Jakarta
Pengguna KRL Khawatir
Aktifitas publik pada masa tatanan baru tidak boleh sama seperti sebelum pandemi.
JAKARTA – Pengguna kereta rel listrik (KRL) merasa khawatir tertular Covid-19 dengan berjubelnya penumpang di transportasi publik tersebut. Pada Selasa (2/6), Ratih Melly (25 tahun), mengaku terpaksa harus berdiri dan berdesak-desakan di dalam gerbong kereta dengan banyak orang untuk sampai di tempat kerjanya di Kota Bogor.
“Pas berangkat tadi area stasiun padat banget dan di dalam keretanya juga. Kalau pulang juga sama nih sekitar 17.00 WIB. Apalagi pas keluar dari gerbong kereta, mau nggak mau berdesakan. Adanya peraturan physical distancing nggak ngaruh banget. Kesadaran diri aja,” kata dia kepada Republika, Selasa (2/6).
Ratih mengatakan, penumpang di dalam gerbong tidak ada ruang lagi buat mereka untuk berjarak. Kepadatan penumpang, kata Ratih, terlihat lebih parah terjadi di Stasiun Bogor. Penumpang menumpuk di stasiun untuk menunggu kereta yang berangkat menuju arah Jakarta. Ketika kereta datang, mereka berebut masuk gerbong.
VP Corporate Communication PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) Anne Purba mengatakan, jumlah penumpang KRL pada Senin (2/6) sampai pukul 09.00 WIB tercatat sebanyak 85.092 orang. Jumlah tersebut meningkat 14 persen dan diperkirakan akan meningkat untuk kedepannya.
“Hari ini sebagai hari pertama kerja setelah akhir pekan di tengah masa PSBB. Jumlah ini tentu berpotensi untuk terus bertambah pada hari ini dan di hari-hari ke depan menjelang berakhirnya masa PSBB dan transisi menuju kenormalan baru,” ujar dia.
Dia mengatakan, berbagai langkah antisipasi dilakukan. Penumpang tetap diwajibkan menggunakan masker, mengikuti pengukuran suhu tubuh, menjaga kebersihan dengan menyediakan fasilitas tambahan untuk cuci tangan, penyanitasi tangan dan rutin menjaga kebersihan KRL maupun stasiun. Hal ini, kata dia, untuk menjaga jarak aman atau physical distancing antarpengguna.
Tiga skenario
Direktur Utama PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) Wiwik Widayanti mengaku menyiapkan tiga tahapan pola operasional KRL untuk menyambut new normal atau tatanan baru pascapandemi Covid-19. Wiwik menyatakan, masa berlaku pola operasional KRL belum ditetapkan karena ia masih menunggu evaluasi penerapan PSBB.
“Kami sudah mengusulkan tahapan operasi new normal, namun masa berlakunya belum ditetapkan, karena masih menunggu evaluasi PSBB selama ini dan ada pembahasan dengan pemerintah pusat maupun daerah,” kata dia.
Wiwik mengatakan, untuk tahap pertama skema pola operasinya adalah jumlah KRL yang jalan sebanyak 770 sampai 783 kereta. Ketentuannya jumlah penumpang 80 orang per kereta, serta jam operasional mulai pukul 04.00 hingga 18.00 WIB. “Tahap pertama adalah tahap adaptasi karena ada PSBB yang selesai pada 4 Juni, ada yang masih melaksanakan PSBB sampai 14 Juni kalau tidak salah Tangerang,” ujar dia.
Skema pola operasi tahap kedua adalah jumlah KRL yang jalan sebanyak 885 hingga 900 kereta. Jumlah penumpang sebanyak 102 orang per kereta dan jam operasional mulai pukul 04.00 sampai 20.00 WIB. “Di tahap kedua kami rencanakan menambah kereta yang jalan karena kemungkinan jumlah penumpang semakin meningkat seiring dibukanya beberapa kegiatan bisnis di DKI Jakarta,” kata dia.
Skema pola operasi tahap ketiga adalah jumlah KRL yang jalan sebanyak 991 sampai 1.001 kereta dengan putaran sebanyak 88-90. Jumlah penumpang 140 orang per kereta, dan jam operasional mulai pukul 04.00 hingga 24.00 WIB.
Jadi seharusnya masa new normal tidak semuanya harus kembali kerja ke kantor seperti sebelum pandemi. Yang masih bisa work from home semestinya tetep WFH atau minimal ada pengurangan kehadiran ke kantor.
“Untuk balita di bawah usia lima tahun untuk sementara dilarang naik KRL sampai waktu yang ditentukan karena kondisi sekarang banyak anak-anak yang berpergian naik KRL tapi tidak menggunakan masker jadi hanya orang tuanya saja,” ujar Wiwik.
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno meragukan penerapan tatanan baru di sektor transportasi massal. Ia menilai sulit menerapkan pembatasan sosial di transportasi massal pada jam sibuk.
Djoko menilai, jika tatanan baru diterjemahkan semuanya masuk kerja dengan jadwal seperti kondisi sebelum pandemi Covid-19, bisa dipastikan kapasitas angkutan umum massal di Jabodetabek tidak dapat menjamin pelaksanaan physical distancing. “Karena sulit untuk melakukan penambahan kapasitas angkutan umum massal secara signifikan pada jam-jam sibuk agar tercapai physicall distancing dengan demand setara dengan pada masa sebelum pandemi,” kata Djoko.
Dia menyarankan, aktifitas atau kegiatan publik pada masa tatanan baru harus dikendalikan intensitasnya atau tidak sama seperti pada masa sebelum pandemi. Hal ini sebenarnya yang menjadi substansi utama dari keputusan Menteri Kesehatan terkait pedoman untuk masa tatanan baru.
“Jadi seharusnya masa new normal tidak semuanya harus kembali kerja ke kantor seperti sebelum pandemi. Yang masih bisa work from home semestinya tetep WFH atau minimal ada pengurangan kehadiran ke kantor,” ujar Djoko.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.