Pekerja melakukan bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Jumat (15/5). | Dhemas Reviyanto/ANTARA FOTO

Ekonomi

Ekspor Impor Lesu, Waspada Pelemahan Industri

Pemerintah dinilai perlu menyiapkan insentif komprehensif untuk industri manufaktur.

 

JAKARTA – Kinerja perdagangan internasional Indonesia melesu pada April 2020. Ekspor pada bulan lalu hanya mencapai 12,19 miliar dolar AS, turun 7,02 persen dibandingkan April 2019. Sementara, impor pada April 2020 anjlok 18,58 persen (year on year/yoy) menjadi 12,54 miliar dolar AS.  

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menilai, penurunan impor terutama untuk kategori bahan baku dan barang modal perlu diwaspadai. Sebab, turunnya impor bahan baku akan berpengaruh pada pertumbuhan industri dan perdagangan.

"Sementara, penurunan impor barang modal nantinya berpengaruh ke komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi di pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran," ujar Suhariyanto dalam konferensi pers, Jumat (15/5).

 
Mereka harus mengurangi proporsi ekspor hasil industri yang terafirmasi dari kontraksi pertumbuhan ekspor manufaktur pada April.
Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet
 

BPS mencatat, kinerja neraca dagang Indonesia selama periode Januari hingga April 2020 mengalami surplus 2,25 miliar dolar AS. Nilai ekspor tercatat 53,95 miliar dolar AS dan kinerja impor adalah 51,71 miliar dolar AS.

Suhariyatno mengatakan, kinerja empat bulan pertama tahun ini menunjukkan perbaikan dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Pada Januari-April 2019, neraca dagang indonesia mengalami defisit hingga 3,23 miliar dolar AS.

Dengan memperhatikan dampak pandemi Covid-19 terhadap kinerja perekonomian dan perdagangan banyak negara, kondisi neraca dagang yang surplus, menurutnya, masih patut diapresiasi. "Performa Januari-April 2020 lebih baik. Tentunya, ke depan, mudah-mudahan performa ini bisa lebih baik lagi," ujar Suhariyanto.

Namun, Suhariyanto mengatakan, ada beberapa hal yang tetap harus menjadi catatan. Di antaranya, kinerja impor bahan baku yang kontraksi 7,30 persen menjadi 39,05 miliar dolar AS pada Januari-April 2020.

Performa serupa terjadi pada barang modal. Pada periode Januari-April 2020, nilainya turun 14,12 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu menjadi 7,83 miliar dolar AS. Suhariyanto mengatakan, kontraksi pada impor dua jenis barang ini patut diwaspadai dan dicermati dari waktu ke waktu. "Karena, dampaknya ke sektor industri, perdagangan, dan investasi akan cukup besar," tuturnya.

Data BPS menunjukkan, hampir semua dari 10 golongan barang utama impor nonmigas mengalami kontraksi. Tren paling dalam terjadi pada besi dan baja yang turun 22,95 persen dibandingkan Januari-April 2019, menjadi 2,7 miliar dolar AS.

Begitupun dengan mesin dan peralatan mekanis yang menyumbang hingga 17,26 persen terhadap kinerja impor Januari-April 2020. Impor golongan barang ini turun 10,10 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu menjadi 7,8 miliar dolar AS.

photo
Pekerja mengemas minyak goreng di Pabrik Industri Hilir Kelapa Sawit, Marunda Center International Warehouse and Industrial Estate, Bekasi, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. - (ANTARA FOTO)

Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, impor bahan baku yang terus mengalami kontraksi menjadi indikasi kinerja industri tahun ini tidak akan sebaik dibandingkan tahun lalu. Prediksi ini sejalan dengan Purchasing Managers’ Index (PMI) Indonesia pada April yang juga melambat, bahkan sampai ke titik terendah sejak 2011.

Yusuf mengatakan, data ini menggambarkan tidak optimalnya industri dalam negeri mengingat sebagian besar bahan baku industri masih dibutuhkan dari luar negeri. "Akhirnya, mereka harus mengurangi proporsi ekspor hasil industri yang terafirmasi dari kontraksi pertumbuhan ekspor manufaktur pada April," katanya.

Merujuk data BPS, kinerja ekspor industri manufaktur kontraksi 1,77 persen dibandingkan April 2019 menjadi 9,76 miliar dolar AS. 

Kontraksinya impor bahan baku yang berdampak pada pelambatan ekspor manufaktur patut menjadi perhatian pemerintah. Sebab, sektor ini menjadi kontributor terbesar kinerja ekspor Indonesia, yakni hingga 80 persen pada bulan lalu.

Yusuf menyebutkan, solusi yang ditawarkan pemerintah harus komprehensif dan berkelanjutan. Langkah pemerintah untuk memberikan insentif pajak ke sektor industri manufaktur sudah baik, tapi perlu dipastikan pemanfaatannya. Sebab, sering kali, insentif pajak tidak optimal karena minim sosialisasi dan pengetahuan pelaku usaha.

Selain itu, Yusuf menambahkan, perluasan insentif jangan hanya terbatas pada pajak. Pemangkasan komponen ongkos produksi industri, seperti harga listrik dan gas industri juga bisa dilakukan. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat