Kabar Utama
Sekolahan Terkendala Sarana Pandemi
Kendala terbesar sekolah adalah kesiapan sarana prasarana untuk penanganan Covid-19.
JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bersama tiga kementerian lainnya telah menerbitkan panduan sekolah di masa pandemi. Kendati demikian, survei yang dilakukan Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyimpulkan protokol kesiapan kenormalan baru dalam panduan itu bakal sukar dipenuhi lebih dari separuh sekolah-sekolah di Indonesia.
Pada Selasa (16/6), FSGI melansir hasil survei kepada 1.656 responden sekolah dari 245 kabupaten/kota di Indonesia mengenai kesiapan tahun ajaran baru di masa pandemi. Di dalam surveinya 53,4 persen responden menjawab kendala terbesar sekolah adalah kesiapan sarana prasarana untuk penanganan Covid-19.
"Dari angka ini jelas tampak bahwa sekolah merasa pengadaan dan penyediaan semua sarana prasarana penunjang pembelajaran di masa kenormalan baru adalah komponen paling sulit untuk disiapkan," kata Wasekjen FSGI, Satriwan Salim, dalam telekonferensi, Selasa (16/6).
Selain itu, sebanyak 49,2 persen menilai adanya protokol kesehatan di sekolah juga dibutuhkan. Satriwan mengatakan, Kemendikbud-Kemenag perlu memberikan protokol yang rinci sehingga nantinya bisa disosialisasikan.
Saat ini, sudah kurang dari sebulan hingga tahun ajaran baru. Oleh karena itu, protokol kesehatan ini menjadi hal yang harus segera ditetapkan oleh Kemendikbud-Kemenag agar bisa diterapkan di sekolah maupun madrasah.
Kendala ketiga adalah kesiapan anggaran. Sebanyak 47 persen responden menilai anggaran menjadi hal yang paling berat untuk disiapkan sekolah. Sebab, untuk memenuhi sarana prasarana kesehatan dan kebersihan di sekolah, memerlukan sumber dana. Belum lagi sekolah harus membayar honor guru.
Kemendikbud bersama Kementerian Agama, Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri menerbitkan panduan penyelenggaraan pembelajaran di masa pandemi, Senin (15/6). Panduan itu mengatur bahwa hanya sekolah-sekolah di zona hijau yang boleh melansanakan pembelajaran tatap muka.
Selain itu, ada daftar periksa kesiapan yang harus dipenuhi jika sekolah dibuka kembali. Di antaranya ketersediaan sarana sanitasi. akses ke fasilitas kesehatan, kesiapan area wajib masker, sekolah memiliki thermo gun. ada pemetaan warga yang dilarang masuk wilayah sekolah, serta dibuatnya kesepakatan komite sekolah.
Kondisi kelas di atur untuk pendidikan dasar dan menengah ada jaga jarak 1,5 meter dan maksimal 18 peserta didik dalam kelas. Sedangkan di PAUD jaga jarak 3 meter dan maksimal 5 peserta didik per kelas. Guna mengakali terbatasnya ruang kelas, jam belajar dilakukan dengan pergiliran rombongan belajar.
Kemendikbud juga mengatakan 94 persen sekolah di Indonesia yang tidak termasuk zona hijau masih harus melaksanakan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Terkait hal itu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mempertanyakan kualitas PJJ tersebut.
Saya lebih sepakat anak tidak ada yang tidak naik kelas karena suasana seperti ini, jadi anak lebih baik dibantu dan diberi kemudahan.
"Kemarin Mas Nadiem (Mendikbud Nadiem Makarim) tidak berbicara yang 94 persen yang PJJ. Mas Nadiem fokusnya kenapa yang hanya 6 persen?" kata Satriwan Salim.
94 persen sekolah yang tidak berada di zona hijau ini sudah melakukan PJJ kurang lebih tiga bulan. Berdasarkan survei FSGI sebelumnya, keberlangsungan PJJ masih menemui berbagai macam kendala, seperti tidak adanya internet hingga konten pembelajaran yang tidak mendukung PJJ.
Terkait hal ini, FSGI mendorong agar dibuat pendampingan atau pelatihan khusus terkait PJJ daring. Hal ini penting karena pada tahun ajaran baru sebagian besar sekolah akan menjalankan PJJ, sehingga harus dibuat sistem yang berkualitas.
"Misalnya, dalam penggunaan aplikasi media pembelajaran, pemerintah daerah harus kreatif untuk mendesain pelatihan-pelatihan. Anggaran pelatihan guru kan ada, kenapa itu tidak dioptimalkan. Juga bisa bekerjasama dengan BUMD atau CSR perusahaan," kata Satriwan menambahkan.
