Internasional
Tanda Tanya Fase Kedua Gencatan Senjata di Gaza
Negara Muslim masih keberatan harus melucuti Hamas di Gaza.
JAKARTA – Hamas diperkirakan akan menyerahkan jenazah tawanan Israel terakhir yang ditahan di Gaza dalam beberapa hari mendatang. Mereka juga membuka kemungkinan membahas “pembekuan” senjatanya untuk memfasilitasi memasuki tahap kedua gencatan senjata.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan pada Ahad bahwa fase kedua akan sulit untuk dicapai tetapi bisa dimulai secepatnya pada bulan ini.
Sejak gencatan senjata dimulai pada 10 Oktober, Israel telah melanggarnya lebih dari 590 kali, menewaskan sedikitnya 360 warga Palestina, dan menyebabkan total korban tewas di Gaza akibat serangan selama dua tahun di atas 70.000 jiwa.
Pada fase pertama – berdasarkan 20 poin rencana perdamaian Presiden AS Donald Trump – Israel diharuskan menghentikan perang genosida di Gaza, menarik kembali pasukannya, mengizinkan bantuan masuk, dan menukar ratusan tahanan Palestina dengan sisa tawanan yang masih ditahan di Gaza.
Berbicara sebulan setelah menyetujui gencatan senjata, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan perang Israel di Gaza “belum berakhir” dan bahwa Hamas “akan dilucuti”.
Sepanjang perang genosida Israel di Gaza, para pejabat Israel telah berjanji untuk “menghancurkan” Hamas dan mengklaim bahwa pemboman Israel, yang telah menewaskan sebagian besar warga sipil menurut perhitungan Israel sendiri, bertujuan untuk mencapai tujuan tersebut.
Berdasarkan ketentuan perjanjian, Israel awalnya menarik pasukannya kembali ke belakang apa yang disebutnya “garis kuning”. Garis kuning yang tidak berbatas tegas di tepi Jalur Gaza memisahkan wilayah Gaza yang dikuasai tentara Israel dan wilayah yang dikuasai Hamas.
Hamas menuduh Israel mendorong garis kuning lebih jauh ke Gaza “setiap hari”, menggusur orang-orang yang berada di pihak yang salah dan membunuh warga Palestina, termasuk anak-anak, ketika mendekati perbatasan yang tidak jelas.
Fase kedua dari perjanjian ini menyangkut pemerintahan Gaza pascaperang. Kerangka kerja yang paling rinci sejauh ini adalah rencana yang didukung AS, yang kini sebagian didukung oleh DK PBB.
Rencana tersebut menetapkan fase transisi di mana teknokrat Palestina – bukan faksi politik – akan menjalankan pemerintahan sehari-hari. Pekerjaan mereka akan diawasi oleh “Dewan Perdamaian” multinasional, dan didukung oleh Pasukan Stabilisasi Internasional (ISF) yang bertugas di bidang keamanan dan demiliterisasi. Hal ini dimaksudkan untuk memungkinkan rekonstruksi Gaza dan menghentikan kembalinya konflik bersenjata.
Namun Hamas dan kelompok Palestina lainnya menolak gagasan perwalian asing atas Gaza. Mereka juga menentang resolusi DK PBB tersebut, dengan mengatakan bahwa resolusi tersebut “membuka jalan bagi pengaturan lapangan yang diberlakukan di luar keinginan nasional Palestina”.
Kelompok Hamas menyatakan siap menyerahkan persenjataan mereka di Jalur Gaza kepada Otoritas Palestina. Namun, hal itu hanya akan dilakukan jika Israel mengakhiri pendudukannya.
"Persenjataan kami terkait dengan keberadaan pendudukan (Israel) dan agresi. Jika pendudukan berakhir, persenjataan ini akan berada di bawah otoritas negara," kata pemimpin sekaligus kepala negosiator Hamas, Khalil al-Hayya, dalam sebuah pernyataan, dikutip laman Al Arabiya, Ahad (7/12/2025).
Otoritas negara yang dimaksud al-Hayya adalah negara Palestina yang berdaulat dan merdeka. Dia menyampaikan bahwa Hamas juga tak menolak kehadiran pasukan PBB di Gaza. Asalkan pasukan tersebut tak berusaha atau membawa misi untuk melucuti persenjataan Hamas.
"Kami menerima pengerahan pasukan PBB sebagai pasukan pemisah, yang bertugas memantau perbatasan dan memastikan kepatuhan terhadap gencatan senjata di Gaza," ujar al-Hayya.
Negara-negara ISF
Sejauh ini, negara-negara yang mulanya bakal menyumbang pasukan seperti Azerbaijan dan Pakistan telah menyatakan tak akan ikut serta bila tujuan ISF adalah melucuti Hamas. Meski belum memberikan pernyataan resmi, Indonesia agaknya berada pada posisi yang sama.
“Kita juga tidak mau jika harus berperang melawan Hamas,” kata seorang pejabat Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) RI kepada Republika pekan lalu.
Saat ini, diplomat-diplomat negara-negara Muslim tengah terus menggodok bentuk akhir dari pasukan yang keberadaannya sudah diloloskan Dewan Keamanan PBB tersebut.
Sementara Menteri Luar Negeri Turki, Hakan Fidan menyatakan ISF di Gaza harus memprioritaskan pemisahan pasukan Israel dan warga Palestina ketimbang pelucutan senjata kelompok perlawanan Palestina.
Dia juga mendaku bahwa Indonesia dan Azerbaijan, dua negara yang telah menawarkan untuk menyumbangkan pasukan, akan lebih memilih Turki untuk menjadi anggota ISF. Hal itu sejauh ini ditolak Israel.
Sejauh ini, menurutnya, pembicaraan mengenai komposisi pasukan, bersama dengan keanggotaan dewan perdamaian yang direncanakan dan komite teknokratis Palestina yang beranggotakan 15 orang untuk menjalankan layanan di Gaza, mandek karena pembicaraan rinci mengenai mandat ISF terjadi di balik layar.
“Pelucutan senjata tidak bisa menjadi tahap pertama dalam proses ini,” kata Fidan, berbicara di Doha akhir pekan lalu dilansir the Guardian. “Kami perlu melanjutkan dalam urutan yang benar dan tetap realistis.” Dia menambahkan bahwa tujuan pertama ISF “seharusnya memisahkan warga Palestina dari Israel”.
Fidan berkata, tahap pertama dari fase kedua ini seharusnya, mewujudkan komite ahli teknis Palestina mengambil alih administrasi Gaza. Selanjutnya pembentukan pasukan polisi, yang terdiri dari warga Palestina, bukan Hamas, untuk mengamankan kembali Gaza.”
Menteri Luar Negeri Mesir, Badr Abdelatty, mendukung usulan prioritas ISF ini, dan menyerukan agar pasukan dikerahkan di sepanjang “garis kuning” yang membentang dari utara ke selatan di Gaza. Batas itu juga membagi Pasukan Pertahanan Israel di timur dari wilayah yang sebagian besar dikuasai Hamas di barat.
“Kita perlu mengerahkan pasukan ini sesegera mungkin di lapangan karena satu pihak, Israel, setiap hari melanggar gencatan senjata, namun mengklaim pihak lain bertanggung jawab sehingga kita memerlukan monitor di sepanjang sisi kuning untuk memverifikasi dan memantau,” kata Abdelatty. Mandat ISF “harus berupa pemantauan perdamaian, bukan penegakan perdamaian”, tambahnya.
Menteri Luar Negeri Norwegia, Espen Barth Eide, mengatakan rencana yang diajukan Presiden AS, Donald Trump, tidak jelas urutan tugas ISF. “Pihak-pihak yang berbeda dapat mengatakan ‘Saya akan melakukan bagian saya tetapi hanya jika dia telah melakukan bagiannya’, jadi kita perlu membentuk dewan perdamaian dan ISF bulan ini karena hal ini sangat mendesak.”
Dia menambahkan, kondisi di Gaza sekarang berada dalam gencatan senjata yang sangat rapuh. ‘Kita bisa maju atau mundur. Saya rasa kita tidak bisa bertahan berminggu-minggu lagi dalam situasi ini. Alternatifnya adalah kembali ke perang dan jatuh ke dalam anarki total, atau kita terus maju."
Eide mengatakan mandat ISF tidak jelas, dan para pemimpin negara-negara Muslim yang siap menyediakan pasukan dalam jumlah besar masih mencari klarifikasi tentang aturan keterlibatan. “Apakah mereka benar-benar akan mencoba masuk ke dalam terowongan dan melawan Hamas, atau apakah mereka akan bekerja dengan Otoritas Palestina sementara di mana Hamas akan secara sukarela menyerahkan senjata mereka dan melakukan demobilisasi, yang mereka katakan akan mereka lakukan ketika institusi tersebut sudah ada?” tanyanya.
Ia memperkirakan tidak akan ada konsensus di balik mandat ISF untuk melucuti senjata Hamas secara fisik yang bertentangan dengan keinginannya. Israel mengatakan pihaknya tidak akan menarik diri dari Gaza sampai pelucutan senjata dilakukan.
Majed Mohammed al-Ansari, juru bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, mengatakan masalahnya adalah apakah perlucutan senjata harus dimulai sebelum pendudukan Israel berakhir. “Anda dapat melucuti sebuah kelompok sekarang dan membangunkan 10 kelompok dua bulan kemudian jika orang-orang yang angkat senjata menghadapi krisis keamanan yang sama,” katanya. Yang dibutuhkan adalah kemauan politik, tambahnya.
Dia mengatakan Qatar tidak siap lagi untuk mengambil tanggung jawab penuh atas rekonstruksi Gaza. Menurutnya, jika rekonstruksi tersebut merupakan tanggung jawab seluruh komunitas internasional, maka Israel mungkin enggan “membomnya habis-habisan”.
Menteri Luar Negeri Saudi, Dr Manal binti Hassan Radwan, memperingatkan agar tidak teralihkan oleh rincian atau definisi ulang dari apa yang telah disepakati. Dia mengatakan pada akhirnya tidak akan ada keamanan bagi siapapun tanpa negara Palestina.
Negara-negara Teluk dan Turki telah mengusulkan dalam rancangan resolusi PBB bahwa Hamas harus diminta untuk menyerahkan senjatanya kepada Otoritas Palestina dan bukan kepada ISF. Menurutnya, penyerahan senjata kepada sesama warga Palestina tidak akan terlihat seperti Hamas telah menyerah, namun memiliki dampak praktis yang sama. Amandemen tersebut tidak diterima oleh AS.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
