Azyumardi Azra | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Wabah Korona: Selamatkan Mahasiswa (2)

Oleh AZYUMARDI AZRA

Oleh AZYUMARDI AZRA

 

 

Banyak mahasiswa sudah menjerit meminta bantuan dan keringanan pembiayaan kuliah karena krisis keuangan yang dihadapi orang tua atau wali mereka akibat wabah korona. Merespons kesulitan ini, beberapa PTS dan PTN berusaha menyelamatkan para mahasiswa terdampak; membantu mereka sesuai kemampuan masing-masing.

Sekali lagi patut disesalkan, tidak ada kebijakan resmi pemerintah dalam membantu para mahasiswa terdampak yang dapat kehilangan masa depan karena tak mampu lagi memenuhi kewajiban keuangan. Tampak tiada empati dan bantuan Kemenkeu, Kemendikbud, Kemenag, dan kementerian atau lembaga pemerintah terkait menyelamatkan masa depan mahasiswa.

Lalu ke mana para mahasiswa bisa meminta bantuan? Boleh jadi ada bantuan secara sporadis dari sektor APBN atau APBD tertentu. Tetapi ini sulit karena sektor tertentu anggaran pendidikan mengalami pemotongan untuk membantu kebutuhan keuangan menghadapi wabah korona. 

Yang agak beruntung mungkin para mahasiswa Indonesia yang jumlahnya banyak di Timur Tengah, seperti di Kairo, Mesir atau di Riyadh dan kota-kota lain di Arab Saudi bisa mendapat bantuan. Menurut Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) KBRI di masing-masing negara itu, mereka bisa terbantu berkat dana yang sebelumnya sudah ada dalam anggaran untuk kegiatan kebudayaan, sosial-kemasyarakatan.

Namun, bagaimana dengan jutaan mahasiswa di Tanah Air? Sementara sulit mengharapkan bantuan dari pemerintah, masyarakat perlu bergerak membantu melalui badan dan lembaga filantropis. Masyarakat sipil perlu bahu-membahu menyelamatkan mahasiswa.

Setelah banyak pejabat tinggi menyatakan Indonesia kebal dari Covid-19, awal Maret akhirnya Presiden Jokowi mengakui tentang masuknya wabah korona ke Tanah Air. Dalam waktu tak terlalu lama berselang, kampus juga menerapkan ‘bekerja dari rumah’ (work from home/WFH) dan ‘belajar dari rumah’ (study from home/SFH).

Dalam keadaan seperti itu, banyak mahasiswa pulang kampung. Tetapi keadaan lebih sulit bagi perguruan tinggi (PT) yang memiliki mahasiswa dari berbagai daerah di Tanah Air dan mahasiswa internasional dari negara asing. Tidak seluruh mahasiswa bisa kembali ke daerah atau negara asal masing-masing. 

 
Dari sekian banyak sumber dana untuk membantu mahasiswa, hampir tidak ada kementerian atau lembaga negara yang turut serta. Juga tidak ada BUMN yang menunjukkan perhatian dan penyantunan.
 
 

Jadi masih banyak mahasiswa karena alasan keuangan tidak bisa pulang kampung. Ketika pemerintah pusat dan daerah kian memperketat perpindahan orang melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), mahasiswa yang masih ada di sekitar kampus semakin sulit untuk bisa pulang kampung.

Para mahasiswa yang tidak bisa pulang kampung ini rata-rata menghadapi kesulitan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka tidak punya keuangan memadai untuk hidup seadanya dan bisa mengikuti kuliah atau pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang diselenggarakan secara ‘daring’ (dalam jaringan atau online).

Menghadapi keadaan sulit semacam itu, beberapa PTN (seperti UIN Jakarta, IPB Bogor, UGM Yogyakarta, dan banyak lagi) dan PTS (seperti UII Yogyakarta dan Universitas Muhammadiyah di berbagai kota) turun tangan. Mereka membantu menyediakan logistik—makanan masak atau sembako—bagi mahasiswa yang membutuhkan.

Jumlah mahasiswa nasional dan internasional yang membutuhkan bantuan logistik itu cukup besar. Di masing-masing PT besar—dengan total populasi 25 ribu mahasiswa atau lebih—jumlahnya berkisar dari 200-an atau 300-an sampai 2.500-an. 

Sejak pertengahan Maret sampai akhir Ramadhan lalu, berbagai pihak di lingkungan kampus—apakah panitia ad hoc atau unit administrasi, himpunan alumni atau lembaga filantropis—terlibat usaha penyantunan mahasiswa terdampak.

Kebanyakan bantuan dana dan logistik datang dari perseorangan, persatuan karyawan, atau institusi. Termasuk pula LAZ atau lembaga filantropis—yang bergerak dalam penggalangan dana untuk membantu warga terdampak Covid-19. 

Dari sekian banyak sumber dana untuk membantu mahasiswa, hampir tidak ada kementerian atau lembaga negara yang turut serta. Juga tidak ada BUMN yang menunjukkan perhatian dan penyantunan.

Kenyataan ini menunjukkan warga—termasuk mahasiswa—tidak bisa bergantung banyak pada negara. Harapan tinggal digantungkan pada masyarakat sipil yang dinamis, sensitif, dan siap membantu.  n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat