Internasional
Aneksasi Tepi Barat di Depan Mata
Aneksasi Tepi Barat akan dilaksanakan dalam beberapa pekan ke depan.
YERUSALEM -- Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan, rencana aneksasi Tepi Barat bukan bagian dari rencana untuk pembentukan negara Palestina. Netanyahu mengatakan, rencana aneksasi Tepi Barat akan dilaksanakan dalam beberapa pekan ke depan.
"Rencana aneksasi tidak akan mencakup pembentukan negara Palestina dan Pemerintah (Israel) pasti tidak akan menyetujuinya," kata Netanyahu, dilansir Anadolu Agency, Senin (8/6)
Netanyahu menambahkan, proses pemetaan untuk aneksasi Tepi Barat masih belum rampung. Israel akan mencaplok wilayah Tepi Barat yang diduduki di bawah rencana yang disetujui oleh Netanyahu dan rekan koalisinya, Benny Gantz dari Partai Biru dan Putih.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada awal tahun ini meluncurkan rencana damai versi AS. AS juga mengisyaratkan lampu hijau kepada Israel untuk mencaplok permukiman Yahudi di Tepi Barat.
Para pejabat Palestina mengatakan bahwa di bawah rencana AS, Israel akan mencaplok antara 30 persen hingga 40 persen dari wilayah Tepi Barat, termasuk semua Yerusalem Timur. Netanyahu akan menyerahkan rencana aneksasi tersebut kepada parlemen pada 1 Juli.
Menteri Luar Negeri Chile Teodoro Ribera mengecam rencana Israel mencaplok sebagian wilayah Tepi Barat. Menurut dia, langkah tersebut berbahaya dan dapat menimbulkan konsekuensi tak terduga.
“Dalam sebuah surat yang dikirim ke Menteri Luar Negeri dan Ekspatriat (Palestina) Riyad al-Maliki, Ribera menekankan bahwa Pemerintah Cile mengikuti dengan penuh keprihatinan dan kepedulian terhadap rencana pencaplokan Israel yang akan datang,” demikian laporan kantor berita Palestina, WAFA, pada Ahad (7/6).
Dalam surat itu Ribera menegaskan kembali posisi negaranya yang berpegang teguh pada hukum internasional dan resolusi PBB dalam masalah Palestina. Dia menyerukan agar resolusi Dewan Keamanan 242 tahun 1967 dihormati.
Pada Sabtu (6/6) pekan lalu, ribuan warga Israel di Tel Aviv turun ke jalan untuk menentang dan menolak rencana pencaplokan Tepi Barat. Mereka menilai tindakan itu merupakan kejahatan perang.
Aksi protes tersebut diinisiasi partai sayap kiri Meretz dan Hadash serta beberapa kelompok lain berhaluan serupa. Menurut media Israel, Haaretz, aksi unjuk rasa itu diikuti sekitar 6.000 orang. Dalam demonstrasi itu massa membawa spanduk bertuliskan “tidak untuk pencaplokan, tidak untuk pendudukan, ya untuk perdamaian dan demokrasi”. Sebagian demonstran turut mengibar-ngibarkan bendera Palestina.
Deportasi
Sementara itu, Israel mengeluarkan perintah deportasi bagi warga Palestina. Perintah tersebut melarang warga Palestina untuk berada di sekitar area Masjid Al-Aqsa, Yarusalem Timur.
Perintah deportasi ini sontak memancing kecamana pemerintah Palestina. Melalui pernyataannya Ahad (7/6) kemarin, Palestina mengklaim bahwa tindakan Israel menunjukkan penghinaan terhadap kebebasan beribadah dan beragama.
"Sekali lagi, Israel bertekad menunjukkan penghinaannya terhadap kebebasan beribadah dan beragama, seperti yang terlihat jelas dalam peningkatan pelanggaran kebebasan beribadah rakyat Palestina, terutama di Yerusalem," kata anggota Komite Eksekutif Palestine Liberation Organization, Hanan Ashrawi yang dikutip di Xinhua, Senin (8/6).
Ashrawi menganggap Israel berupaya untuk menyingkirkan kehadiran Palestina di area-area dibawah kekuasaannya. Dia juga mengatakan, tindakan dan upaya deportasi yang dilakukan Israel mampu membangkitkan perselisihan dan perpecahan antar sekte.
"Upaya Israel yang sistematis untuk melaksanakan rencana penguasaan sepenuhnya tanah kuasaan mereka, disertai dengan tindakan yang bertujuan meredam suara Palestina, menghapus kehadiran Palestina dan menyalakan api perselisihan sektarian," duga Ashrawi.
Di sisi lain, dia meminta Israel untuk menghormati keberadaan dan aktivitas peribadatan di Masjid Al-Aqsa sebagai situs suci umat Muslim sekaligus tempat beribadah.
Sebelumnya, Masjid Al-Aqsa Yarussalem, Palestina menggelar ibadah shalat Jumat untuk pertama kali setelah sekian lama ditutup. Departemen Wakaf Islam Quds mengatakan, shalat Jumat yang diadakan (5/6) kemarin dihadiri lebih dari 50 ribu jamaah.
“Lebih dari 50.000 jamaah menghadiri shalat Jumat setelah berminggu-minggu penutupan masjid,” tulis Departemen Wakaf Islam Quds dalam sebuah pernyataan yang dikutip di AhlulBayt News Agency, Sabtu (6/6).
Selama ibadah berlangsung, protokol kesehatan dikerahkan untuk menjaga sterilitas dan jarak sosial antar jamaah. Petugas juga membagikan masker dan sanitizer untuk para jamaah.
Organisasi Wakaf Islam Quds juga telah mengeluarkan larangan kehadiran bagi jamaah yang terindikasi gejala covid-19. Pembatasan jumlah jamaah juga dilakukan demi mengurangi resiko penyebaran virus.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.