Lebih lanjut, Satriwan mengatakan, pemerintah jangan melepaskan semuanya kepada sekolah. Koordinasi antara pemangku kepentingan harus dilakukan dan pendampingan dari pemerintah daerah harus diperkuat.
Terkait hambatan menyediakan sarana-prasarana pandemi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyampaikan, dana bantuan operasional sekolah (BOS), BOP PAUD, dan pendidikan kesetaraan dapat digunakan untuk membeli alat penunjang kesehatan.
Alat penunjang kesehatan yang dimaksud yakni seperti sabun cuci tangan, cairan pembasmi kuman, masker, dan thermogun, serta alat kebersihan dan kesehatan lainnya.
Dikutip dari laman Kesekretariatan Kabinet, Selasa (16/6), Nadiem mengatakan, hal ini sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 19/2020 tentang Perubahan Petunjuk Teknis BOS dan Permendikbud Nomor 20/2020 tentang Perubahan Petunjuk Teknis BOP PAUD dan Kesetaraan di masa kedaruratan Covid-19.
Selain itu, dana tersebut juga dapat digunakan untuk pembelian pulsa, paket data, atau layanan pendidikan daring berbayar bagi pendidik dan peserta didik untuk melaksanakan giat belajar dari rumah. Nadiem juga menyampaikan, dana BOS dapat digunakan untuk membayar guru honorer yang belum mendapatkan tunjangan profesi dan telah memenuhi beban mengajar termasuk mengajar dari rumah.
Namun hanya guru honorer yang terdaftar pada data pokok pendidikan (Dapodik) per 31 Desember 2019 yang dapat menerima gaji dari anggaran tersebut. “Mengenai persentase penggunaannya, ketentuan pembayaran honor dilonggarkan menjadi tanpa batas,” kata Nadiem.
Sementara, khusus untuk BOP PAUD dan Kesetaraan juga dapat digunakan untuk mendukung biaya transportasi pendidik. Ketentuan persentase penggunaan BOP PAUD dan Kesetaraan pun dilonggarkan menjadi tanpa batas. “Adapun penggunaan BOS Madrasah dan BOP Raudhatul Athfal (RA) disesuaikan dengan petunjuk teknis yang sudah ditetapkan Kementerian Agama,” ujar dia.
Sementara, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) meminta agar tidak ada pelajar yang tidak naik kelas selama pandemi. PGRI berpendapat anak tak boleh dikorbankan untuk berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah dan kondisi pandemi saat ini.
Jika pandemi ini berlarut-larut atau akan menjadi tahapan-tahapan dalam kehidupan kita kelak maka PJJ akan menjadi bagian dari kurikulum utama pendidikan kita.
"Saya lebih sepakat anak tidak ada yang tidak naik kelas karena suasana seperti ini, jadi anak lebih baik dibantu dan diberi kemudahan," kata Ketua PB PGRI Dudung Nurullah Koswara kepada Republika di Jakarta, Selasa (16/6).
Dia mengatakan, sekolah merupakan layanan terhadap anak didik dan kenaikan kelas adalah masalah kepentingan akademik. Dia menjelaskan, tinggal kelas merupakan tanggung jawab orang tua dan guru terlebih era pandemi Covid-19 saat ini.
Dia mengatakan, harus ada komunikasi layanan yang lebih maksimal serta melebur antara kedua kubu tersebut. Lanjutnya, hal itu mengingat Indonesia saat ini sedang tidak dalam kondisi kegiatan belajar mengajar normal atau ideal.
Dia meminta agar anak jangan dikorbankan karena keterbatasan orang tua dan guru sehingga dia tidak bisa naik kelas. Dia mengatakan, anak jangan dibuat stress karena pandemi Covid-19 ditambah stress karena kondisi di rumah. "Jadi jangan korbankan anak. Sekolah, guru dan orang tua wajib membuat anak bagaimana caranya harus naik kelas," katanya.
PJJ Harus Lebih Efektif
Ketua Dewan Kehormatan Persatuan Guru Swasta Seluruh Indonesia (PGSI), Suparman berharap pemerintah memikirkan lagi tentang penanganan pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang lebih efektif dan diikuti oleh semua peserta didik. Keterbatasan alat komunikasi dan ketersediaan pulsa dan jaringan menjadi masalah yang harus dievaluasi.
"Setelah menjalani tiga bulan PJJ banyak guru secara nasional yang sudah makin terlatih untuk menerapkan PJJ dengan terus dievaluasi efektivitasnya. Hanya saja, untuk masyarakat yang sangat terbatas dengan sarana IT-nya harus dibantu oleh pemerintah, pusat maupun daerah," kata Suparman, Selasa (16/2).
