Ekonomi
Pemulihan Industri Otomotif Butuh Waktu
Penjualan mobil anjlok 90 persen pada April 2020.
JAKARTA -- Pandemi Covid-19 telah menekan tingkat konsumsi masyarakat. Industri otomotif kini terimbas dengan penjualan mobil pada April 2020 yang terjun bebas.
Pengamat industri otomotif Bebin Djuana menilai, dampak tersebut tidak bisa dihindari, sebab virus Covid-19 tidak hanya menyebar di Indonesia tapi juga seluruh dunia. Sehingga, menurutnya, baik pasar domestik maupun pasar ekspor lesu dan menekan penjualan mobil.
Bahkan Desember (2020) mungkin belum bisa dikatakan normal.Pengamat otomotif Bebin Djuana
"Artinya, kalau dulu pernah terjadi penjualan buruk di dalam negeri, tapi masih bisa ekspor. Kalau sekarang ekspor pun mandek," ujar Bebin kepada Republika pada Selasa (19/5).
Menurutnya, saat ini perusahaan harus bisa bertahan di tengah gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan. Selain itu, stok barang yang menumpuk juga perlu dicermati. Ia menambahkan, menumpuknya stok mobil dan motor di gudang dan di lapangan merupakan masalah tersendiri.
"Harus berhati-hati, dalam arti akan menjadi rusak. Kalau dalam kondisi normal stok habis sekitar sebulan atau 45 hari. Sekarang stok yang ada bisa sampai enam bulan, syukur-syukur kalau bisa habis akhir tahun," tuturnya.
Bebin melanjutkan, meski nantinya pandemi mulai berangsur membaik, industri otomotif tidak bisa langsung kembali pulih. Hal itu karena mobil bukanlah kebutuhan pokok yang harus didahulukan.
"Ketika nanti dikatakan ekonomi berangsur pulih, otomotif akan belakangan. Kelihatannya sangat suram dan butuh waktu lama untuk kembali ke kondisi penjualan normal. Bahkan Desember mungkin belum bisa dikatakan normal," kata dia.
Meski begitu, Bebin memperkirakan, industri otomotif akan mulai bergeliat sekitar Agustus mendatang. Hal ini seiring dengan adanya pemulihan kegiatan ekonomi.
Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), selama bulan lalu, penjualan ritel mobil hanya mencapai 24.276 unit. Jumlah itu menurun drastis bila dibandingkan penjualan pada periode sama tahun lalu yang mencapai 80.622 unit.
Angka tersebut juga sangat kecil bila dibandingkan bulan sebelumnya. Pada Maret 2020, penjualan ritel kendaraan roda empat nasional menembus 60 ribu unit lebih.
Kita baru bisa bersikap, setelah lihat kurvanya seperti apa, kalau kurva pandemi sekarang masih fluktuatif.Sekretaris Jenderal Gaikindo Kukuh Kumara
Penjualan wholesale atau dari pabrik ke dealer, juga menurun sangat signifikan. Sebab pada April, hanya menyentuh angka 7.871 unit. Menurun sekitar 89 persen dibandingkan penjualan Maret yang mencapai 76.800 unit. Sebelumnya, pada April 2019, penjualan wholesale mobil mencapai 84 ribu unit. Dengan begitu, penurunannya mencapai 90 persen.
Sekretaris Jenderal Gaikindo Kukuh Kumara menjelaskan, anjloknya penjualan mobil nasional pada bulan lalu merupakan dampak pandemi Covid-19. Apalagi, di beberapa daerah juga diterapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
"Di sisi lain, mobil itu kan bukan barang primer, tapi tersier, dan harganya mahal, ratusan juta," kata Kukuh kepada Republika pada Selasa (19/5).
Industri otomotif, kata dia, belum bisa memperkirakan kapan penjualan mobil bisa kembali normal. Sebab, Covid-19 pun belum bisa diprediksi kapan usainya.
"Belum tahu kapan kembali normal atau memasuki normal baru. Kita baru bisa bersikap, setelah lihat kurvanya seperti apa, kalau kurva pandemi sekarang masih fluktuatif, jadi lihat (kondisi) pandemi dulu," tutur dia.
Terkait rencana pemerintah melonggarkan PSBB, Kukuh berharap bisa membantu penjualan otomotif membaik. Hanya saja ia belum bisa memastikan, apakah pelonggaran tersebut akan berefek positif terhadap penjualan otomotif atau tidak.
"Kita belum bisa pastikan, sampai kita lihat ada trennya. Kalau dengan relaksasi, industri ingin segera bangkit. Tapi 80 persen mau beli lewat kredit, sementara kredit masih ketat, ya tidak ada yang beli juga. Atau, sudah dilonggarkan tapi masih belum nyaman (beli mobil) banyak faktor pertimbangan," jelasnya.
Kukuh mengungkapkan, industri otomotif merupakan salah satu sektor yang terdampak cukup berat akibat pandemi. Sementara, ada sekitar 1,5 juta orang yang bekerja di dalam industri tersebut.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.