Tema Utama
Pancasila Sebagai Hadiah Terbesar Umat Islam
Ada berbagai pendapat tentang siapa pencetus Pancasila.
OLEH HASANUL RIZQA
Tanggal 1 Juni 1945 telah ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila. Peringatan ini menjadi momentum yang berharga untuk menyimak kembali bagaimana para bapak bangsa menyusun landasan bernegara. Sebagai elemen terbesar di negeri ini, umat Islam mendukung tegaknya Indonesia merdeka. Pancasila pun dipandang sebagai "hadiah terbesar" kaum Muslimin untuk Tanah Air tercinta.
Kapan dan bagaimana Pancasila lahir? Pertanyaan itu mengundang berbagai perdebatan bahkan hingga saat ini. Untuk menjawabnya, kita perlu menelaah hari-hari penting pada 1945.
Pada 29 April 1945, Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan/BPUPK) dibentuk. Itu bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Jepang Hirohito.
BPUPK merupakan perwujudan janji Jepang, sebagaimana diucapkan Perdana Menteri Kuniaki Koiso di hadapan sidang istimewa Teikoku Ginkai ke-85, Tokyo, 7 September 1944. Ia mengatakan, "Kekaisaran Jepang (dengan ini) mengumumkan kemerdekaan pada masa yang akan datang bagi segenap rakyat Indonesia."
Pihaknya sengaja tak menyebutkan tanggal pasti kapan Indonesia (di)merdeka(kan). Alhasil, ada tujuan politik di balik pembentukan badan tersebut. Yakni, rakyat Indonesia supaya tetap mendukung Jepang, sekalipun Dai Nippon kala itu goyah di front Pasifik Perang Dunia II.
BPUPK beranggotakan 62 orang. KRT Radjiman Wedyodiningrat (1879-1952), seorang dokter yang juga tokoh organisasi Budi Utomo, duduk sebagai ketua. Di Gedung Pejambon (kini Gedung Pancasila, Jakarta), badan itu menyelenggarakan dua masa sidang pada 1945, yakni 29 Mei-1 Juni dan 10-16 Juli. Pada 1 Juni 1945, Sukarno (1901-1970) selaku anggota BPUPK berpidato. Bung Karno menyebutkan perlunya philosofische gronslag bagi Indonesia Merdeka.
Ia mengajukan lima asas sebagai dasar negara, yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan. Dinamakannya kelima poin itu sebagai Panca Sila --atas saran seorang sahabatnya yang ahli bahasa. Dalam bahasa Sanskerta, panca berarti 'lima', sedangkan syila adalah 'dasar'.
Bertahun-tahun kemudian, beberapa penulis memandang peristiwa tersebut sebagai Hari Lahir Pancasila. Wedyodiningrat, misalnya, mencantumkan judul Lahirnya Panca Sila untuk kata pengantar buku pidato Bung Karno itu yang diterbitkan pada 1947. Prof Notonagoro (1905-1981) sebagai promotor Bung Karno untuk penganugerahan gelar doctor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menyebut presiden pertama RI itu sebagai pencipta Panca Sila.
Pendapat ini dibantah beragam kalangan, seperti Endang Saifuddin Anshari dalam tesisnya, The Jakarta Charter of June 1945 (1976). Ia beralasan, tiga hari sebelum pidato Bung Karno itu, Muhammad Yamin (1903-1962) telah menyampaikan pandangan dalam sidang BPUPK. Ahli hukum sekaligus tokoh nasionalis tersebut mengusulkan lima asas sebagai dasar Indonesia Merdeka: Peri-Kebangsaan, Peri-Kemanusiaan, Peri-Ketuhanan, Peri-Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.
BJ Boland dalam bukunya, The Struggle of Islam in Modern Indonesia bahkan menyimpulkan, Pancasila itu pada faktanya adalah karya Yamin, dan bukan karya Sukarno.
Bung Karno ataukah Yamin sebagai perancang Pancasila? Berkebalikan dengan Boland, Yudi Latif dalam Negara Paripurna (2011) tak sepakat bila dianggap Pancasila sebagai karya Yamin. Sebab, tokoh itu tak memasukkan semua prinsip dalam kategorisasi yang dikemukakannya sebagai dasar negara.
Ia pun kerap mencampuradukkan antara dasar negara dan bentuk negara. Alhasil, Latif mengatakan, yang dimaksud dasar oleh Yamin bukanlah dalam pengertian philosofische gronslag. Bagaimanapun, pidatonya menjadi salah satu masukan penting bagi Bung Karno kemudian.
Latif menyimpulkan Pancasila sebagai karya bersama, alih-alih rumusan orang tertentu. Menurut dia, fase perumusan dimulai dengan pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang memunculkan istilah Panca Sila. Pidato itu lantas digodok melalui pertemuan Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi-in) dengan membentuk Panitia Sembilan. Panitia tersebut menyempurnakan rumusan Pancasila dari pidato Bung Karno dalam versi Piagam Jakarta. Selanjutnya, fase pengesahan dilakukan pada 18 Agustus 1945.
"Oleh karena itu, rumusan Pancasila sebagai dasar negara yang secara konstitusional mengikat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan bukanlah rumusan Pancasila versi 1 Juni atau 22 Juni, melainkan versi 18 Agustus 1945," tulis Latif.
Setiap fase konseptualisasi Pancasila itu melibatkan partisipasi pelbagai unsur dan golongan. "Oleh karena itu, Pancasila benar-benar merupakan karya bersama milik bangsa," katanya lagi.
Bagaimanapun, intelektual yang pernah menjadi kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu menekankan besarnya kontribusi Bung Karno. Dialah satu-satunya pembawa pidato yang menjawab pertanyaan ketua BPUPK tentang dasar negara Indonesia merdeka. Jawabannya pun disampaikan secara utuh dan sistematis. Maka dari itu, Latif berkeyakinan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Lahir Pancasila.
Betapapun sentral perannya, Sukarno sendiri menolak bila disebut sebagai pencipta Pancasila. Ia cenderung memosisikan pribadinya sebagai penggali Pancasila. "Penggalian daripada Panca Sila ini, saudara-saudara, adalah pemberian Tuhan kepada saya," tulis Sukarno (1964).
Dua golongan
BPUPK menjadi arena perjumpaan dua golongan yang sama-sama menghendaki Indonesia merdeka. Letak perbedaan keduanya pada soal dengan dasar atau pandangan-dunia (weltanschauung) apa negara tercinta itu tegak berdiri. Saifuddin Anshari menamakan masing-masing kubu itu sebagai nasionalis Islami dan nasionalis "sekuler". Yang pertama berpandangan, negara dan masyarakat harus diatur oleh Islam, agama yang tak hanya mengatur hubungan vertikal (manusia-Allah) tetapi juga horizontal (antarmanusia dan alam).
Adapun yang kedua merujuk pada mereka --Muslim, Kristen, dan/atau lain-lain-- yang berprinsip pada pemisahan tegas antara negara dan agama. Tanda kutip pada istilah sekuler mengindikasikan, pendukung prinsip itu dapat saja seorang yang beriman lagi saleh sehingga tidak mengabaikan peran agama dalam kehidupan.
Anshari mengatakan, bipolarisasi demikian sudah tampak jauh sebelum terbentuknya BPUPK. Golongan nasionalis Islam menganggap, titik tolak pergerakan nasionalisme bermula dari berdirinya Sarekat Islam pada 1905. Sementara itu, golongan nasionalis "sekuler" memandang Budi Utomo yang berdiri pada 1908 sebagai titik tolak nasionalisme di Tanah Air. Bagaimanapun, pada faktanya Sarekat Islam sejak berdirinya telah mengarahkan perhatian pada rakyat jelata dan melintasi batas-batas suku bangsa di Nusantara. Berbeda halnya dengan Budi Utomo, yang semata-mata diperuntukkan bagi seluruh Jawa, itu pun terbatas pada golongan terpelajar dan ningrat.
Sekitar 1940-an, perbedaan dua golongan itu terwakili polemik antara Mohammad Natsir (1908-1993) dan Sukarno. Yang satu meyakini, Islam sebagai inspirasi yang pertama-tama meretas jalan bagi cita-cita kemerdekaan Indonesia. Yang kedua membela pemisahan negara dan agama "supaya Islam subur, dan negara pun subur pula," tulis Bung Karno dalam artikel "Apa Sebab Turki Memisahkan Agama dari Negara?"
Maka, begitu BPUPK terealisasi pada 1945, ketegangan antara dua aliran itu mengemuka. Menurut Anshari, Pancasila yang diajukan Bung Karno dalam pidato tanggal 1 Juni 1945 mengambil inspirasi dari //San Min Chu I// karya seorang nasionalis Cina, Dr Sun Yat-sen. Sukarno berkata saat menjelaskan asas Kesejahteraan Sosial, "Prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, socialism." Ketiga prinsip tersebut, lanjut Anshari, dinyatakan ulang dalam marhaenisme Sukarno, yang dirumuskan sejak 1933. Hanya saja, Bung Karno menambahkan satu prinsip lagi, yakni Internasionalisme, yang diilhami oleh Kosmopolitanisme A Baars --yang disebut Bung Karno sebagai penyebar benih Marxisme di Indonesia.
Lantas, dari mana Sukarno mengambil insiprasi untuk asas Ketuhanan? Anshari mengatakan, hal itu diperoleh Bung Karno dari menyimak pidato-pidato para pemimpin Islam di sidang BPUPK. Apalagi, sosok berjulukan Penyambung Lidah Rakyat Indonesia itu merupakan pembicara terakhir dalam masa sidang pertama badan tersebut. Masuk akal bila dirinya terinspirasi dari para penyaji sebelumnya.
Segera setelah masa sidang pertama BPUPK usai, sebanyak 38 anggota mengadakan pertemuan. Mereka lantas membentuk panitia kecil yang terdiri atas sembilan tokoh, yakni Sukarno, Mohammad Hatta (1902-1980), AA Maramis (1897-1977), Abikoesno Tjokrosoejoso (1897-1968), A Kahar Muzakkir (1907-1973), Haji Agus Salim (1884-1954), Achmad Soebardjo (1896-1978), A Wahid Hasyim (1914-1953), dan Muhammad Yamin.
Panitia Sembilan --demikian itu dinamakan-- akhirnya berhasil mencapai suatu modus vivendi yang mempertemukan antara golongan nasionalis Islami dan nasionalis "sekuler". Hasil tersebut disampaikan Sukarno pada sidang BPUPK tanggal 10 Juli 1945. Di satu sisi, adanya Panitia Sembilan hanyalah inisiatif pribadi Bung Karno, bukan resmi dibentuk BPUPK. Karena itu, Ketua BPUPK sempat menegurnya. Akan tetapi, tampak jelas keinginan Putra Sang Fajar dalam lobbying di luar forum resmi itu untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan pandangan yang ada.
Produk dari Panitia Sembilan tertanggal 22 Juni 1945 itu disebut sebagai Piagam Jakarta atau Gentlement's Agreement para bapak bangsa. Wujudnya berupa rancangan pembukaan (preambule).
Piagam Jakarta, Pemersatu Perbedaan
Berikut isi dari rancangan preambule yang dibacakan Bung Karno dalam pidato pada masa sidang kedua BPUPK.
"Pembukaan: Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada:
Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan-perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia."
Sukarno mengingatkan, preambule itu adalah hasil jerih-payah bersama, antara golongan Islam (nasionalis Islami) dan kebangsaan (nasionalis 'sekuler'). "Inilah preambule yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai," katanya. Dalam Panitia Sembilan, golongan nasionalis Islami dan nasionalis "sekuler" masing-masing diwakili empat orang.
Endang Saifuddin Anshari dalam tesisnya untuk McGill University (1976) berpendapat, masukan dari kalangan Islam tak sebatas dari lisan keempat anggota Panitia Sembilan, melainkan lebih jauh lagi. Ia mengutip pidato Jenderal AH Nasution dalam peringatan 18 tahun Piagam Jakarta, "[Piagam Jakarta] banyak mendapat ilham daripada hikmah 52 ribu surat-surat para alim ulama." Ulama-ulama yang dimaksud, menurut Nasution, pernah mengirimkan puluhan ribu surat itu ke kantor Himpunan Kebaktian Rakjat Djawa (Jawa Hokokai).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.