Opini
Berdaulat Pangan
Dengan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif, Indonesia bisa berdaulat pangan juga bakal mampu feeding the world.
Oleh ROKHMIN DAHURI
ROKHMIN DAHURI, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB University
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia paling hakiki karena sangat menentukan kesehatan dan kecerdasannya. Dalam jangka panjang, kekurangan pangan di suatu negara akan mewariskan generasi lemah, kurang cerdas, dan tak produktif.
Bahkan, kelangkaan dan meroketnya harga pangan acap kali menimbulkan gejolak politik yang berujung pelengseran kepala negara, seperti di Haiti, Pakistan, Argentina, dan Nigeria ketika mereka dilanda krisis pangan pada 2008.
Peran krusial pangan semakin nyata di tengah pendemi Covid-19. Negara-negara produsen pangan dunia (seperti AS, Kanada, dan Thailand) mengurangi ekspornya karena kendala logistik ataupun demi mengamankan pemenuhan kebutuhan nasionalnya.
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan, mulai sekarang kita harus membenahi subsistem dari sistem kedaulatan pangan nasional.
Awal April, FAO merilis laporan, dunia terancam krisis pangan dan kelaparan akibat wabah korona. Merespons hal itu, dalam Rapat Kabinet Terbatas, 13 April 2020, Presiden Jokowi mendorong peningkatan produksi pangan dan tak lagi bergantung pada impor.
Sebagai negara bahari dan agraris tropis terbesar di dunia dengan lahan darat dan laut yang subur, mestinya Indonesia tidak hanya bisa membangun kedaulatan pangan, tetapi juga menjadi pengekspor produk pangan ke seluruh dunia.
Ironisnya, alih-alih berdaulat pangan, kita justru defisit pangan. Setiap tahun, Indonesia mengimpor sedikitnya 0,5 juta ton beras, dua juta ton gula, 1,5 juta ton kedelai, 1,3 juta ton jagung, 12 juta ton gandum, 700 ribu ekor sapi, dan 1,5 juta ton garam industri.
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan, mulai sekarang kita harus membenahi subsistem dari sistem kedaulatan pangan nasional, yaitu produksi, industri pascapanen, konsumsi, perdagangan, logistik, SDM, dan politik-ekonomi.
Pascapandemi
Dalam jangka menengah-panjang, kita harus berinovasi maksimal agar produksi pangan melebihi kebutuhan nasional secara berkelanjutan. Di sisi produksi, kita mesti mempertahankan lahan pertanian dan perikanan yang ada, tak dialihfungsikan.
Setiap unit usaha produksi pangan harus memenuhi skala ekonominya, yakni besaran unit usaha yang menghasilkan keuntungan bersih yang menyejahterakan pelaku usaha, minimal 300 dolar AS atau Rp 4,5 juta/orang/bulan (Bank Dunia, 2010). Contohnya, skala ekonomi untuk usaha padi sawah itu 2 hektare (IPB, 2018), usaha ternak ayam petelor 3.000 ekor, usaha kebun sawit 2,5 hektare (Kementan, 2010), dan usaha budi daya udang Vaname 350 m2 kolam bundar (Dahuri et al., 2019).
Kita juga harus mengurangi food wastage (sisa pangan) yang terbuang di restoran, perkantoran, rumah tangga, dan lainnya.
Di sisi konsumsi (pasar), kita mesti diversifikasi konsumsi karbohidrat dari dominasi beras dan gandum ke sumber karbohidrat berbasis komoditas pangan lokal, seperti sagu, sorgum, tales, sukun, ubi jalar, ganyong, kimpul, dan suweg.
Program ini strategis karena selama ini, rata-rata konsumsi beras per kapita Indonesia tertinggi di dunia, yakni 130 kg per tahun, padahal konsumsi per kapita dunia 50 kg (FAO, 2018) dan konsumsi yang sehat per kapita maksimum 60 kg (Puslitbang Gizi, 1998).
Dengan potensi lahan sagu mencapai 6 juta hektare yang tersebar di beberapa provinsi dan produktivitas rata-rata 30 ton tepung sagu/hektare/tahun (IPB, 2018), dapat diproduksi 180 juta tepung sagu/tahun.
Kita juga harus mengurangi food wastage (sisa pangan) yang terbuang di restoran, perkantoran, rumah tangga, dan lainnya yang jumlahnya 25 persen dari total produksi pangan dunia (FAO, 2018).
Selain itu, kita tingkatkan konsumsi ikan per kapita, dari 50 kg saat ini menjadi 100 kg, seperti bangsa Jepang dan Islandia. Selain akan lebih menyehatkan bangsa, peningkatan konsumsi ikan dapat mengurangi impor daging sapi secara signifikan.
Indonesia punya potensi produksi ikan terbesar di dunia, sekitar 113,5 juta ton per tahun, dari perikanan budi daya 100 juta ton dan perikanan tangkap 13,5 juta ton. Namun, produksi ikan nasional baru 14 juta ton (12 persen).
Penanganan pascapanen dan industri pengolahan pangan mesti kita perkuat sebab meningkatkan daya saing. Industri pengolahan di dekat sentra produksi pangan, juga menjamin pasar komoditas pangan bagi petani dan nelayan.
Indonesia punya potensi produksi ikan terbesar di dunia, sekitar 113,5 juta ton per tahun.
Sistem logistik pangan juga harus terus disempurnakan guna menjamin kelancaran transportasi dan distribusi. Di sisi lain, komoditas produksi nasionalnya lebih besar daripada kebutuhan, seperti beras, jagung, kakao, sayuran, ikan, dan garam konsumsi, tidak boleh lagi ada impor.
Untuk komoditas pangan, seperti kedelai, gula, bawang putih, dan garam industri yang produksinya lebih kecil ketimbang kebutuhan nasional, dengan ekstensi lahan dan teknologi, misalnya dua tahun, produksinya bisa dinaikkan melebihi kebutuhan nasional.
Maka itu, untuk sementara (dua tahun) boleh impor secara terkendali dan realisasinya tak bersamaan dengan musim panen.
Untuk komoditas pangan yang secara agroklimat memang tidak bisa diproduksi di negara kita atau dengan lahan yang tersedia dan aplikasi teknologi apa pun, produksinya tidak bisa melampaui kebutuhan nasional, diizinkan impor secara terkendali. Contohnya, ikan salmon dan daging sapi.
Ketiga skenario kebijakan impor pangan tersebut hanya bisa berhasil, jika mafia pangan ditumpas habis sampai akar-akarnya.
Kita harus meningkatkan kapasitas petani dan nelayan melalui pendidikan dan pelatihan secara berkesinambungan. Akhirnya, dengan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif, Indonesia bisa berdaulat pangan juga bakal mampu feeding the world.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.