Kabar Utama
MUI: Tetap Ibadah di Rumah
Ulama mewanti-wanti agar relaksasi rumah ibadah dilakukan penuh perhitungan.
JAKARTA -- Pemerintah mewacanakan pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dengan membolehkan peribadatan di rumah-rumah ibadah. Sejumlah elemen umat Islam meminta pemerintah jangan gegabah memutuskan hal itu sebelum pandemi Covid-19 benar-benar mereda.
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengimbau umat Islam untuk tetap mengutamakan kesehatan dan keselamatan selama masih terjadi wabah Covid-19 dengan tetap beribadah di rumah. Sekjen MUI KH Anwar Abas mengatakan, masyarakat sebaiknya mengedepankan pendekatan pemeliharaan dan penjagaan diri (hifdzun nafsi).
"Agar kesehatan dan jiwa kita tetap terjaga dan terpelihara serta dapat terhindar dari tertular oleh virus korona yang sangat berbahaya tersebut," katanya kepada Republika, Selasa (12/5).
Ia menekankan, fatwa MUI soal imbauan beribadah pada masa pandemi masih berlaku. Terlebih, saat masyarakat belum memiliki kejelasan secara utuh dari pihak pemegang otoritas tentang situasi dan kondisi yang sebenarnya wabah Covid-19.
Pada Selasa (12/5) kemarin, Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas terkait rencana pelonggaran PSBB. Di antara yang dibahas, soal relaksasi peribadatan. "Menyangkut adanya keinginan untuk membuka tempat ibadah di lokasi-lokasi tertentu, tadi Wapres (KH Ma’ruf Amin) mengingatkan, pembukaan tempat ibadah sangat tergantung dari keputusan pemerintah yang berhubungan dengan apakah masih ada bahaya yang mengancam atau tidak," ujar Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo meriwayatkan rapat terbatas kemarin.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 juga mendapat penugasan dari Presiden Jokowi untuk melakukan simulasi terkait rencana pelonggaran pembatasan sosial. Doni Monardo menyampaikan, ada empat faktor yang harus diperhitungkan oleh pemerintah sebelum memberi lampu hijau kepada daerah tertentu untuk melonggarkan pembatasan sosial. Faktor pertama, adalah prakondisi dengan melakukan rangkaian kajian teknis bersama akademisi, pakar epidemiologi, pakar kesehatan masyarakat, sosiolog, hingga pakar ekonomi. "Juga akan melibatkan tokoh masyarakat, ulama, dan budayawan," kata Doni.
Pemerintah, kata Doni, harus cermat memutuskan kapan pelonggaran dilakukan dengan memperhatikan kurva penambahan kasus positif Covid-19 di setiap daerah. Pemilihan waktu untuk pelonggaran juga mempertimbangkan kesiapan dan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap pencegahan penularan infeksi.
Faktor ketiga yang perlu disiapkan pemerintah adalah penentuan prioritas sektor yang dilonggarkan. Faktor keempat, Doni menambahkan, koordinasi antara pusat dan daerah yang harus berjalan baik.
Sementara itu, Menteri Agama Fachrul Razi menekankan bahwa relaksasi pembatasan di rumah ibadah baru wacana. Menurut dia, hal itu mesti meminta masukan semua pihak, termasuk Presiden Joko Widodo. "Nanti saya angkat lagi di rapat kabinet," katanya.
Fachrul Razi mengatakan, rencana relaksasi terhadap rumah ibadah itu memang disampaikannya saat rapat bersama Komisi VIII DPR secara virtual pada Senin (11/5). "Kemarin kan rapat tertutup dengan DPR, tapi (bocor) ke luar," ujarnya.
Agar kesehatan dan jiwa kita tetap terjaga dan terpelihara serta dapat terhindar dari tertular oleh virus korona yang sangat berbahaya tersebut.KH Anwar Abas, Sekjen MUI
Dalam rapat, Menag menyampaikan bahwa jika relaksasi rumah ibadah dapat terealisasi, ia berharap masyarakat tetap melaksanakan tindakan pencegahan virus korona. "Jarak antara shaf lebih jauh, misalnya tetap memakai masker, kemudian juga lain-lain lah yang harus kita lakukan," kata Fachrul.
Ketua Umum Rabithah Alawiyah, Habib Zen Bin Smith, mengatakan, ia turut bahagia jika akhirnya umat Islam bisa kembali beribadah di masjid, terlebih sebentar lagi memasuki Hari Raya Idul Fitri. "Tapi, senangnya juga harus diikuti dengan berbagai persyaratan yang harus dipertimbangkan," ujar Habib Zen saat dihubungi Republika, Selasa (12/5).
Ia menerangkan, jika rencana relaksasi betul dilakukan, diperlukan beberapa tindakan pencegahan atau protokol kesehatan untuk memastikan kondisi masjid dan jamaah tetap aman. "Jika itu semua telah dilaksanakan, selanjutnya kita harus bertawakal. Hasbunallah wa ni'mal wakil, ni'mal maula wa ni'man nasir," kata dia.
Menurut Habib Zen, masjid Rabithah yang tersebar di seluruh Indonesia sampai saat ini masih menutup pintu. Hal ini sesuai dengan maklumat yang dikeluarkan Kantor Pusat Rabithah, yang meminta semua jamaahnya beribadah di rumah selama masa pandemi Covid-19.
Sementara itu, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti menilai rencana pelonggaran atas penutupan rumah ibadah sangat berisiko. “(Apalagi) belum ada pernyataan resmi dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) bahwa wabah Covid-19 sudah landai dan dapat diatasi," ujar dia kepada Republika, kemarin.
Mu'ti mengungkapkan, pemerintah seharusnya konsisten dengan kebijakan PSBB. Menurut dia, pemerintah juga semestinya seirama dengan pemerintah daerah dan masyarakat, khususnya ormas keagamaan. Muhammadiyah, kata Mu'ti, masih tetap pada keputusan untuk tetap beribadah di rumah jika situasi wabah Covid-19 belum sepenuhnya diatasi. "Untuk shalat Idul Fitri, akan diputuskan dalam sidang majelis tarjih," ujarnya.
Sedangkan Wakil Ketua Lembaga Dakwah PBNU, KH Misbahul Munir menilai wacana relaksasi tempat ibadah yang digaungkan pemerintah sebagai langkah yang positif. Ia mengingatkan, agama Islam tak pernah dimaksudkan untuk menyulitkan pemeluknya. “Artinya, dalam situasi apapun ayo kita ikuti. Kalau pemerintah sudah mengatakan Covid-19 ini mulai longgar, atau sudah mulai menurun, ya kita ikuti (pelonggaran tempat ibadah itu). Nah inilah kehebatan Islam di situ,” ucapnya kepada Republika, kemarin.
Kiai Misbah menyadari bahwa jika tempat ibadah dilonggarkan maka dapat membahayakan masyarakat. Namun, dia menambahkan, dalam penanganan Covid-19 ini yang menentukan bahaya atau tidaknya itu adalah pemerintah, bukan para kiai atau ulama. “Pemerintah harus mempertimbangkan betul. Kalau berdampak buruk ya tidak usah. Jadi kalau kita ini felksibel. Kalau pemerintah mengatakan demikian tentu hitung-hitungannya harus jelas. Pemerintah harus mengkaji betul, bukan hanya berdasarkan asumsi yang tidak jelas,” kata dia.
Tanggapan daerah
Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil mengungkapkan, daerah-daerah diminta mulai membahas kemungkinan pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjelang perayaan Idul Fitri 1441 Hijriyah. Daerah-daerah diminta mengonsultasikanhal itu kepada para ulama.
“Arahan Presiden (Joko Widodo) terkait Idul Fitri, meminta daerah melakukan diskusi dengan ulama untuk menentukan kriteria-kriteria (situasi kedaruratan) ini. Lebaran bisa berlangsung normal berbasis jarak atau tetap tidak dilakukan dengan alasan kedaruratan,” ujar Ridwan Kamil yang akrab disapa Emil, Senin (12/5).
Emil mengatakan, pihaknya akan mengikuti arahan Presiden RI tersebut. Jika hasil diskusi menunjukkan penurunan situasi kedaruratan, tidak menutup kemungkinan beberapa daerah di Jawa Barat (Jabar) diperbolehkan melaksanakan shalat Idul Fitri dan kegiatan ibadah lainnya, tapi dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
"PSBB Jabar kan dari tanggal 6 berakhir 19 Mei ini. Jadi, kami akan menjawab setelah 20 Mei. Kita akan menjawab, bagaimana hidup bisa kembali, karena sekarang baru seminggu," katanya.
Sementaraitu, Gubernur Sumatra Barat (Sumbar), Irwan Prayitnomenyatakan, Pemprov Sumbar masih berpedoman pada maklumat Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat dan MUI daerah mengenai larangan sementara melaksanakan shalat berjamaah di masjid selama pandemi berlangsung. Menurut dia,pelaksanaan shalat berjamaah di masjid saat ini masih sangat riskan karena berpotensi memperpanjang mata rantai penularan Covid-19.
Irwan pun mengkhawatirkan bila shalat berjamaah kembali dilaksanakan, ada peluang bagi orang tanpa gejala (OTG) ikut bergabung dalam jamaah dan menularkan Covid-19 kepada orang lain. "Jamaah masjid atau misalkan ini memang harus memastikan betul keamanan individunya. Harus benar-benar terbebas dari Covid-19. Apalagi, sangat banyak OTG atau orang tanpa gejala. Akan membahayakan banyak orang jika ini terjadi," katanya, Senin (11/5).
Irwan mengungkapkan, sejak pandemi virus korona sulit dikendalikan, telah banyak ulama besar yang menyampaikan dalil dan imbauan terkait bahaya wabah Covid-19. Sehingga masyarakat, menurut dia,harusmematuhi dan memahami imbauan tersebut.
Pengecualian diberikan kepadapihak yang ingin kembali melaksanakan shalat berjamaah, yaituberada di daerah yang benar-benar aman dan belum terjangkit Covid-19. Kemudian jamaah yang menunaikan ibadah di masjid tersebut adalah jamaah tetap dan tidak bercampur dengan jamaah dari luar. "Hal ini kita yakini akan sulit membatasi orang lain untuk ikut beribadah.
Apalagi, ada perantau yang telanjur pulang kemudian belum diketahui, apakah terdampak atau tidaknya, ikut pula shalat berjamaah," ujar Irwan Prayitno.
Sementaraitu, di DKI Jakarta, pemerintahprovinsinyamemberlakukansanksitegurankepadawarga yang masih melakukan kegiatan keagamaan di rumah-rumah ibadah pada masa PSBB.
Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengenaan Sanksi Terhadap Pelanggaran Pelaksanaan PSBB dalam Penanganan Covid-19 di DKI Jakarta yang diteken Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada 30 April 2020. Teguran tertulis dalamaturanituakan diberikan oleh Satpol PP DKI Jakarta yang bisa didampingi aparat kepolisian.
Anies Baswedan mengatakan, penerbitan aturantersebut agar masyarakat berdisiplin dalam menjalankan pembatasan fisik selamamasa PSBB yang berlaku di Jakarta. "Pencegahan penularan Covid-19 ini tidak bisa dikerjakan hanya oleh sebagian orang, tetapi harus oleh semuanya. Dan harapannya, dengan adanya ketentuan ini, semua menjadi bisa lebih disiplin," katanya di Gedung DPRD DKI Jakarta, Selasa.
Anies jugamengungkapkanalasanlainnya, yakni agar penegak peraturan memiliki dasar pegangan penegakan aturan selama PSBB. "Dan kemudian inilah yang menjadi dasar pegangan mereka dalam menegakkan aturan kedisiplinan. Makin disiplin, makin cepat kita bisa menyelesaikan masa pandemi ini. Karena itulah, harus lebih disiplin. Taati aturannya," katanya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.