Petugas kepolisian dan TNI melakukan pengamanan di Mimika, Papua. (ilustrasi) | ANTARA FOTO

X-Kisah

Kekerasan Terus Terjadi di Papua

Pangdam XVII/Cenderawasih meminta maaf atas penembakan dan berjanji menginvestigasi.

Dua pemuda Papua meninggal setelah mendapatkan terjangan timah panas dari senjata api. Ronny Wandik (21 tahun) dan Eden Bebari (20 tahun) diduga menjadi korban salah tembak oleh aparat keamanan ketika tengah mencari ikan di Mile 34, Distrik Kwamki Narama, Timika, Mimika, Papua, pada Senin (13/4) lalu.

Ronny dan Eden memutuskan untuk mengawali pekan ketiga April dengan mencari ikan di Kali Biru yang berada di Mile 34. Mereka sudah bersiap sejak pukul 09.00 WIT. Kacamata untuk menyelam dan senapan penembak ikan tak lupa mereka bawa. 

Setelah semuanya siap, mereka bertolak ke lokasi tujuan dengan menggunakan sepeda motor. Pukul 11.00 WIT, Ronny dan Eden melanjutkan perjalanan ke Kali Biru. Sesampainya di lokasi, mereka langsung mencari ikan untuk ditangkap.

“Mereka dua mencari ikan di kali hingga jam 02.00 siang. Kemudian aparat militer Indonesia mendatangi mereka dua,” ujar Ketua Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa), Odizeus Beanal, menerangkan kronologis singkat yang didapat dari keluarga korban kepada Republika, Rabu (15/4).

Atas kejadian tersebut, Odizeus meminta agar oknum aparat yang melakukan penganiyaan dan pembunuhan terhadap kedua pemuda itu diproses secara hukum yang tegas dan transparan. Keluarga korban beserta masyarakat Papua secara umum ingin melihat hukum ditegakkan dengan tidak pandang bulu.

Akibat dari kejadian tersebut, keluarga korban beserta warga Papua lainnya berdemo di halaman Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Mimika. Mereka tak terima keluarganya disebut sebagai anggota kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB) dan menyatakan protes terkait kejadian penembakan tersebut.

Terkait itu, Pangdam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Herman Asaribab, meminta maaf atas peristiwa yang terjadi. Dia menyatakan, pihaknya akan melaksanakan investigasi. Dengan begitu, kejadian yang sebenarnya terjadi dapat diketahui dan dapat dilanjutkan sesuai dengan proses hukum yang berlaku.

“Saya mohon maaf atas situasi yang terjadi ini. Untuk menyatakan apakah perbuatan anggota kami benar atau salah, nanti kita lihat hasil investigasi seperti apa. Akan ada penyelidikan lebih lanjut sampai dengan pemeriksaan secara hukum. Jadi, untuk memastikan benar atau salahnya anggota kami, maka nanti proses hukum yang akan menyatakannya,” ujar dia

Herman bersama Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw beserta pihak-pihak terkait menemui masyarakat yang berdemo di RSUD Mimika. Paulus mengatakan, situasi dan kondisi keamanan di Papua memang sedang kurang baik. Ada kelompok bersenjata yang terus melakukan kekerasan secara masif kepada aparat dan objek-objek vital di sana.

“Sehingga itulah kami harus menempatkan satuan-satuan tugas untuk menjaga masyarakat, melindungi masyarakat, termasuk juga ada proyek objek-objek vital,” ujar Paulus. Dia menyebut, aparat keamanan terkadang merasa sulit membedakan kelompok-kelompok yang berseberangan dengan mereka karena situasi yang begitu terbuka.

Hentikan kekerasan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut, siklus kekerasan di Papua harus diputus dan dihentikan. Koordinator Subkom Penegakan HAM Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengatakan, Presiden tidak boleh mendiamkan begitu saja kejadian kekerasan yang berulang terjadi di Papua.

Terkait peristiwa di Timika, Papua, di mana dua pemuda Papua yang menjadi korban salah tembak dan tewas, Komnas HAM menilai, Mabes TNI dan Mabes Polri perlu membentuk tim gabungan. Tim itu bertugas untuk mengungkap peristiwa penembakan yang mematikan itu.

“Mengapa TNI bisa salah mengidentifikasi objek sasaran operasi serta memproses secara hukum semua anggota TNI yang diduga terlibat dalam penembakan tersebut,” ujar dia.

Salah sasaran juga diduga terjadi di Poso, Sulawesi Tengah (Sulteng). Komnas HAM RI Perwakilan Sulteng di Palu mendesak Polda Sulteng untuk segera melakukan penyelidikan secara serius terkait penembakan warga Desa Tambarana, Kabupaten Poso, yang diduga dilakukan oleh anggota kepolisian.

Ketua Komnas HAM Sulteng Dedi Askary mengatakan, desakan itu merupakan tindak lanjut atau respons dan sikap Komnas HAM atas aduan ayah dan keluarga korban penembakan almarhum Qidam Alfariski. Qidam meninggal dunia setelah ditembak oleh pihak kepolisian pada Kamis (9/4) di wilayah Kecamatan Poso Pesisir.

Dalam keterangan Komnas HAM, disebutkan bahwa ayah Qidam Alfariski datang melapor ke Komnas HAM Perwakilan Sulteng didampingi paman dan Tim Pembela Muslim Sulteng. Ayah Qidam membantah seluruh keterangan polisi yang menyebut almarhum merupakan anggota Mujahidin Indonesia Timur (MIT).

“Ayah dan paman almarhum bahkan sangat keberatan dan akan menuntut Polda Sulteng yang telah menyebabkan tewasnya Qidam Alfariski. Ayah dan paman Qidam menjelaskan secara langsung kepada Komnas HAM Sulteng kronologis hingga anaknya tersebut meregang nyawa,” ujar Dedi. n

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat