Kisah Mancanegara
Ketika Sekolah di Amerika tak Lagi Tentang Belajar
Siswa sekolah dasar hingga mahasiswa perguruan tinggi harus membiasakan diri belajar daring.
OLEH RIZKY JARAMAYA
Pandemi virus korona telah memukul hampir seluruh sektor kehidupan di Amerika Serikat (AS), termasuk pendidikan. Para siswa di sekolah dasar dan menengah, hingga mahasiswa perguruan tinggi harus membiasakan diri belajar dari rumah secara daring, untuk mencegah penyebaran virus yang disebut sebagai Covid-19.
Di Negeri Paman Sam, mahasiswa perguruan tinggi terpaksa meninggalkan asrama dan pulang ke tempat asal mereka masing-masing. Bahkan, sejumlah perguruan tinggi mulai menurunkan tes standar seperti Scholastic Aptitude Test (SAT) dalam penerimaan mahasiswa barunya. Perubahan ini memang bersifat sementara, namun tidak menutup kemungkinan akan berlangsung selamanya.
Pergeseran sistem pendidikan ini telah membuat sejumlah mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di AS meminta agar uang pembayaran kuliah mereka dikembalikan. Di sisi lain, perguruan tinggi mendapatkan tekanan keuangan selama pandemi virus korona karena jumlah mahasiswa yang berkurang.
Pendaftaran mahasiswa baru diprediksi menurun 15 persen, sementara pendaftaran mahasiswa internasional turun 25 persen. Hal ini menyebabkan perguruan tinggi kehilangan pendapatan sebesar 23 miliar dolar AS.
Tak hanya itu, sebanyak 345 perguruan tinggi di AS diprediksi akan tutup dalam jangka waktu enam tahun mendatang. Selama bertahun-tahun sebelum terjadi pandemi virus korona, sejumlah analis pendidikan memperkirakan, separuh dari perguruan tinggi di AS akan tutup karena turunnya angka pendaftaran mahasiswa.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah populasi orang yang menua, serta penurunan teknologi. University of Akron, di Ohio bahkan telah menutup enam dari 11 perguruan tinggi karena menurunnya pendapatan akibat virus korona.
Namun, warna-warni di industri pendidikan di AS bukan hanya itu. Sudah sejak lama, masyarakat di AS yang ingin meneruskan pendidikan di perguruan tinggi harus berhadapan dengan masa depan penuh hutang akibat student loan.
Tingginya harga yang harus dibayar ini, ternyata tak sebanding dengan tingkat kualitas pendidikan yang akan diterima mahasiswa. Apabila dulu di universitas-universitas AS dikenal konsep pengajar tenure yang berfokus pada riset dan peningkatan kualitas pendidikan, kini universitas-universitas di AS memiliki pendekatan berbeda.
Konsep pengajar adjunct lebih diprioritaskan. Adjunct Professor adalah seseorang yang diangkat oleh universitas untuk mengajar atau melakukan kegiatan lain bukan sebagai staf tetap, namun memberikan kontribusi secara periodik.
Para adjunct professor ini memiliki beban kerja hampir serupa profesor tenure namun dengan bayaran yang tidak signifikan. Imbasnya, banyak adjunct professor yang harus bekerja di dua hingga tiga universitas tertentu demi memenuhi kebutuhan hidup.
Dengan tingginya biaya kuliah di AS, mengapa kualitas pendidikan justru mengalami kemunduran. Dalam salah satu episode Patriot Act, komedian Hasan Minhaj mengungkapkan, salah satu penyebab mahalnya harga pendidikan yang tak berbandng lurus dengan kualitas, disebabkan oleh besarnya uang yang ditanamkan para universitas ini di portfolio investasi.
Belum lama ini, Bloomberg melaporkan bahwa Universitas Harvard telah kehilangan investasi dari dana abadi kampus. Seorang manejer investasi untuk dana abadi Harvard kehilangan 200 juta dolar AS dari sebuah investasi di lahan pertanian di Brasil.
Bloomberg melaporkan bahwa Universitas Harvard telah kehilangan investasi dari dana abadi kampus.
"Bahkan, bagi Harvard yang memiliki dana abadi sebesar 39 miliar dolar AS, kehilangan itu sangat curam, setara dengan biaya yang dikeluarkan oleh sekolah Ivy League setiap tahun untuk mahasiswa strata satu," tulis Bloomberg dalam laporannya.
Harvard memiliki dana abadi hampir 40 miliar dolar AS. Dana abadi tersebut didapatkan dari sumbangan para alumni yang sebagian besar adalah orang-orang kaya.
Dana abadi ini kemudian diputar oleh Harvard untuk berinvestasi di sejumlah sektor. Mereka memberikan dana sumbangan kepada Harvard sebagai bentuk ucapan terima kasih, karena universitas itu telah memberikan kesempatan kepada para alumni untuk masuk ke dalam lingkaran sosial yang lebih baik.
Sayangnya, meski harga yang harus dibayar masyarakat untuk kuliah demikian tinggi, tak ada jaminan lulusan perguruan tinggi, akan langsung mendapat kesempatan untuk memperbaiki taraf kehidupannya. Sementara, bagi para lulusan SMA, dunia kerja di AS jelas tidak banyak mengakomodir mereka.
Oleh karena itu, banyak para orang tua yang berkeinginan anak-anak mereka mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi agar memiliki kehidupan yang lebih baik. Harvard memiliki dana abadi paling tinggi di antara perguruan tinggi lainnya, dan telah menjadi ladang bisnis.
Hal ini menempatkan Harvard menjadi perguruan tinggi yang diprogram untuk menumbuhkan perekonomian, dari dana abadi yang diinvestasikan.
Minhaj juga menyoroti beberapa perguruan tinggi kini justru menggunakan dana abadi yang dimilikinya untuk menambah fasilitas kampus dengan berbagai kemewahan. Salah satunya, University of California yang membangun kolam renang theme park. Sementara di sisi lain, perpustakaan dari universitas ini mengalami kerusakan di setiap sudutnya.
Tentu saja, hal ini tidak sesuai dengan citra perguruan tinggi sebagai tempat untuk mengenyam pendidikan. Menurut Minhaj, sudah saatnya masyarakat AS merenungkan kembali hakikat utama dari pendidikan.
Karena yang terjadi sekarang adalah, perguruan tinggi lebih mengedepankan bisnis dan gaya hidup, ketimbang fokus pada peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.