Pekarangan bisa memberikan sumbangan antara 7 hingga 45 persen pendapatan petani.
KUNTORO BOGA ANDRI, Kepala Biro Humas dan Informasi Publik, Kementerian Pertanian
Home garden atau konsep bertani di pekarangan memiliki potensi luar biasa untuk dikembangkan. Bertani di pekarangan, saat ini tidak hanya sebatas gaya hidup modern yang sehat (healthy life) atau sadar lingkungan (green living), tetapi juga terkait ketahanan pangan warga.
Sebuah kajian University of Sheffield menyatakan, pemanfaatan lahan hijau dan taman dengan luas 10 persen dari total di wilayah kota, mampu menyediakan 15 persen kebutuhan pangan warga kota.
Mereka menjelaskan, ’’Area perkotaan sebenarnya cocok untuk membudidayakan tanaman hortikultura (buah dan sayur).’’ Ditambahkan, home garden di perkotaan bisa berperan penting dalam meningkatkan ketahanan pangan lokal, dan warga mampu mengakses pangan segar bernutrisi.
Lembaga penelitian sayuran dunia (AVRDC) menyatakan, di beberapa negara Asia Pasifik, lahan tanam seluas 35 meter persegi dapat menghasilkan sayuran rata-rata 750 gram per hari sepanjang tahun, atau mencapai 225 kg per bulan.
Hasil analisis nutrisi juga menunjukkan, kebun sayur keluarga dapat menyediakan lebih dari 100 persen vitamin A dan C untuk kebutuhan sehari-hari, serta zat besi dan protein.
Jika hasil panen tersebut dibagi secara merata untuk satu keluarga yang beranggotakan empat orang, setiap jiwa dapat mengonsumsi sayuran mendekati anjuran Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) sebesar 187 gram per kapita per hari.
Data ini selaras dengan hasil penelitian di dua provinsi India, yang menyimpulkan, keluarga yang memiliki kebun sayur seluas 36 meter persegi (6m x 6m) mampu menyediakan asupan sayuran, seperti yang direkomendasikan FAO.
Hasil analisis nutrisi juga menunjukkan, kebun sayur keluarga dapat menyediakan lebih dari 100 persen vitamin A dan C untuk kebutuhan sehari-hari, serta zat besi dan protein.
Selanjutnya diungkapkan, antara 1990 sampai dengan 2000, AVRDC telah menerapkan program kebun sayur dengan responden sebanyak 30 ribu rumah tangga di Bangladesh, Kamboja, Nepal, dan Filipina. Program tersebut meningkatkan konsumsi sayuran secara signifikan.
Penerapan kebun sayur ini juga meningkatkan pendapatan rumah tangga di berbagai negara tersebut. Di samping itu, kebun sayur di Bangladesh secara nyata pula menurunkan prevalensi penyakit anemia.
Saat ini, pemerintah menjalankan program bercocok tanam di pekarangan dengan nama Pekarang Pangan Lestari (P2L). Program P2L yang bergerak di tengah krisis akibat pandemi Covid-19, sangat bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan pangan keluarga.
Tahun ini, P2L tahap-tahap penumbuhan telah menyasar 1.500 kelompok yang tersebar di 31 provinsi. Sedangkan tahap pengembangan, sudah mencakup 2.100 kelompok yang tersebar di 34 provinsi.
Nilai ekonomi dan gizi
Pertanian pekarangan sangat strategis diaplikasikan di Indonesia. Luas lahan pekarangan Indonesia sekitar 10,3 juta hektare. Angka tersebut lebih luas dibandingkan lahan baku sawah kita yang “hanya” 7,46 juta hektare.
Luas lahan pekarangan tersebut, setara dengan 14 persen dari keseluruhan luas lahan pertanian nasional. Sebanyak sepertiga dari pekarangan tersebut ada di perkotaan. Sementara pada umumnya, lahan pekarangan masih banyak yang belum dimanfaatkan secara optimal.
Luas lahan pekarangan Indonesia sekitar 10,3 juta hektare. Angka tersebut lebih luas dibandingkan lahan baku sawah kita yang “hanya” 7,46 juta hektare.