Pemerintah daerah, kata dia, harus menyediakan pembelajaran daring secara bersama-sama. Menurutnya, akan baik apabila pemerintah daerah menyediakan sarana konferensi jarak jauh dan melakukan pelatihan kepada guru-gurunya.
Selain itu, satu pekan sekali juga bisa dilakukan evaluasi bagi guru dan orang tua sekolah terkait pembelajaran ini. Hal ini penting supaya pembelajaran di rumah lebih terkoordinir oleh sekolah dengan jadwal fleksibel yang disepakati bersama.
Lebih lanjut, Suparman juga mengatakan kondisi pandemi ini secara tidak langsung telah mengubah sistem kurikulum. PJJ di masa depan bisa jadi semakin sering digunakan. Oleh karenanya, evaluasi dan perencanaan PJJ tidak hanya diniatkan untuk mengatasi pandemi.
"Jika pandemi ini berlarut-larut atau akan menjadi tahapan-tahapan dalam kehidupan kita kelak maka PJJ akan menjadi bagian dari kurikulum utama pendidikan kita," kata dia lagi.
FSGI juga meminta Kemendikbud membentu kurikulum darurat selama masa pandemi. Kurikulum darurat dinilai harus dibentuk sesuai dengan aspirasi dari guru-guru di daerah. "Kurikulum yang adaptif di masa pandemi mutlak dibutuhkan," kata Wasekjen FSGI, Satriwan Salim, Senin (16/6).
Kurikulum darurat yang dimaksud sebenarnya bisa dilakukan dengan mengurangi kompetensi dasar. Satriwan mencontohkan dibuat relaksasi konten khusus PJJ. Sejauh ini Indonesia memiliki delapan standar nasional pendidikan yang erat hubungannya dengan kurikulum dan materi ajar. Terkait hal ini bisa disesuaikan dengan kondisi yang ada saat ini.
Ia mencontohkan dalam pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn) memiliki 10 kompetensi dasar. Di saat kondisi darurat, PJJ pun terhambat oleh internet yang terbatas, mestinya kompetensi dasar ini bisa dilonggarkan. "Ini yang diminta oleh guru-guru," kata Satriwan menegaskan.
Selama ini, Kemendikbud hanya mengeluarkan surat edaran pedoman pembelajaran dari rumah. Sementara, menurut dia, yang dibutuhkan saat ini adalah kurikulum darurat yang bisa diterapkan pada tahun ajaran baru bagi sekolah yang masih harus melaksanakan PJJ. "Harus ada standar kompetensi, standar isi, standar proses. Ini yang kita sebut sebagai kurikulum adaptif. Ini bermanfaat untuk masa sekarang dan masa yang akan datang jika ada ancaman," kata dia lagi.
Pemerhati dan praktisi edukasi 4.0 Indra Chrismiaji menilai teknis proses belajar mengajar yang diharapkan para pelaku pendidikan sejauh ini belum disoroti Kemendikbud. “Banyak hal mendasar yang harus menjadi domain Kemendikbud yaitu proses pengajaran dan pemelajaran yang sebenarnya ditunggu-tunggu oleh pihak manajemen sekolah, pendidik, tenaga kependidikan, orang tua, dan peserta didik tidak disentuh sedikitpun," kata Indra saat dihubungi Republika, Selasa (16/6).
Ia mengatakan, proses belajar mengajar tidak berubah dari saat Surat Edaran Mendikbud nomor 36962/MPK.A/HK/2020 diterbitkan bulan Maret yang lalu. Harusnya, kata dia, pada kesempatan ini sudah ada evaluasi bagaimana kegiatan belajar mengajar berjalan selama tiga bulan terakhir dengan konsep pembelajaran jarak jauh dalam jaringan.
Di samping itu, lanjut dia, mestinya sudah ada solusi bagaimana anak-anak Indonesia yang selama tiga bulan kemarin tidak dapat belajar karena minimnya akses sudah ada tindakan nyata dari pemerintah. Misalnya kolaborasi dengan Kemenkominfo, yang memiliki program setiap kantor desa terjangkau internet, Kementerian BUMN dengan jaringan PT Telkom, atau dengan Kemendes melalui dana desa.
"Kalau ini dilakukan pasti sudah ada perkembangan jumlah anak bangsa yang bisa belajar selama pandemi ini. Kebijakan yang diumumkan hari ini tidak ada bedanya dengan kebijakan yang diambil tiga bulan yang lalu," ucap Indra.
Lebih lanjut, kata Indra, para pendidik dan tenaga pendidikan juga tidak disiapkan secara lebih matang bagaimana melaksanakan proses pembelajaran jarak jauh dalam jaringan yang efektif dan efisien.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.