
Nasional
Syarat Usia PPDB Disoal
Semua pengaturan PPDB di daerah tidak boleh menyimpang dari permendikbud.
JAKARTA – Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) DKI Jakarta akan dimulai prapendaftaran pada Kamis (11/6). Hingga saat ini, banyak protes yang datang dari orang tua siswa terkait beberapa peraturan yang dinilai memberatkan, salah satunya persyaratan usia.
Seleksi berdasarkan usia, selain untuk PPDB PAUD dan SD, juga diberlakukan pada jenjang SMP dan SMA, di jalur zonasi, inklusi, dan beberapa persyaratan untuk jalur afirmasi. Kebijakan baru ini dibuat karena pada pandemi Covid-19 tidak ada ujian nasional. Oleh karena itu, Dinas Pendidikan DKI Jakarta memperhitungkan usia untuk PPDB jenjang SMP dan SMA.
Hal ini menuai protes dari sejumlah orang tua siswa. Seorang perwakilan dari salah satu SD swasta di Jakarta Timur, Hendrie mengatakan, ia khawatir anaknya akan sulit mendaftar ke SMP karena usianya.
“Dulu waktu anak saya mau SD itu usianya terkendala, karena harus tujuh tahun kan minimal. Kebetulan anak saya kurang sebulan karena lahir bulan Juli. Nah, ini terjadi lagi masuk SMP,” kata Hendrie kepada Republika, Selasa (9/6).

Menurut Hendrie, seleksi berdasarkan usia sangat tidak adil bagi anak-anak yang selama ini sudah belajar dan mendapatkan nilai yang baik. Ia khawatir, jika kebijakan ini diberlakukan, anaknya serta anak lainnya yang bernasib sama akan merasa kecewa. Akhirnya, dikhawatirkan justru berdampak pada semangat belajar yang menurun.
Hal senada diungkapkan Fitri, orang tua siswa SMP Negeri 115 Jakarta. Sebelumnya, dirinya dan sejumlah orang tua sudah bertemu dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta meminta agar indikator usia dihilangkan dari seleksi jalur zonasi.
Fitri menjelaskan, di SMP tempat anaknya sekolah banyak siswa yang ketika SD mengikuti program akselerasi. Apabila kebijakan usia diberlakukan pada PPDB SMA, maka menurutnya tidak adil kepada lulusan SMP yang masih muda.
“Dulu nggak dilihat dari usia juga. Kita kan sekolah menengah, bukan sekolah dasar lagi. Sudah melewati step-step banyak. Masa sih (persyaratannya) masih usia juga,” kata Fitri.
Sama seperti Hendrie, ia khawatir anak-anaknya mengalami demotivasi belajar. Sebab, selama ini anak-anaknya disiapkan untuk menghadapi ujian. Ia mengerti apabila pandemi mengubah banyak hal dalam kebijakan. Namun, seleksi usia, menurutnya masih tidak adil bagi anak-anak.
Kemendikbud menegaskan, PPDB harus berpedoman dengan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 dan SE Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020. Peraturan PPDB secara umum, seperti usia murid dan jalur seleksi dijelaskan di dalamnya. “Semua pengaturan PPDB di daerah tidak boleh menyimpang dari permendikbud dan SE tersebut,” kata Plt Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Kemendikbud, Hamid Muhammad.

Beberapa poin yang dituliskan dalam permendikbud tersebut adalah PPDB dilakukan secara nondiskriminatif, objektif, transparan, akuntabel, dan berkeadilan. Di dalam Permendikbud tersebut juga ditegaskan, kepala daerah bertugas membuat kebijakan teknis pelaksanaan PPDB untuk kemudian dilaksanakan oleh kepala sekolah.
Dinas Pendidikan DKI Jakarta ketika dikonfirmasi mengatakan akan membuat konferensi pers terkait hal ini. Namun, waktu konferensi pers belum bisa diumumkan. “Nanti saja ya, sekalian mau preskon (konferensi pers). Nanti dikabari lagi, ya,” kata Kasubbag Humas Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Sony Juhersoni.
Sementara PPDB SMA 2020 di DIY terus menuai kontroversi lantaran masuknya nilai UN SD sebagai satu komponen. Tarik ulur kepentingan diduga jadi salah satu alasan kuat masuknya komponen yang dinilai tidak relevan tersebut.
Anggota Dewan Pendidikan Sleman, Nursya’bani Purnama, mengatakan, PPDB SMA tahun ini juknisnya memang mengalami beberapa perubahan. Ia menilai, itu terjadi karena ada tarik ulur kepentingan. Diawali pandemi yang tidak memungkinkan adanya UN, Disdikpora menyusun formula ideal tanpa memakai nilai UN, menentukan indikator penilaian sebagai pengganti UN.
Opsinya, nilai rata-rata rapor lima semester, akreditasi sekolah, dan nilai UN sekolah selama empat tahun terakhir. Kebijakan awal dengan indikator itu dinilai sebagai pemicu timbulnya protes. Terutama, kata Nur, diduga dari orang tua siswa yang berasal dari sekolah-sekolah berlabel unggul.
“Karena rapor sekolah-sekolah unggul tidak diberlakukan berbeda dengan sekolah-sekolah yang selama ini dianggap kurang unggul, bisa jadi Disdikpora menyusun formula baru sampai muncul nilai UN SD,” kata Nur kepada Republika.
Komponen itu dinilai banyak pihak merupakan indikator yang janggal. Nur sendiri merasa indikator itu tidak relevan karena siswa yang lulus SMP saat akan masuk SMA tidak bisa penilaiannya dikaitkan ketika siswa itu ujian SD.
Sebab, siswa itu sudah melewati proses yang lama selama berada di SMP. Lalu, tidak menjamin pula seseorang yang ketika nilai UN SD-nya bagus di SMP juga nilai UN-nya bagus, atau saat di SD kurang bagus lalu SMP juga kurang bagus.
“Tidak ada penghargaan bagi siswa yang memiliki usaha progresif, dan artinya dengan formula seperti itu Disdikpora menganggap prestasi siswa ketika lulus SD dan ketika lulus SMP tidak mengalami perubahan,” ujar dia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.