Di sisi lain, permasalahan pokok ketahanan pangan nasional masih berputar sekitar ancaman terhadap ketahanan masyarakat, terutama kerawanan pangan.
Kondisi ini terjadi karena di daerah tersebut memiliki masalah terkait dukungan penanaman tanaman pangan, dan rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap pangan. Permasalahan lain adalah tingkat konsumsi sebagian penduduk Indonesia masih di bawah anjuran pemenuhan gizi (sesuai Pola Pangan Harapan/PPH).
Konsumsi per kapita sayuran dan buah di Indonesia, masih sangat rendah. Saat ini, angka konsumsi sayuran dan buah kita masih berkisar pada angka 40 kg per tahun atau sebesar 113 gram per kapita per hari.
Sementara itu, rekomendasi FAO dan WHO untuk konsumsi sayuran dan buah sebesar 75 kg per tahun atau 200 gram per kapita per hari. Sebagai perbandingan, tingkat konsumsi sayur di Thailand ialah 300 kg per kapita per tahun.
Negara-negara yang tingkat konsumsinya lebih tinggi daripada Indonesia ialah Singapura, yang mengonsumsi 120 kg per kapita per tahun, kemudian Cina mengonsumsi 270 kg per kapita per tahun, dan Kamboja yang mengonsumsi 109 kg per kapita per tahun.
Padahal, konsumsi sayuran dan buah-buahan sangat penting untuk kesehatan manusia karena kandungan mikro-nutriennya (vitamin dan mineral).
Konsumsi sayuran dan buah-buahan yang cukup, dapat mengurangi risiko menderita berbagai penyakit akut, seperti diabetes, kanker usus, kanker colo-rectal, dan penyakit kardiovaskular atau gangguan jantung.
Padahal, konsumsi sayuran dan buah-buahan sangat penting untuk kesehatan manusia karena kandungan mikro-nutriennya (vitamin dan mineral).
Membangkitkan minat
Beberapa studi mengungkapkan, pertanian pekarangan, di samping dapat memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga, juga berkontribusi pada penghasilan keluarga. Secara umum, pekarangan dapat memberikan sumbangan antara 7 hingga 45 persen pendapatan petani.
FAO pada 2004 mendapatkan hasil studi yang mengungkapkan, pekarangan memberi sumbangan terbesar pada off season petani perdesaan, serta menyumbang 25 persen pendapatan petani miskin.
Selain itu, bercocok tanam di pekarangan rumah warga juga dapat dilakukan setiap saat, mudah dijangkau, menghemat waktu, ekonomis, efisien, dan efektif.
Rendahnya minat generasi muda pada dunia pertanian merupakan hal ironis, mengingat Indonesia merupakan salah negara agraris beriklim tropis.
Untuk itu, Kementan menjalankan program Pertanian Masuk Sekolah (PMS), dengan tujuan pengenalan model pertanian pekarangan atau kebun keluarga kepada siswa. Pendekatan kebun sayur PMS yang dirancang di lahan sekolah cocok direplikasi di pekarangan sempit.
Terdapat beberapa alasan untuk menanam sayuran di halaman, selain memenuhi kebutuhan sayur, sebagai hobi dan penyediaan makanan sehat bebas bahan kimiawi.
Hal ini sesuai dengan kondisi umum pekarangan keluarga Indonesia yang sempit. Secara konsep, PMS dapat mengedukasi siswa bertani sayuran dan buah, serta mengonsumsi sayuran dan mengatasi kekurangan gizi yang sering dialami para siswa sekolah.
Terdapat beberapa alasan untuk menanam sayuran di halaman, selain memenuhi kebutuhan sayur, sebagai hobi dan penyediaan makanan sehat bebas bahan kimiawi.
PMS bertujuan mempromosikan bertani di pekarangan, sekaligus minat konsumsi sayuran siswa melalui pengenalan model kebun sayur sekolah. Siswa mengetahui bermacam-macam manfaat sayuran dan cara budi daya/pemeliharaannya.
Dengan bertambahnya pengetahuan siswa diharapkan, mereka dapat menerapkan konsep kebun sayur dan pemanfaatan sumber daya lokal di lingkungannya. Selanjutnya, diharapkan siswa dapat menerapkan konsep tersebut di keluarga masing-masing.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.