Resonansi
Ramadhan dalam Senyap
Saat ini, mari tetap memeluk syukur dan sabar. Lambungkan kegembiraan sebab masih Allah berikan kesempatan menjalani puasa.
Oleh ASMA NADIA
Oleh ASMA NADIA
Sejujurnya ada sejumput rasa sedih yang merayapi dalam menyambut Ramadhan kali ini. Padahal, kehadiran bulan yang lebih baik dari seribu bulan dengan begitu banyak keutamaan, tentu harus dirayakan dan dijelang dengan kegembiraan. Tapi tak urung, kesedihan tetap membayang walau berusaha keras saya singkirkan.
Ramadhan di tengah wabah korona, pasti banyak yang berubah. Namun, kehadiran sebuah surat edaran dari masjid di dekat rumah, tak urung membuat saya tertegun. Di bagian perihal tertulis: Kegiatan Ramadhan 1441H. Rutin, surat serupa kami terima setiap tahun. Seharusnya, perasaan saya biasa saja, tapi ternyata tidak, sebab isi edaran kali ini jauh berbeda.
Jika sebelumnya, berisi daftar kegiatan Ramadhan, nama-nama ustaz yang menjadi imam tarawih, kegiatan berbuka puasa bersama dhuafa atau anak yatim, dan hal lain semacam itu, kini yang tertera adalah:
Pelaksanaan Tarhib Ramadhan TIDAK DILAKSANAKAN.
Pelaksanaan Ramadhan TIDAK DILAKSANAKAN.
Pelaksanaan Pesantren Kilat TIDAK DILAKSANAKAN.
Pelaksanaan Iftar Jama’I Ramadhan TIDAK DILAKSANAKAN.
Pelaksanaan Tausiyah Ramadhan TIDAK DILAKSANAKAN.
Pelaksanaan Kajian Dhuha TIDAK DILAKSANAKAN.
Pelaksanaan Iktikaf di Masjid TIDAK DILAKSANAKAN.
Semua kata “tidak dilaksanakan” ditulis dengan huruf kapital untuk memberi penegasan, tetapi mungkin juga menggambarkan rasa kehilangan teramat besar dari segenap pengurus masjid, yang mewakili perasaan kami. Membuat mata saya berkaca.
Selanjutnya dalam surat edaran ditulis, zakat dan infak Ramadhan akan dilakukan secara daring dan didistribusikan dengan tidak mengumpulkan jamaah.
Terkait pelaksanaan shalat Idul Fitri dan halal bihalal yang biasa diselenggarakan, masih akan ditentukan kemudian sesuai anjuran pemerintah. Tersirat harapan di sana, luas rasa tawakal yang terus berusaha dibangun pengurus masjid dan pastinya juga warga.
Mendadak teriris. Saya masih memandangi surat edaran yang semakin mengabur. Membaca edaran tersebut, hati seketika berkelana mengingat semaraknya suasana Ramadhan pada tahun-tahun lepas.
Anak-anak datang bergerombol meramaikan masjid, dengan segala kegaduhan, tapi mereka menghidupkan suasana Tarawih. Keriuhan yang tahun ini menjelma kenangan.
Panggilan Tarawih yang berkumandang setiap malam, pengumuman dari masjid ketika tiba waktu sahur, ‘kemeriahan’ saat iktikaf, semua hanya bermain di ruang-ruang imajinasi karena Ramadhan kami kali ini berbeda.
Mendadak walau selalu menyambut gembira, tetap saja saya merasa belum cukup mensyukuri Ramadhan pada tahun-tahun sebelumnya. Tapi suami, mungkin mencoba menghibur kemuraman saya yang masih menimang surat edaran, mengajak istrinya melihat dari sudut lain. “Sedih, pasti, tapi kita akan bangga dan bahagia jika melihatnya dari sisi lain.”
Lelaki yang sudah mendampingi saya selama 25 tahun itu kemudian memaparkan. Betapa kita seharusnya bangga sebab melihat sendiri, bagaimana ajaran Islam sangat membumi. Bahagia karena kita mempunyai ulama yang peduli dan sadar serta tanggap atas apa yang terjadi.
Shalat jamaah yang luar biasa keutamaan dan pahalanya, kini tidak dianjurkan. Shalat Jumat yang wajib bagi Muslim justru dilarang dilakukan di masjid. Ramadhan yang lazimnya disambut dengan semarak kini terpaksa dalam senyap. Mudik yang menjadi tali silaturahim dan dinanti-nanti, pun ‘diharamkan’. Bahkan, dari jajaran MUI ada yang mengatakan, keputusan untuk tidak mudik saat ini bahkan lebih utama dari jihad. Sebab dengan begitu, kita menyelamatkan saudara-saudara kita, teman seperjalanan, atau mereka yang berada di kampung halaman.
Biarlah sementara rindu harus sama-sama cuma bisa kita dekap. Selama semua selamat, insya Allah kehadirannya yang memberati lebih dari layak untuk ditanggung.
Ya, walaupun berduka melihat situasi yang terjadi, kesenyapan Ramadhan kali ini di berbagai belahan dunia, juga menunjukkan ajaran Islam yang tidak kaku, fleksibel, mengikuti perkembangan zaman, dan bukti kedewasaan umat. Semoga ketika pandemi berlalu, kita menjadi manusia yang lebih baik, Muslim yang lebih dewasa, dan generasi Islam yang lebih berkualitas.
Saat ini, mari tetap memeluk syukur dan sabar. Lambungkan kegembiraan sebab masih Allah berikan kesempatan menjalani puasa dan melakukan ibadah pada bulan Ramadhan. Bermakna Allah berikan masa untuk meraih tiga hal yang disebutkan Rasulullah SAW dalam hadisnya. Awal bulan Ramadhan adalah ‘Rahmah’, pertengahannya ‘Maghfirah’, dan akhirnya ‘Itwun Minan Naar’ (pembebasan dari api neraka).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.