Nusantara
Dispar Ingin Pertahankan Wisata Baduy
Suku Baduy mengeluhkan sampah yang dibawa wisatawan.
LEBAK -- Aspirasi seorang ketua adat yang mengirimkan surat permohonan penutupan wisata suku Baduy di Kabupaten Lebak kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), mendapat tanggapan Dinas Pariwisata (Dispar) Kabupaten Lebak, Banten. Kepala Bidang (Kabid) Destinasi Dispar Kabupaten Lebak, Luli Agustina, mengatakan, pihaknya masih mengkonfirmasi wacana penutupan itu kepada para pemangku adat suku Baduy.
Menurut dia, pilihan menutup wisata di area suku Baduy sulit direalisasikan. Pasalnya, selain kawasan sudah ditetapkan sebagai tujuan wisata unggulan, selama ini juga menjadi favorit wisatawan lokal hingga mancanegara untuk berkunjung. Karena itu, Luli ingin mempertahankan status wisata Baduy seperti sekarang.
"Kalau pun misalnya benar ditutup kan namanya wisatawan terus datang. Seperti kemarin ditutup sementara untuk memutus penyebaran Covid-19, tapi tetap saja wisatawan itu ada yang datang," jelas Luli di Kabupaten Lebak, Selasa (7/7).
Dibukanya kegiatan wisata suku Baduy merupakan upaya untuk menata aktivitas pariwisata budaya di Kabupaten Lebak. Jika memang ada pemangku adat ingin menutup wilayahnya, hal itu tidak otomatis membuat wisatawan berhenti berkunjung. "Artinya ini tidak bisa dibendung begitu saja," kata Luli.
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lebak, menurut Luli, terus berkomitmen untuk menjaga adat dan budaya suku Baduy sebagai salah satu syarat aktivitas wisata di kawasan Lebak selatan tersebut. Dia menuturkan, wisata budaya dipadu alam tersebut sangat digemari wisatawan karena karena keunikan suku Baduy itu sendiri. Dispar pun menyadari jika orang-orang datang karena ingin melihat kehidupan dan suasana tempat tinggal suku Baduy yang masih menjaga adat dan budaya leluhur.
"Nilai budaya sebenarnya yang memang jadi daya tarik Baduy dan kita juga inginkan itu. Kalau mempertahankan adat kan dari masyarakat Baduy-nya, jadi seperti apa permintaan warga, pemerintah akan mengikuti," ujar Luli.
Dispar Kabupaten Lebak akhirnya belum bisa memberi tanggapan terkait permohonan penutupan wisata tersebut. Hal itu lantaran aspirasi yang disampaikan apakah resmi datang dari lembaga pemangku adat atau perseorangan. Dia menegaskan, berdasarkan informasi yang diterima, permohonan penutupan wisata itu belum menjadi keputusan resmi lembaga adat. "Kita harus kaji dulu, makanya kita inisiasi untuk ketemu ke jaro pemerintahan," ujar Luli.
Kepala Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Jaro Saija, juga mengklarifikasi bahwa permintaan penutupan lokasi wisata tersebut belum dimusyawarahkan dengan para ketua adat lainnya. Kendati demikian, Saija membenarkan, ada salah seorang ketua adat yang mengirim surat permohonan penutupan wisata kepada Presiden Jokowi.
"Permintaan itu tanpa musyawarah sama puun (ketua adat tertinggi), jaro tangtu (ketua adat), atau kepala desa. Harusnya kan musyawarahkan dulu gimana bagusnya," jelas Saija.
Memang ada aspirasi terkait penutupan wisata Baduy karena khawatir nilai dan budaya suku yang masih menjaga tradisi itu bakal terkikis karena aktivitas pariwisata.
JARO SAJJA, Kepala Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.
Namun, sambung dia, hingga kini nilai-nilai adat Baduy faktanya masih tetap dipertahankan, sehingga aktivitas wisata tetap dibuka. "Dari dulu nggak mau wisata atau Baduy dijadikan daerah pariwisata. Soalnya kalau daerah wisata harus dikembangkan supaya pengunjung tertarik," kata Saija.
Saat ini Desa Kanekes sudah tiga bulan menutup dari dari kunjungan orang luar. Hanya saja, penutupan itu lebih dipicu adanya ritual kawalu yang memang melarang wisatawan masuk, sekaligus mencegah penyebaran Covid-19. Saija pun berjanji untuk melakukan komunikasi internal dengan salah satu ketua adat yang menginginkan wilayahnya tidak lagi menerima wisatawan. Hal itu lantaran bagaimana pun juga, menurut Saija, masalah itu juga mesti dikoordinasikan dengan Pemkab Lebak dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten.
Warung liar
Banyaknya warung liar dan sampah di sekitar permukiman Baduy yang dibawa pengunjung, disebut sebagai alasan suku Baduy meminta kegiatan wisata dihentikan permanen. Bupati Lebak, Iti Octavia Jayabaya, menyebut, dua masalah itu dianggap telah mengganggu keasrian lingkungan tempat tinggal suku Baduy. "Kalau menurut saya ini masih bisa dikomunikasikan dengan mereka," kata Iti.
Dia mengatakan, beberapa solusi untuk keluhan warga Baduy, adalah nantinya bisa memperjelas maklumat bagi wisatawan untuk taat dalam menjaga kebersihan tanah adat Kanekes. Kendati berharap wisata tetap dibuka, Iti menyebut, pemkab siap mengikuti apapun kebijakan pemangku adat Baduy. "Mungkin nanti perlu diperketat jadi ketika pengunjung datang harus bawa kantong sampah atau plastik, karena pencemaran di sana juga sudah cukup tinggi," katanya.
Baduy merupakan suku yang hidup secara mandiri di pedalaman Banten. Mereka hidup secara sederhana dan menyatu dengan alam. Lingkungan mereka masih alami dan budaya yang ditawarkan oleh kampung suku Baduy menjadi daya tarik wisata tersendiri bagi daerah ini.
Kampung Wisata Suku Baduy terletak di Desa Cibeo Kabupaten Lebak. Sekitar 40 Km dari Rangkasbitung. Untuk mencapai ke Kampung Baduy yang terletak sekitar 40 km dari Rangkasbitung, Banten, wisatawan dianjurkan untuk menaiki bus atau kereta api saja dan berhenti di Kabupaten Rangkas Bitung. Dari sana, perjalanan dilanjutkan menuju Ciboleger, yang merupakan pintu masuk untuk menuju Kampung Baduy.
Asal-usul kata suku ini, yaitu Baduy, sebenarnya berasal dari kata Badawi atau Bedoin yang diberikan oleh seorang peneliti Belanda. Namun, karena aksen warga setempat, kata tersebut pada akhirnya bergeser menjadi kata Baduy.
Diperkirakan ada 5000-8000 orang suku Baduy. Luas yang mencapai kurang lebih 5000 hektar, wilayah suku baduy ini memiilki 56 kampung dan terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu Baduy dalam yang terdiri dari 3 kampung dan Baduy luar yang terdiri dari 53 kampung.
Pada wilayah Baduy dalam, kalian sudah tidak lagi diperbolehkan untuk mengambil foto. Di sini sangat dianjurkan untuk menggunakan jasa pemandu wisata. Karena pada perkampungan Baduy terdapat adat istiadat dan pantangan yang harus dipatuhi oleh semua yang berada di dalamnya termasuk pengunjung.
Mereka masih memegang teguh adat istiadat dan aturan dari nenek moyang. Suku ini dibagi menjadi dua, yaitu suku Baduy dalam dan suku Baduy luar. Secara penampilan, suku Baduy dalam memakai baju dan ikat kepala serba putih. Sedangkan suku Baduy luar memakai pakaian hitam dan ikat kepala berwarna biru.
Secara budaya, suku Baduy dalam lebih teguh memegang adat istiadat suku mereka, sedangkan suku Baduy luar sudah mulai terpengaruh dengan budaya dari luar. Persamaan dari keduanya, mereka pantang untuk menggunakan alas kaki, teknologi modern dan transportasi modern.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.