Analisis
Ganjaran dan Hukuman di Era New Normal
Dalam jangka panjang hanya protokol new normal yang menjadi pilihan paling masuk akal.
Oleh IMAN SUGEMA
OLEH IMAN SUGEMA
Sejatinya, hidup ini adalah menentukan pilihan dari berbagai alternatif yang bisa kita pilih. Sayangnya, tidak selamanya kita memiliki alternatif yang menyenangkan. Salah satu contoh yang paling aktual adalah pandemi Covid-19 yang sama sekali tidak menyediakan alternatif yang menyenangkan.
Dalam menyikapi Covid-19, alternatif kebijakan yang kita tempuh sebenarnya hanya tiga pilihan, yakni herd immunity (imunitas gerombol), lock down (penutupan kegitan sosial), dan protokol new normal (normal baru). Sebelum membahas dua alternatif ini, mari kita bahas latar belakangnya terlebih dahulu.
Perlu saya tegaskan bahwa hal ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan alasan ekonomi. Banyak sekali pemerintahan di berbagai penjuru dunia secara salah berargumentasi bahwa alasan memilih protokol new normal karena ekonomi akan ambruk kalau kita mengadopsi lock down atau shut down. Setelah Anda mengikuti uraian singkat di bawah ini, Anda akan tahun bahwa lock down dan herd immunity hanyalah merupakan solusi sementara (interim solution). Yang kita akan bahas adalah solusi jangka panjang.
Virus SARS-CoV 2 adalah jenis virus influensa yang akan terus mengalami mutasi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa jenis virus yang beredar di Indonesia berbeda dengan yang beredar di Cina maupun di Amerika Utara.
Artinya, sejauh ini belum ada kepastian bahwa herd immunity akan membawa imunitas secara permanen.
Tampaknya, yang beredar di Brasil dan beberapa negara Amerika Latin juga berbeda. Temuan ini menunjukkan secara tidak langsung bahwa virus ini telah bermutasi. Ada beberapa implikasi penting yang harus kita pahami dalam situasi seperti ini.
Pertama, kalaupun suatu saat akan ditemukan vaksin kita tidak tahu apakah vaksin akan memberikan proteksi kepada semua strain atau jenis SARS-CoV 2? Kalau vaksin yang ditemukan di Amerika ternyata tidak hanya memberikan imunitas bagi virus lokal maka di belahan dunia lain harus diciptakan vaksin yang berbeda. Terlebih penting lagi, orang yang sudah divaksin tetap rentan terhadap jenis virus yang lain.
Hal tersebut juga berlaku bagi negara yang mengadopsi herd immunity, seperti Swedia. Walaupun, penduduk di Swedia telah secara alamiah mendapatkan imunitas terhadap virus tertentu, akan tetapi mereka tidak serta merta kebal terhadap infeksi virus yang berasal dari Australia misalnya. Artinya, sejauh ini belum ada kepastian bahwa herd immunity akan membawa imunitas secara permanen.
Harap diingat semakin luas persebaran virus ke seluruh dunia dengan keragaman etnis dan geografis maka kemungkinan mutasi akan sangat beragam. Dalam konteks ini, herd immunity menjadi pilihan yang sulit untuk diwujudkan. Kalaupun bukan pilihan yang sia-sia, herd immunity hanya memberikan imunitas yang terbatas.
Kedua, negara-negara yang saat ini telah sukses menekan angka penularan melalui strategi lock down akan tetap menghadapi bahaya gelombang penularan kedua dan seterusnya. Setelah lock down, Italia dan Spanyol tetap menerapkan protokol anti penularan yang sangat ketat. Artinya, dalam jangka panjang protokol new normal akan tetap menjadi pilihan terlepas dari sukses tidaknya strategi lock down.
Ketiga, tampaknya kita harus sudah menyadari bahwa Covid-19 akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari entah sampai kapan. Kita hanya berharap bahwa kecepatan mutasinya tidak terlalu cepat dan beragam sehingga para peneliti mampu mengimbanginya dengan kecepatan penemuan vaksin.
Masyarakat harus dididik hanya mau berinteraksi di unit-unit yang taat saja.
Kalaupun demikian, kita hanya bisa berharap semoga fatality rate yang menyertai mutasi semakin rendah. Harapan ini bukan tanpa alasan karena tubuh manusia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri melalui mekanisme pertahanan antibodi.
Keempat, tampaknya dalam jangka panjang hanya protokol new normal yang menjadi pilihan paling masuk akal. Tentu kita sadar bahwa tingkat efektivitas strategi ini sangatlah bergantung pada kesadaran masyarakat. Karena itu mekanisme reward (ganjaran) dan punishment (hukuman) tampaknya akan menjadi instrumen yang sangat penting.
Ganjaran sebaiknya diberikan kepada komponen masyarakat yang konsisten menerapkan protokol kesehatan berupa berbagai fasilitas keringanan maupun ganjaran sosial. Insentif keringanan pajak dan subsidi bunga bisa saja diberlakukan terbatas bagi pelaku usaha yang patuh mentaati protokol kesehatan. Terlebih penting lagi adalah ganjaran sosial.
Masyarakat harus dididik hanya mau berinteraksi di unit-unit yang taat saja. Hanya tempat ibadah, kios atau tempat olah raga yang menerapkan protokol kesehatan secara ketat saja yang layak untuk dikunjungi.
Hukuman formal bagi yang tidak taat merupakan masalah tersendiri. Selama PSBB, para penegak hukum tampak kedodoran dalam mendisiplinkan masyarakat. Mungkin kita hanya bisa berharap agar sebagian besar masyarakat dapat secara konsisten memberikan sanksi sosial. Sebagai contoh, kalau ada mal yang tidak taat menerapkan protokol kesehatan maka masyarakat sebaiknya menjauhi tempat seperti itu.
Sampai titik ini, tampaknya efektivitas new normal akan sangat bergantung pada kesadaran masyarakat. Peran pemerintah pusat dan daerah serta tokoh masyarakat lebih dititikberatkan pada pendidikan dan penerangan tentang pentingnya menerapkan protokol kesehatan di semua lini kehidupan.
Kalaupun hanya 70 persen saja masyarakat yang konsisten dan taat, maka new normal akan berhasil secara efektif. Kalau kurang dari 50 persen saja, kita akan menyaksikan ledakan penyakit Covid-19 dan juga ledakan kematian. Segala sesuatunya kini berada di tangan kita semua.K
Kalau kurang dari 50 persen saja, kita akan menyaksikan ledakan penyakit Covid-19 dan juga ledakan kematian.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.