Takmir menyalurkan zakat fitrah ke rumah warga miskin di Desa Ilie Ulee Kareng, Banda Aceh, Aceh, Sabtu (23/5). | IRWANSYAH PUTRA/ANTARA FOTO

Opini

Indonesia dan Ornamen Kemakmuran

Menjadi negara makmur sembari mengurai ketimpangan dan kemiskinan ibarat maraton.

AZHAR SYAHIDA, Peneliti di Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia

Per 1 Juli 2020, Indonesia resmi berpredikat negara berpenghasilan menengah tinggi. Ini tentu berita gembira. Namun, di balik itu, masih terdapat berjibun catatan yang sepatutnya kita perhatikan.  

Dalam konteks kelas pendapatan negara, kita kalah cepat dari Thailand dan Malaysia. Apalagi, dengan raksasa kedua ekonomi dunia, Cina. Malaysia menjadi negara berpenghasilan menengah tinggi sejak 1992, Thailand dan Cina masing-masing pada 2010. 

Dengan potensi bonus demografi dan sumber daya alam yang melimpah, seyogianya kita merenung dan berpikir ulang, mengapa baru sekarang.   

Di sisi lain, naiknya Indonesia menjadi negara berpenghasilan menengah tinggi bukan berarti kesejahteraan masyarakat lebih terjamin. Sebab, label tersebut belum mencerminkan isu ketimpangan dan kemiskinan yang masih menggurita di negeri ini.

 
Masih ada bayang-bayang besar yang menghantui negeri ini, yaitu jebakan negara berpendapatan menengah.
 
 

Maka dari itu, Indonesia harus jeli. Selain isu krusial ketimpangan dan kemiskinan yang masih melilit Indonesia, di balik kenaikan kelas tersebut masih ada bayang-bayang besar yang menghantui negeri ini, yaitu jebakan negara berpendapatan menengah.

Kondisi tersebut,  sebetulnya menggambarkan kekurangcakapan institusi negara dalam menciptakan pendapatan yang layak bagi masyarakat.

Misalnya saja, hingga saat ini, meski angka kemiskinan Indonesia terus menurun, paling tidak sejak 1998 hingga September 2019, dari 49,5 juta menjadi 24,7 juta, Indonesia masih menanggung 66,7 juta penduduk hampir dan rentan miskin.

Belum lagi kecepatan penurunan tingkat kemiskinan yang jauh tertinggal dari Vietnam dan Cina. Pada 2002-2016, dengan menggunakan garis kemiskinan 1,9 dolar AS per hari, tingkat kemiskinan Indonesia hanya turun 16,3 persen, rata-rata setahun 1,08 persen. 

Sementara Vietnam dan Cina, pada periode yang sama, tingkat kemiskinannya masing-masing turun 36 persen dan 31,2 persen, rata-rata setahun turun 2,4 persen dan 2,08 persen. Hampir dua kali lipat rata-rata penurunan tingkat kemiskinan Indonesia. Tentu, ini patut menjadi bahan evaluasi.   

 
Untuk menjadi negara makmur sembari mengurai ketimpangan dan kemiskinan ibarat perlombaan maraton yang membutuhkan tenaga ekstra.
 
 

Pembenahan

Dalam hal ini, kita perlu mengingat, untuk menjadi negara makmur sembari mengurai ketimpangan dan kemiskinan ibarat perlombaan maraton yang membutuhkan tenaga ekstra.

Sehingga, kita mesti memikirkan strategi pembenahan untuk memastikan kelayakan pendapatan masyarakat. Paling tidak ada tiga hal harus menjadi fokus ke depan. Pertama, memperkuat sektor pertanian. 

Hal sederhana yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki pendapatan masyarakat menengah bawah adalah perbaikan insentif di sektor pertanian. Kurang lebih, 38 juta atau 29 persen tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor pertanian. 

Maka, pengembangan sektor pertanian yang memberi keyakinan penuh kepada petani untuk terus berproduksi adalah satu keharusan. 

Dengan kata lain, pembangunan sektor pangan tak boleh dikooptasi pelaku bisnis besar yang hanya membuat petani mati kelaparan di lumbung padi. Sistem kepemilikan lahan petani mesti diperkuat. Harga ditingkat petani dijaga. 

Sistem distribusi pupuk, peralatan dan infrastruktur penunjang, mesti diperbaiki. Termasuk, sistem distribusi benih unggul yang bisa meningkatkan produktivitas lahan.

 
Hanya, yang masih jadi catatan kita, pertumbuhan upah tak sejalan dengan pertumbuhan produktivitas. 
 
 

Paling tidak, penguatan lapangan kerja di sektor pertanian dengan basis kepemilikan yang kuat oleh petani, akan mendekatkan petani pada pendapatan yang lebih layak.

Kedua, reindustrialisasi yang harus dilakukan dengan jeli untuk menghindari bias generalisasi ragam industri. Jika suatu daerah lebih cocok industri padat karya, jenis industri itulah yang harus dikembangkan agar tetap menyerap tenaga kerja.

Hanya, yang masih jadi catatan kita, pertumbuhan upah tak sejalan dengan pertumbuhan produktivitas. Selama 2001-2016, pendapatan riil di berbagai sektor hanya tumbuh 1,7 persen per tahun sementara produktivitas tumbuh 3,7 persen (Tadjoeddin dan Chowdhury, 2019).

Pada prinsipnya, reindustrialisasi untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat, sehingga langkah Indonesia mendorong pertumbuhan ekonomi tidak hanya berbicara statistik yang tinggi, tetapi juga memperhatikan kualitas dari pertumbuhan itu sendiri.

Ketiga, untuk mendukung reindustrialisasi, dibutuhkan pasokan SDM unggul. Maka, pemerintah perlu menyiapkan para ahli yang kompeten. Pembangunan SDM tak hanya menyesuaikan kebutuhan pasar, yang lebih penting adalah melahirkan ahli-ahli yang inovatif. 

Konsekuensi logisnya, kita mesti meningkatkan rata-rata tingkat pendidikan penduduk bekerja Indonesia. Pembangunan SDM tentu pekerjaan jangka panjang yang melelahkan. 

Namun, ini harus dilakukan jika memang Indonesia ingin memaknai kenaikan kelas menjadi negara berpenghasilan menengah tinggi sebagai momentum kebangkitan.  

Akhirnya, hal mendasar yang perlu direnungkan bersama, negeri ini teramat besar untuk sekadar terjebak dalam negara berpendapatan menengah, yang tidak banyak memberi kemakmuran pada masyarakat. 

Banyak negara lain yang jauh lebih berhasil, yang sebetulnya sumber dayanya lebih terbatas. Maka, kini yang dibutuhkan hanya perpaduan antara kapasitas kepemimpinan, kemauan, dan sistem kelembagaan yang kredibel. Semoga kita berhasil. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat